(HATI BAGIAN SATU)
Apa arti hadirku bagimu, Ma? Mengapa kau begitu membenciku? Mengapa engkau memandangku dengan sudut matamu? Tidak inginkah kau melihatku barang sekejap? Tidak adakah hasratmu untuk menggendongku, memelukku, mendekapku di dadamu, menciumku, membelaiku, memanjakanku? Akankah kau mengajakku jalan-jalan, piknik atau berbelanja dan menghabiskan waktu bersama? Atau, engkau malu punya anak berwujud abnormal seperti ku? Aku sungguh yakin, Kau takkan melupakan semua yang telah kau lakukan padaku. Inilah konsekuensinya, Ma ! Akui saja bahwa aku ini anakmu, anak yang tak kau harap kehadirannya. Tuhan tidak tidur, dia tahu apa yang telah Mama perbuat. Mama ingat kan saat Mama tahu bahwa di dalam perut Mama itu ada aku? Aku tahu Ma, saat Mama tahu aku hadir, Mama marah. Alangkah jahatnya Mama saat itu. Mama kalap. Mama menjadi seorang pembunuh keji. Mama loncat-loncat. Mama meminum berbagai ramuan dukun gila, racikan obat-obatan dokter tak beretika hanya demi membunuhku yang ingin hidup.
Namun, Tuhan berkehendak lain. Ia memberiku begitu banyak pertolongan. Aku punya banyak teman kecil berwarna putih yang begitu kuat, aku juga punya baju yang hebat seperti baju anti pelurunya tentara. Teman-teman kecilku membuat pagar betis yang sangat rapat dan tangguh sehingga setiap peluru dan rudal-rudal yang Mama tembakkan kearahku tidak begitu mempan.Tapi, kadang ada juga yang mengenaiku. Rasanya sakit sekali !
Setelah hampir sembilan bulan aku ada di perutmu yang seperti neraka itu, aku bernegosiasi dengan Tuhanku. Aku ingin mati saja. Tapi Tuhanku bilang, aku anak yang hebat dan kuat. Aku sungguh tak tahan lagi. Aku memaksa Tuhanku untuk segera mengeluarkan aku dari tempat itu dalam keadaan hidup atau mati. Dan tak lama kemudian akhirnya lahirlah aku dengan sempurna, ya … sempurna cacatnya !!! Seorang bayi perempuan yang lahir dengan kepala yang agak besar, mataku ada kerusakan, syukulah badanku masih normal seperti bayi-bayi yang lainnya. Mama tak kuasa mendengar tangisan pertamaku saat aku nongol ke dunia ini hingga membuat Mama pingsan. Mengapa tak sekalian mati saja !
setelah kejadian itu, Mama membesarkan aku dengan penuh benci.
***
Kini aku berumur  tujuh tahun, aku sudah bisa berlari-lari meskipun anggota tubuhku tak normal. Aku juga sudah lancar berbicara dan kata yang paling aku sukai adalah “Mama… Mama…” sayangnya kau tak pernah menoleh kearahku. Begitu menjijikkankah aku ini ?
Suatu malam, di kamar sempitku yang berada di loteng rumah, kubuka lebar-lebar kedua daun jendela dan wwuussshhhh … angin malam berhembus agak kencang. Kala itu langit begitu cerah. Bintang-bintang bertaburan tak beraturan. Kupandangi langit cukup lama. Lamunanku menghadirkan sosok Mama yang begitu membenciku. Sebenarnya apa salahku ini ? Apa yang aku lakukan sehingga kau tak peduli padaku? Mau kah Mama meluangkan sedikit waktu untukku ?
Wahai angin kencang, tolong sampaikan salam rinduku pada Mama. Aku merasa menjadi seorang bocah yang disesakkan oleh rasa rindu. Terutama Mama yang telah membesarkanku.
Pada siang hari, aku bermain-main di halaman belakang rumah. Mengejar ayam-ayam kecil yang imut-imut. Ketika induknya datang lalu mengejarku, aku berlari pontang-panting masuk ke dalam rumah. Di balik pintu aku mengintip ke arah ayam-ayam tadi dan berucap dalam hati, “Beruntungnya jadi anak ayam itu, punya mama yang perhatian dan ingin selalu melindungi anaknya. Seandainya aku jadi anak ayam, pasti aku tidak diliputi kesedihan yang berlarut-larut seperti ini dan hidup tanpa kebencian”.
            Di sore harinya, aku menonton kotak ajaib yang menayangkan tentang bakti sosial artis terkenal ke salah satu panti asuhan di Jakarta. Dari balik kacamata minus ku yang tebal, aku melihat suasana panti asuhan yang ramai dengan anak-anak yang barangkali seumuran denganku. Apakah nasib mereka sama sepertiku ? Ahh… sepertinya tidak. Mereka ramai sekali, sementara aku kesepian di sini. Mereka yatim piatu, aku punya Mama. Tapi sayangnya Mama tidak mengharapkanku. Setelah lama kubanding-bandingkan antara nasibku dengan nasib mereka, ternyata mereka yang paling beruntung. Aku kesepian. Aku ingin masuk panti asuhan saja agar punya banyak teman .
***
Semakin lama, semakin merindu. Rindu akan sosok Mama dan sebuah benda hidup lain yang bernama Ayah. Aku mendengar kata “Ayah” pertama kali dari kotak ajaib yang berada di ruang tengah rumahku itu. Siapa Ayah? Apa arti Ayah? kalau Mama aku tau artinya, yaitu orang yang melahirkanku ke dunia ini, namun Ayah, apa itu? bisakah ia melahirkan makhluk sepertiku? ahh… aku semakin tak mengerti. Akan kuberanikan diri untuk bertanya pada Mama tentang arti kata “Ayah”.
Perlahan tapi pasti aku mendekat ke arah kamar tidur Mama yang pada saat itu pintunya sedikit terbuka. Aku mengintip ke dalam. Sepertinya Mama baru pulang kerja. Aku berpikir lagi sebelum melakukan apapun. Nyaliku menciut. Aku takut Mama memarahiku. Tetapi dengan segenap keberanian yang ada dan segudang pertanyaan yang hendak kucari jawabannya, aku mendorong pintu kamar Mama perlahan-lahan. Suara derit engsel pintu yang lama tak diminyaki memecah keheningan rumah. Mama menoleh, sorot matanya langsung menghujamku. Tajam dan mengerikan. Darahku berdesir. Jantungku berdetak memburu. Aku takut.
“Ma, Ayah itu apa ?”
“kau tak akan mengerti tentang itu. Pergi sana, aku capek, mau istirahat” usir Mama
            Aku tak mampu mengucap apapun. Mama tak menganggapku sebagai anaknya. Seandainya aku mampu menghitung berapa banyak sakit hati yang kualami sejak di dalam kandungan hingga saat ini, pasti jumlahnya mencapai jutaan kali. Kalau saja aku tahu alasan Mama begitu membenciku, mungkin aku tak terlalu memikirkan hal ini lagi, tapi nyatanya aku tak tahu apa-apa.
***
Umurku kian bertambah dari tahun ke tahun. Saat ulang tahunku yang ke sepuluh, Mama tak ada di rumah seharian. Padahal aku menantinya. Kalaupun Mama pulang kerja dan melihat mukaku ini, ia langsung menghardikku agar tidak pernah muncul lagi dihadapannya. Padahal di hati kecilku, aku ingin memeluknya. Terkadang, di tengah malam aku terbangun lalu mengintip ke dalam kamar Mama. Melihat Mama tidur. Ternyata Mamaku tetap cantik kalau lagi tidur. Aku senang sekali melihatnya tertidur pulas.
Pernah suatu pagi Mama memanggilku dan mengajakku sarapan bersama di meja makan. Mama memberiku sekotak krayon, pensil, buku gambar besar, dan penggaris panjang. Aku sangat terkejut. Peri baik apa yang telah merasuki Mama. Keajaiban. Ternyata Mama masih memperhatikanku.
Ku buka buku gambar itu, lalu memilih satu batang krayon dari dua puluh empat warna yang tersedia. Aku mulai menggoreskan krayon berwarna pink tadi ke atas kertas gambar yang masih putih bersih. Kubuat tiga garis. Pada setiap garis kuberi kepala, rambut, tangan, kaki, dan sebagainya menyerupai manusia. Di atas gambar tadi kububuhkan nama “Ayah”, “Aku”, “Mama”. Ini gambar pertama yang berhasil kubuat. Aku bahagia hari ini.
Suatu ketika aku merasa amat pusing. Denyutan tak tertahakan terjadi di kepalaku, bagaikan dipukul-pukul pakai palu. Aku tak berani melaporkannya pada Mama. Aku menahan sakit ini sendirian. Aku menuliskan perasaanku di buku gambar. Tuhan, ambillah aku. Belum puas kah Engkau menyaksikan penderitaanku selama ini. Aku berdoa pada Tuhanku setiap hari. Kata Bulekku (tetangga sebelah rumah), aku harus rajin sholat dan memohon pada Allah. Bulek yang mengajariku cara sholat. Dan itu membuatku lebih dekat dengan yang menciptakan aku.
Sakit kepala ini semakin menyiksaku. Aku hanya mampu terbaring lemah di tempat tidur. Setelah itu aku tak mampu merasakan apa-apa lagi. Sudah matikah aku? Oh, belum… ternyata aku sudah berada di rumah sakit. Mama ada di sampingku. Mengapa ada selang di hidung, dada dan tanganku? Aku ingin memeluk Mama, tapi aku tidak cukup bertenaga untuk sekedar mengangkat kepalaku yang sedikit lebih besar dari ukuran tubuhku. Aku menggenggam tangan Mama dengan erat. Mama menciumku. Nikmat sekali rasanya. Namun, tiba-tiba rasa sakit yang luar biasa menyerangku dari ubun-ubun hingga ke ujung kaki dan secara ajaib rasa sakit itu lenyap seketika. Aku terbang. Aku bebas dari penderitaan itu. Aku tetap sayang Mama bagaimanapun keadaan Mama dan perlakuan Mama terhadapku.
Selamat tinggal Mama sayang, jaga diri baik-baik ya di bumi.Aku akan menunggu Mama di Surga dan akan selalu mendoakan Mama. Jangan tangisi kepergianku, Ma. Mama cantik kalau tersenyum.

*bersambung ...*
SHARE 0 comments

Add your comment

© Alfizza Murdiyono · Designed by Sahabat Hosting