Cerita Tentang Kesialan yang Sialan !

by nyakizza.blogspot.com, 00.40
Senin, 09 Desember 2013 Pukul 23.48

Aku masih duduk anteng di depan layar laptop yang sialan
mengetik laporan penelitian sialan
padahal aku telah mengetiknya dua kali,
script pertama hilang karena file corrupt
dan malam ini pada pukul 23.57
script laporan akhir penelitianku yang baru saja hampir aku selesaikan, aku khatamkan, HILANG !
hilang tepat di depan mataku.
Sepertinya microsoft word sialan itu terkena gangguan
atau dia senang ya melihat aku meratapi nasib karena kehilangan tulisanku sendiri.

Seharian ini, daripagi sampai malam aku menghasilkan 2.500-an kata yang aku tuangkan dalam laporan penelitianku
namun sekarang harapan indah itu hilang.
Aku kehilangan semangat untuk melanjutkannya
Capek Yaa Allah :'(



Pak Bayu, maafkan Izza karena tidak mengerjakan amanah ini dengan baik.
Sialnya lagi, program komputer tidak mau diajak bekerja sama dengan baik :(

duh, Gusti

Bukan Cerita yang Baik

in , , by nyakizza.blogspot.com, 11.50
aku selalu menyesal pernah membuat, mengambil dan menjalani pilihan-pilihan terburuk dalam hidupku
termasuk berada di sini dan tidak membuat suatu prestasi apapun
sementara di luar sana
teman-temanku yang kemudian aku ketahui beritanya dari jejaring sosial,
mereka bergerak dengan sangat dinamis, se-dinamis kota dimana mereka tinggal.

Pagi ini, aku masih terbangun
dengan kondisi tubuh yang sangat lemas
dan tulang-tulang punggung yang terasa remuk.
cermin yang cukup besar menunjukkan keadaan terbaru mataku,
sangat buruk
kelopak mataku tampak sangat bengkak
aku melirik ke arah jam dinding Edison berbingkai putih yang berdebu.
ahh... pukul nol sembilan tiga delapan

mataku kembali tertutup
tubuhku berusaha mencari posisi relax agar punggungku tidak lagi sakit.

aku ingat, pagi ini harusnya aku bisa mendapatkan ilmu jurnalistik dan kepenulisan di bukit sebelah
atau paling tidak, aku bisa mencuci seember pakaian dalamku yang kotor.

Sisa-sisa kesakitan belakangan ini seperti masih menghimpit
memendam perasaan yang menyedihkan,
bisul,
keuangan seret,
belum makan nasi sejak dua hari,
hingga pertengkaran yang seperti tidak ada akhirnya.
bagaimana bangkit dari kejatuhan?
aku cuma ingin pindah kamar yang mendapatkan banyak sinar matahari.

Sugeng Enjang :)

Kembali lagi bersama saya dalam promosi-promosi yang biasa aja, gak spektakuler-spektakuler banget *hahaha *berusaha rendah hati*

Dalam post promosi kali ini, saya tidak hanya sekedar mempromosikan barang-barang yang menurut saya berharga, bahkan sangat berharga, tetapi juga berbagi ilmu.

Selama kurang lebih dua minggu belakangan ini, saya, Alfisyahr Izzati bersama rekan saya tersayang, Ratih Tyas Arini, telah membangun sebuah kerjasama wirausaha. Kerjasama ini tidak hanya melibatkan kami berdua loh, tetapi juga secara langsung maupun tidak, kami turut serta dalam pengembangan Usaha Kecil Mandiri (UKM) milik masyarakat asli di sekitar tempat kami belajar, yaitu masyarakat Kampung Malon, Gunungpati, Semarang, Jawa Tengah.
Usaha kami dalam menawarkan kain batik asli motif Semarangan sudah kami lakukan baik secara nyata melalui penawaran langsung maupun via online demi mencakup konsumen yang lebih luas.

Kain batik yang kami tawarkan sekali lagi saya tegaskan, kain batik, bukan kain baju yang bermotif batik, tetapi kain batik asli, mulai dari bahan kainnya hingga cara pembuatannya yang memang benar-benar sesuai dengan prosedur pembuatan batik sungguhan.
Mungkin bagi anda yang belum pernah bersentuhan langsung dengan proses membatik masih merasa kebingungan.
Apa sih perbedaan kain batik dengan kain baju yang bermotif batik ?

Baiklah, mari kita bahas secara perlahan sembari meneguk teh hangat di pagi hari dan menghirup segarnya aroma tanah basah, udara segar pagi hari di kaki gunung Ungaran :D

Pertama, saya akan ajak anda untuk mulai membedakan kain batik dengan kain baju yang bermotif batik
mudah saja sebenarnya, kain batik yang sudah barang tentu kain yang memang benar-benar digunakan para pembatik untuk membuat pola-pola batik di atasnya.
Kain baju yang bermotif batik merupakan bahan baju yang kemudian melalui proses pemberian motif batik secara printing.
Bahan kain batik yang kami tawarkan bernama kain primis. Kain primis ini mempunyai tingkatan-tingkatan kualitas dan tentu menyesuaikan pula harganya.
Yang terbaik bisa anda dapatkan pada bahan kain batik tulis kami, karena kain yang produsen gunakan merupakan kain kualitas nomor satu.
Selanjutnya, untuk kain baju batik yang biasa di jual di pasar, anda akan menemukan kain baju yang lumayan menerawang, sehingga harganya di bawah harga kain yang kami tawarkan.
Hai, sudah cukup lama rasanya kita tidak bersua. Ya, mohon maaf, karena belakangan ini saya terlalu sibuk untuk hal-hal yang harus mendapat perhatian lebih dari saya. Saya harus memperhatikan materi perkuliahan saya, kemudian tugas yang datang seperti jerawat, hilang satu, eehhh tumbuhnya banyak yaa, sakit pula, hehehe dan saya harus melakukan observasi lapangan kesana-kemari.
Overall, saya harus harus wajib mencintai apa yang saya lakukan seperti wujud cinta dosen saya kepada mahasiswanya yang disimbolkan melalui tugas ;)
Pada kesempatan yang agak langka ini, saya ingin sekali berbagi cerita tentang pengalaman saya beberapa bulan yang lalu ketika saya harus masuk dan berbaur dalam suatu komunitas adat yang tak pernah saya ketahui sebelumnya.

Pengalaman ini benar-benar baru bagi saya dan mungkin juga sebagian teman saya lainnya.
Yap. Sebuah catatan etnografi yang saya tulis secara telaten selama berada di tempat nun jauh di pedalaman Kalimantan Barat.



Landau , merupakan yang tak pernah saya bayangkan bagaimana wujud tempatnya. Mendengar kata Landau saja baru saat saya dan teman-teman tim ekspedisi sungai Boyan duduk dalam satu ruangan pada salah satu ruang kelas jurusan antropologi budaya, UGM.
Dalam peta yang berskala 1 : 1.750.000 yang ayah belikan di Gramedia Bookstore sebagai hadiah karena saya akan mengikuti program ekspedisi tersebut, saya tidak menemukan tempat yang bernama Landau.
Namun, saya dapat menemukan nama Landau justru dari peta yang di buat oleh teman-teman antro budaya dari hasil foto satelit.
Landau merupakan sebuah nama kampung di kecamatan Melawi Makmur, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Lokasinya cukup jauh dari peradaban kota yang sibuk, berpolusi dan panas. Saya tidak tahu pasti berapa jarak antara kota kecamatan Meliau yang dilalui jalan trans Kalimantan Barat dengan pasarnya yang cukup ramai serta terletak tepat di pinggir sungai Kapuas. Jarak Landau menuju kota kecamatan Meliau kira-kira sekitar 3,5 sampai dengan 4 jam dengan menggunakan sepeda motor.

Nah, di Landau ini, saya punya serentetan cerita yang menarik bagi saya, mungkin juga bagi anda yang tertarik membaca.
Penasaran? Yuk mulai membaca. saya akan selalu menemani anda dalam setiap kalimat yang anda baca *hohoooow


PERJALAN PANJANG

Sabtu, 6 July 2013

            Saya bangun pagi pada hari sabtu tanggal enam Juli 2013 pukul empat dini hari. Saya bergegas mandi dan mempersiapkan packing terakhir hingga pukul lima pagi. Ketika saya sudah siap. Saya masih merasa mengantuk dan tertidur lagi di atas kasur empuk teman saya, Tessa. Pada pukul enam pagi, handphone saya bergetar heboh dan saya terbangun kemudian bergegas menjawab telepon.
“Assalammualaikum”, kataku
“Waalaikumsalam, izza. Za, mbak dan teman-teman on the way jemput kamu. Kamu dimana?” kata mbak niah dari seberang
“Oalah mbak, cepat ya… Izza di kos teman jalan Pringgodani 10, samping alfamart  dekat Universitas Sanatha Dharma”
“ok za, tunggu depan kos ya. Kami segera tiba.”
            Segera saya menutup telepon dan bersiap ke depan. Namun, belum ada lima menit, taxi yang menemput saya tiba. Kami menuju bandara.
            Sekitar pukul tujuh kurang dua puluh menit, kami telah sampai di bandara Adisutjipta, Yogyakarta. Sehari sebelumnya, kami dan tim dari UGM dan Jerman telah berjanji akan bertemu di depan KFC dalam bandara pada pukul tujuh. Namun, mereka datang terlambat. Saya dan Sembilan orang teman saya yang dari Unnes, yaitu ada Kak Tegar, Mbak Niah, Mas Marzuqo, Mbak Yurizka, Mas Zulfikar, Mbak Intan, Mas Imron, Mbak Dyah dan Kanita telah berkumpul sambil memakan roti yang kami bawa untuk sarapan pagi itu. Saya membeli beberapa barang, seperti buku ‘monyet’, bolpen, air mineral, dan roti-roti di minimarket bandara. Buku ‘monyet’ merupakan sebuah buku kecil atau buku note yang akan saya pergunakan untuk mencatat data-data lapangan yang saya dapat. Mas Pudjo sebenarnya menyarankan kepada saya dan kawan-kawan untuk menulis menggunakan pensil, tetapi saya memilih memakai bolpen saja agar tulisannya jelas di mata saya.
            Tidak lama kemudian, datanglah salah seorang teman kami, mahasiswa semester atas dari UGM yang bernama mas Azam. Saat itu, saya masih duduk di pinggi jalan untuk melanjutkan mengetik tugas teori antropologi saya yang belum selesai sambil makan roti. Namun, tak lama kemudian mas Azam mengajak saya dan teman-teman berpindah ke dekat pintu masuk ruang check in bandara. Tak jauh dari pintu masuk ruang check in itulah kami bertemu dengan sekelompok teman-teman dari UGM dan Jerman yang sudah ramai. Mereka membawa luggage atau carier bag yang tinggi-tinggi. Ada beberapa anak yang diantar oleh orang tuanya, ada juga yang diantar oleh kekasihnya, sementara yang lain diantar oleh teman-temannya. Sejenak sebelum check in saya menyempatkan diri untuk mengerjakan tugas teori antropologi saya yang harus segera saya selesaikan. Sekitar pukul tujuh lebih, saya dan teman-teman diajak masuk ke ruang check in. Di dalam ruang check in tersebut, saya dan teman-teman kembali berkumpul, kemudian saya melanjutkan mengetik tugas saya lagi. Untung saja saat itu pemikiran saya sedang bisa diandalkan meskipun dalam keadaan darurat. Di dalam ruang check in kami menunggu pendataan barang bagasi selama kurang lebih pukul setengah sembilan. Setelah mendapatkan airtax dan kartu nomor duduk dari bandara, kami dipersilahkan masuk ke dalam ruang tunggu keberangkatan. Saya duduk di salah satu kursi, kemudian kembali melanjutkan tugas sayayang belum selesai. Pukul setengah sebelas siang pesawat kami datang. Saya tetap menunggu di bangku ruang tunggu keberangkatan sambil mengerjakan tugas hingga datang panggilan untuk masuk ke pesawat. Pukul sebelas kurang, kami memasuki pesawat. Pesawat lepas landas pada pukul sebelas siang.
            Pesawat Express Air yang kami tumpangi terbang di langit atas Pulau Jawa, kemudian melintasi selat Jawa dan kemudian terbang di atas Pulau Kalimantan. Satu setengah jam kemudian sampailah kami di Bandara Supadio Pontianak. Begitu turun dari pesawat, saya bergegas jalan menuju bis yang mengangkut penumpang yang turun menuju terminal kedatangan bandara.
            Udara di luar pesawat sangatlah panas. Cahaya matahari yang silau di mata dan menyengat-nyengat kulit. Begitulah keadaan yang lumrah di daerah yang dilintasi oleh garis khayal khatulistiwa.
            Pukul setengah satu lebih lima menit, saya sudah berada di dalam bandara dan segera menuju tempat mengambil bagasi. Menunggu bagasi sangatlah lama. Oleh karena itu, saya memilih untuk pergi ke kamar kecil dan mencuci muka di wastafel. Toilet di bandara Supadio lumayan bersih dan terang. Ada lima pintu wc lengkap dengan wc duduknya yang bersih. Keramik toilet berwarna crème. Di ruang tersebut terdapat kaca besar yang menyatu dengan wastafel yang digunakan pengunjung untuk bercermin dan juga sangat bersih. Setelah buang air kecil, saya meninggalkan toilet menuju pengambilan bagasi dan mengantre disana. Tak lama, tas ransel saya yeng berisi pakaian sekitar lima potong, jilbab tiga lembar, celana bahan satu lembar, kopi Jawa empat bungkus, ada handuk juga, kemudian ada dalaman saya yang jumlahnya tidak banyak. Namun anehnya, tas ransel saya begitu berat sehingga saya memasukkan ransel tersebut ke bagasi.
            Setelah mendapati tas saya dan menggendongnya, saya keluar ruang kedatangan tersebut. Di luar, sudah ada satu truck berwarna biru milik TNI AU Bandara Supadio. Teman-teman saya yang laki-laki sibuk menaikkan luggage milik anggota yang lain. Saya pun meminta tolong teman saya untuk menaikkan tas r.ansel saya tadi yang sudah saya isikan laptop sehingga tas tersebut harus berada di atas agar tidak terhimpit tas lain. Setelah semua tas dinaikkan ke atas truck TNI tersebut, Mas Pudjo menawarkan kami untuk ikut naik truck dan sebagian lainnya jalan kaki menuju pelabuhan speedboat dan klotok. Saya lebih memilih ikut naik truck dari pada jalan kaki, karena kalau jalan kaki agak jauh dan capek, ditambah lagi panas yang melemahkan tubuh.
            Sepuluh menit kemudian kami yang menumpang truck sudah sampai di tepian sungai Kapuas. Di sana ada beberapa warung warga yang menjual makanan berat dan makanan ringan. Di warung yang paling pinggir (dekat sungai) menjual nasi lengkap dengan lauk-pauknya seperti gulai, semur, sayuran di oseng, di sop dan sebagainya. Turun dari truck, saya ikut membantu mas Zuqo, Mas Fikar, Ogir, Bang Ardan menurunkan barang-barang ke depan warung makan tadi. Setelah itu, saya duduk-duduk menunggu teman-teman yang lain di depan warung makan sambil menikmati sebotol air mineral. Tak lama kemudian, datanglah rombongan teman-teman saya yang berjalan kaki dari bandara tadi. Tak tampak raut lelah dari mereka, yang tampak adalah wajah-wajah ceria. Mas Pudjo sebagai pemimpin rombongan telah datang dan langsung menyuruh kami makan siang di warung atau menunggu nasi bungkus. Saya membeli sebotol air mineral lagi dan mengambil sebungkus nasi jatah makan siang saya. Saya makan di bawah terik matahari di tepi sungai Kapuas bersama partner saya, Vega, Asti, dan Gloria. Kami mengobrol dan bercanda sambil menyantap lahap suap demi suap nasi.
            Setelah makan siang, saya pergi ke masjid yang letaknya tak jauh dari tepi sungai. Masjid Desa Sungai Durian namanya. Masjid tersebut masih dalam tahap pembangunan. Dindingnya masih belum di cat, baru saja di plaster. Saat tiba disana, saya menjumpai dua orang bapak yang sedang duduk santai sambil merokok dan minum kopi di beranda masjid. Saya meminta izin untung men-charge laptop dan handphone. Kedua bapak tersebut mempersilahkan saya. Mereka sangat ramah. Saya dibantu untuk mencolokkan kabel laptop ke terminal atau stop kontak listrik disana. Di masjid itu saya kembali melanjutkan tugas teori antropologi saya yang belum selesai juga. Namun, karena kepala saya sudah pusing, saya mengerjakan tugas tidak terlalu konsentrasi dan hasilnya pekerjaan saya kurang baik. Akhirnya, saya membeli paket internet untuk handphone saya. Saya mengirimkan tugas teori antropologi dan kajian etnografi saya melalui email kepada Pak Bayu, dosen saya. Untung saja, Pak Bayu mau menerima tugas saya itu.
            Usai mengerjakan tugas, saya membawa sabun wajah ke kamar mandi di masjid. Disana saya mencuci muka dan kaki saya. Kemudian saya melakukan sholat dzuhur dan sholat ashar.
            Waktu itu pukul setengah tiga siang. Saya diajak teman saya kembali ke pinggir sungai dan bergabung dengan teman-teman. Saya pergi ke pinggir sungai bersama Mas Imron yang kebetulan saat itu baru selesai sholat.
HARMONISASI KEHIDUPAN DALAM KONSEP TATA RUANG RUMAH BALI
Alfisyahr Izzati
Jurusan Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Semarang

Pulau Bali terkenal dengan sebutan Pulau Dewata atau Pulau Seribu Pura. Sebutan ini muncul karena  di Pulau Bali terdapat banyak pura yang digunakan untuk menyembah Dewata. Sebagian besar masyarakat Bali beragama Hindu Dharma, sehingga kehidupan, adat dan budaya masyarakat Bali sangat dipengaruhi falsafah-falsafah yang diajarkan didalamnya. Budaya tradisional Bali merupakan perwujudan pengaturan tingkah laku umat yang dilandasi agama Hindu dengan 3 (tiga) unsur kerangka dasar, yaitu; 1). Tatwa atau filsafat; 2). Susila atau etika; 3). Upacara atau ritual (Parisada Hindu Dharma, 1978:16 dalam Dwijendra, 2003). Tiga kerangka dasar berperilaku tersebut sudah tertanam kuat di dalam diri setiap individu dalam masyarakat Bali.
Dalam kitab suci Weda, ada beberapa konsep ilmu spesifik yang diaplikasikan dalam kehidupan para penganutnya, yaitu; Ayurweda (Ilmu pengobatan), Dhanurweda (Seni bela diri dan persenjataan), Ayurveda dan Dhanurveda (konsep ini juga dikenal dalam ilmu pengetahuan di Cina, dalam akupuntur dan seni beladirinya, Gandharv Veda (Seni musik, sajak dan tari), Jyotisha (Ilmu Astrologi), Tantra, Shiksha dan Vyakara (Ilmu tata bahasa) juga Stahapatya Veda (Ilmu arsitekturseni pahat dan ilmu geomansi). Semua konsep-konsep ilmu ini bertujuan untuk membuat kehidupan manusia berlangsung harmonis. Hubungan harmonis tersebut terangkum dalam tiga unsur kehidupan, yaitu Tri Hita Karana yang berarti tiga sebab kebahagiaan. Tri Hita Karana yang menjiwai setiap sendi kehidupan manusia, merupakan konsep yang menjelaskan keharmonisan kosmologis. Konsep Tri Hita Karana telah menunjukkan berbagai keunggulan dan nilai-nilai luhur yang bersifat universal dan relevan dengan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Tri Hita Karana secara implisit mengandung pesan agar dalam mengelola sumberdaya alam termasuk sumberdaya air secara arif untuk menjaga kelestariannya, senantiasa bersyukur kehadapan Tuhan dan selalu mengedepankan keharmonisan hubungan antar sesama manusia, sehingga timbulnya konflik dapat diantisipasi. (Sutawan, 2004 dalam Wesnawa, 2010)
Konsepsi keharmonisan hidup juga tercermin pada tata ruang rumah Bali. Rumah Bali seperti pada umumnya berfungsi sebagai tempat tinggal manusia sekaligus tempat beraktivitas seperti masak, makan, tidur, mencuci, juga sebagai tempat berlindung manusia dari kondisi alam atau cuaca (hujan, panas, malam, dsb). Selain itu, rumah Bali juga digunakan sebagai tempat beribadah manusia untuk mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa, Sang Hyang Widhi.

























Mempertanyakan Toleransi dalam Upacara Waisak

in , by nyakizza.blogspot.com, 22.32

Menyaksikan upacara keagamaan yang diadakan setahun sekali menjadi euphoria tersendiri bagi sebagian orang. Seperti tahun-tahun sebelumnya, prosesi tahunan Hari Raya Tri Suci Waisak 2557 Buddha Era (BE) 2013 digelar di kawasan kompleks Candi Mendut- Borobudur. Acara yang dihelat pada tanggal 24-25 Mei ini bertema “Dengan Semangat Waisak Kita Tingkatkan Kesadaran untuk Terus Berbuat Kebajikan”. Prosesi Tri Suci Waisak merupakan peringatan rangkaian tiga peristiwa penting dalam agama Buddha yaitu kelahiran Sidharta, pencapaian kesempurnaan Buddha Sidharta dan wafatnya Sang Buddha Gautama. Perayaan Tri Suci Waisak tidak hanya diramaikan oleh umat Buddhis yang datang dari berbagai daerah ke candi Mendut dan Borobudur.

Di negara yang sebagian besar masyarakatnya adalah penganut Buddha prosesi upacara Waisak dilaksanakan dengan sakral, hening, dan penuh hormat, berbeda 180 derajat dengan Waisak di Mendut-Borobudur. Perayaan waisak di Mendut-Borobudur lebih mirip seperti sebuah atraksi budaya di tempat wisata, atau hiburan rakyat. Masyarakat setempat bahkan turis domestik dan mancanegara memenuhi kawasan tersebut, untuk memperhatikan prosesi perayaan atau sekedar mengabadikan momen yang dihelat sekali setahun ini. Ada pasar seni yang buka hingga malam. Manusia berjubel-jubel di sekeliling kawasan candi hingga altar, menciptakan kebisingan yang sangat mengganggu jalannya pujabakti siang itu. Sepintas, tampak seperti pasar sekaten di Jogja dan bukan ritual religi. Prosesi yang idealnya sakral dan hening karena ada prosesi meditasi dan pembacaan sutra, berubah menjadi keramaian dengan berbagai kepentingan.

Di negeri ini, perayaan ritual agama yang pengikutnya tidak mendominasi, selalu menjadi daya pikat utama bagi wisatawan dan para maniak fotografi. Lebih lagi, Candi Borobudur sudah ditetapkan UNESCO sebagai World Heritage, sama tersohornya dengan Ayutthaya dan Angkor Watt. Lepas dari itu semua, harus diakui, kini prosesi Waisak di Candi Mendut-Borobudur menjelma menjadi sebuah atraksi budaya yang bernilai estetis dan rekreasi. Nilai magis atau kesakralan prosesi telah berbaur dengan komersialisasi wisata. Para penikmat ritual, baik itu wisatawan, para hobi foto maupun wartawan berebut tempat dan berdesak-desakan demi mendapatkan momen terbaik untuk foto yang mereka inginkan. Mereka seolah tak perduli dengan ritual apa yang sedang dijalankan, apakah itu pujabakti, pembacaan sutra, atau meditasi. Para banthe yang sedang khusyuk berdoa dan membaca sutra, bahkan umat Buddha yang sedang sembahyang dikerubungi para maniak fotografi. Tak ubahnya seperti pertunjukan tari-tarian atau kuda lumping.


Bayangkan saja ketika anda sedang Shalat Ied (Fitri maupun Adha) atau merayakan Misa Natal yang agung dan suci, lalu ada orang-orang yang lalu-lalang di sela-sela shaf shalat atau bangku gereja anda. Orang-orang itu sibuk hilir-mudik memotret atau sekedar menonton ritual anda. Apa yang akan anda rasakan? Pastilah jamaah akan merasakan risih dan terganggu, mungkin juga emosi. Itulah sebabnya para fotografer Shalat dan Misa jauh sebelumnya sudah mengatur posisi terbaik mereka agar tidak mengganggu kekhusyukan ibadah jamaah. Namun, hal ini tidak dilaksanakan pada perayaan ritual Waisak kali ini. Teguran demi teguran yang diutarakan MC (master of ceremony) kepada para fotografer, wisatawan ataupun wartawan untuk memberikan ruang kepada umat Buddha yang hendak berdoa di altar, terkesan diabaikan. Jadilah para umat Buddha berdoa diantara kaki-kaki para fotografer, wisatawan maupun wartawan tersebut.
Alfisyahr Izzati
Jurusan Sosiologi dan Antropologi, Unnes'12

Sekilas Teori Strukturalisme Levi-Strauss

in , by nyakizza.blogspot.com, 19.41
Teori strukturalisme pada intinya berpendapat bahwa dalam segala keanekaragaman budaya tentu ada sebuah struktur pembentuk yang sifatnya universal, sama dimanapun dan kapanpun. Claude Levi-Strauss sendiri dikenal sebagai Bapak Strukturalisme, karena memang beliaulah yang pertama kali menjelaskannya secara lebih rinci dan detail.

A.   Biografi dan Karya Lévi-Strauss

Claude Lévi-Strauss adalah seorang antropolog sosial Perancis dan filsuf strukturalis. Ia lahir di Brussels, Belgia, pada 28 Nopember 1908 sebagai seorang keturuan Yahudi. Namun pada tahun 1909 orang tuanya pindah ke Paris, Perancis. Ayahnya bernama Raymond Lévi-Strauss dan ibunya bernama Emma Levy. Sejak kecil Lévi-Strauss sudah mulai bersentuhan dengan dunia seni, yang kelak akan banyak ditekuninya ketika dewasa, karena memang ayahnya adalah seorang pelukis.
Sesungguhnya pendidikan formal dan minat Lévi-Strauss pada awalnya bukanlah Antropologi. Pada tahun 1927, Lévi-Strauss masuk Fakultas Hukum Paris dan pada saat yang sama itu pula, ia pun mempelajari filsafat di Universitas Sorbonne. Studi hukum diselesaikannya hanya dalam waktu satu tahun. Sedangkan dari studi filsafat, aliran materialisme menjadi aliran yang banyak mempengaruhi pemikirannya. Salah satu argument materialisme adalah segala sesuatu harus bisa diukur, diverifikasi, dan diindera. Namun pada suatu saat Levi-Strauss mengungkapkan kebosanannya dalam mengajar. Kemudian setelah membaca buku Primitive Social karya Robert Lowie, seorang ahli antropologi. Bermula dari membaca buku Robert Lowie itulah ketertarikannya akan dunia antropologi muncul. Akhirnya, Levi-Strauss semakin jelas berpaling kepada Antropologi ketika mengajar di Sao Paulo, Brazil, dan melakukan studi antropologi yang lebih luas di pusat Brazil. Selama mengajar di Brazil itulah ia mulai banyak melakukan ekspedisi di daerah-daerah pedalaman Brazil. Heddy Shri dalam bukunya menyebutkan, ekspedisi pertamanya adalah ke daerah Mato Grosso. Dari ekspedisi itu Levi-Strauss merasa mendapatkan pengalaman batin yang menginspirasikan banyak hal, yang tertuang dalam bukunya Trites Tropique. Itulah karya pertamanya dan sekaligus mengukuhkan dirinya masuk kedalam bidang antropologi.
Dalam prosesnya melakukan penelitian dan pengamatan banyak terbentur hambatan. Hal ini salah satunya tidak lepas dari karena ia termasuk keturunan Yahudi, yang saat itu dalam pergolakan pembantaian oleh Jerman. Sampai ia akhirnya harus mengalami pemecatan. Pada tahun 1947, ia kembali ke Perancis dan pada tahun berikutnya ia diangkat sebagai maitre de recherché selama beberapa bulan di CNRS (Center National de la Recherche Scintifique/Pusat Penelitian Ilmiah Nasional). Pada tahun yang sama, ia menyelesaikan studi doktoralnya di Universitas Sorbonne, dengan disertasi Les Structures elementaires de la parente. Levi-Strauss dianggap sebagai pendiri strukturalisme, sebuah paham yang memegang bahwa kode terstruktur adalah sumber makna dan bahwa unsur-unsur struktur yang harus dipahami melalui hubungan timbal balik mereka. Lebih lanjut, bahwa struktur sosial adalahkebebasan dari kesadaran manusia dan ditemukan dalam mitos dan ritual. Secara singkat, itulah inti dari teori strukturalisme menurut pendapat Levi-Strauss.
Levi-Strauss banyak menghasilkan karya-karya tulis besar yang sangat menarik banyak perhatian banyak kalangan, baik dari intelektual maupun awam. Karya-karya terbesar tersebut antara lain: The Elementary Structures of Kinship (1949), Structural Anthropology (1958),The Savage Mind (1962), and the Mythologics, 4 vols. (1964–72). Mythologics sendiri terdiri dari tetralogi The Raw and The Cooked, From Honey to Ashes, The Origin of Table Manners, dan The Naked Man.
Dalam tahun 1968 ia dianugerahi medali emas untuk jasanya memajukan ilmu-ilmu sosial di Perancis dari CNRS (Centre Nationale de la Recherche Scientifique), dan dalam tahun 1976 ia menerima hadiah Bintang Viking untung ilmu antropologi.



B. Metode Segitiga Kuliner

Levi-Strauss menaruh perhatian besar terhadap makanan dan rupa-rupanya karena makanan adalah kebutuhan alamiah pokok dari binatang maupun manusiaMemasak makanan merupakan bentuk budaya yang sangat penting, karena ia memasak merupakan transisi dari alam (nature)  ke budaya (culture). Menurut Edmund Leach (1985: 34), memasak merupakan cara yang universal untuk mentransformasikan alam ke dalam budaya. Penelitian ini diarahkan untuk menelusuri bagaimana pandangan struktural Levi-Strauss dapat diterapkan untuk melihat sistem makanan (food system), karena pendekatan struktural memandang semua fenomena kultural sebagai suatu sistem.
Manusia berbeda dengan binatang dalam mengkonsumsi makanannya. Apabila binatang langsung memakan makanannya yang berasal dari alam secara mentah, manusia secara universal memproses terlebih dahulu makanan yang akan disantapnya. Walaupun demikian ada juga manusia yang menyukai makanan mentah, tanpa dimasak terlebih dahulu. Berbagai jenis makanan yang disantap manusia tidak semata-mata bertujuan untuk membuat kenyang dan menghasilkan energi, namun terdapat jenis-jenis makanan dimasak dan dihidangkan dengan tujuan tertentu. Makanan dapat diberi makna sosial, keagamaan, dan pada pokoknya makanan tersebut mempunyai arti simbolik.
Makanan manusia terdiri dari 3 jenis, yaitu (a) makanan mentah, (b) makanan melalui proses pemasakan, dan (c) makanan melalui proses fermentasi. Makanan mentah adalah makanan yang bebas dari segalam macam proses (non-elabore). 
Berdasarkan akal dan keperluannya sejumlah makanan manusia ada yang bebas dari penggarapan tangan manusia, artinya “bebas dari proses”, dan yang lainnya ada yang harus “kena proses” penggarapan tangan manusia. Levi-Strauss selanjutnya menyatakan bahwa dalam golongan makanan yang “kena proses” dibagi dua lagi, yaitu makanan yang dimasak dan makanan yang terkena proses fermentasi. Kedua jenis makanan tersebut berasal dari “suasana” yang berbeda, makanan yang dimasak artinya terkena kebudayaan manusia, sedangkan makanan fermentasi adalah makanan yang terjadi karena proses alami.

Manusia kemudian mencoba menghubungkan antara makanan yang telah terkena tindakan kebudayaan dan makanan yang dapat dikonsumsi karena proses pematangan alam (fermentasi). Maka kemudian manusia mendapatkan golongan makanan mentah yang terletak di antara dua ekstrim, yaitu bahwa makanan itu mentah karena tidak ada campur tangan manusia, namun dapat juga digolongkan yang terkena tindakan kebudayaan karena sumber makanan tersebut berasal dari tumbuh-tumbuhan yang ditanam dan dari hewan yang dipelihara manusia. Dengan demikian seiring dengan kemajuan kebudayaan manusia, terdapat konsep “segitiga kuliner” dalam menghasilkan makanan yang dikonsumsinya.

C. Analisa Sistem Kekerabatan

Levi-Strauss dalam masa karir akademisnya ia menjadi seorang ahli filsafat, terutamaahli filsafat yang berfikir tentang masalah asas-asas cara berfikir simbolik darimanusia sebagai makhluk kolektif yang berinteraksi dalam masyarakat. Levi-Straussmenganggap ilmu antropologi sebagai ilmu yang dapat memberikan data etnografis mengenai masyarakat primitif, yang dianggapnya perlu untuk mengembangkangagasan-gagasan dan konsep filsafatnya. Masyarakat bersahaja dianggap sebagai contoh dari masyarakat elementer, dan manusia yang kehidupan didalamnya tentu juga berpikir secara elementer, atau dengan istilahnya berpikir secara bersahaja.  
Masyarakat bersahaja biasanya didominasi oleh system kekerabatan, dan warga-warganya berinteraksi didalamnya berdasarkan system simbolik yang menentukan sikap mereka terhadap paling sedikit tiga kelas kerabat, yaitu kerabat karena hubngan darah, karena hubungan kawin, dan karena hubungan keturunan. Dalam usahanya menganalisa segala macam system kekerabatan, seperti juga Brown, Levi-strauss, berpangkal kepada keluarga inti. Ketiga macam hubungan dalam rangka keluarga inti adalah:(1.) hubugan antara seorang individu E dengan saudara-saudara sekandungnya yang berup hubungan darah. (2) hubungan antara E dengan istrinya berupa hubungan karena kawin, yang menghubungkan kelompok saudara sekandungnya dengan saudara sekandung istrinya. (3.) hubungan yang lain yaitu hubungan antara E dan istrinya dengan anak-anak mereka, yang merupakan hubungan keturunan. Dalam kenyataan, kehidupan kekerabatan yang oleh Levi-Strauss dianggap hubugan positif adalah hubungan berdasarkan sikap bersahabat, mesra, dan cinta- mencintai,sedangkan apa yang dianggapnya hubungan negatif adalah hubungan berdasarkan sikap sungkan, resmi, dan menghormati. Kedua hipotesis tadi secara logikamemungkinkan enam kombinasi yang olehnya di ilustrasikan dengan data dari enam suku bangsa, yaitu suku bangsa Trobrian yang telah dideskripsi oleh Malinowski, bangsa-bangsa Siuai di Kepulauan Solomon, Melanesia, suku bangsa Dobu di kepulauan dekat Trobrian, suku-suku bangsa Kobutu di Papua Nugini, suku bangsacherkess, suku bangsa Tonga di Polynesia. Kalau kita teliti data etnografi Levi-Strauss lebih mendalam, maka tampak subyektifnya ia meniai suatu hubungan kekerabatan itu sebagai positif atau negative,dan tampak pula bahwa tidak jarang ia membawa ukuran kebudayaan sendiri, yaitu kebudayaan perancis, untuk membuat penilaian tadi. Kecuali itu, dari data keenam suku bangsa itu menurut metodologi penelitian Levi-stauss sebenarnya belum membuktikan kebenaran dari kedua hipotesanya itu, karena ia hanya memilih enam contoh saja untuk mengilustrasikan tiap kemungkinan kombinasi sikap antara kaumkerabat inti yang mungkin ada.

D. Azas Klasifikasi Elementer

Mengenai azas klasifikasi elementer, Levi-Strauss mengatakan bahwa untuk mengetahui kategori-kategori yang secara elementer dipergunakan akal manusia dalam mengklasifikasikan seluruh alam semesta beserta segala isinya, maka dapat dipelajari dari studi tentang totemisme. Menurutnya, arti kata totem (yang secara lengkap berbunyi ototeman dalam bahasa Ojibwa) adalah “dia adalah kerabat pria saya”. Memang hampir secara universal manusia dalam akal pikirannya merasakan dirinya sebagai kerabat atau berhubungan dengan hal-hal tertentu dalam alam semesta sekelilingnya, atau dengan manusia-manusia tertentu dalam lingkungan sosial-budayanya, sehingga manusia ber-ototeman dengan hal-hal itu. Dalam hubungan itu, manusia mengklasifikasikan lingkungan alam serta sosial budayanya ke dalam kategori-kategori yang elementer. Suatu hal yang paling pokok dalam pandangan ini adalah membagi alam semesta ke dalam dua golongan berdasarkan ciri-ciri yang saling kontras bertentangan, atau merupakan kebalikannya, yaitu suatu cara yang disebut binary opposition (oposisi berpasangan). Dua golongan ini bersifat mutlak (mis: bumi-langit, pria-wanita), bisa pula bersifat relatif (mis: kiri-kanan, orang dalam-orang luar). Pada oposisi tipe pertama tiap pihak dalam pasangan saling menempati kedudukan yang tetap dan mutlak. Sedangkan pada oposisi tipe relatif, satu pihak dalam pasangan menempati kedudukan tertentu terhadap pihak lawannya, tetapi bisa juga menempati kedudukan lawannya itu terhadap pihak ketiga. Tipe klasifikasi ke dalam dua golongan beroposisi ini secara universal ada dalam hampir semua kebudayaan di dunia.

Konsep elementer dua golongan yang relative telah menimbulkan konsep akan adanya golongan ketiga yang bisa menempati kedua kedudukan dalam kedua pihak dari suatu pasangan binary. Pihak ketiga itu dalam cara berpikir bersahaja dianggap merupakan suatu golongan antara yang memiliki ciri-ciri dari kedua belah pihak, namun tidak tercampur, melainkan saling terpisah dalam keadaan yang berlainan. Contoh dari gagasan rangkaian tiga adalah misalnya; manusia/roh halus/dewa, kerabat darah/kerabat karena nikah/bukan kerabat, hidup/maut/kehidupan akhirat, bumi/gunung/langit, dsb.




Sumber :
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press)
Paz, Octavio. 1997. Levi-Strauss : Empu Antropologi Struktural. Yogyakarta: LkiS
Suasana Pagi jam 08.00 di sepanjang Gapura Pecinan dan Jalan Gang Warung

Deretan ruko di Jalan Gang Warung yang masih tutup

Seorang pria tengah berdoa sebelum berkegiatan
Kegiatan ekonomi di sepanjang jalan Gang Warung (distribusi barang dan  jasa)
Pengamen yang beroperasi di sepanjang jalan Gang Baru
Transaksi antara penjual dan pembeli
Pedagang ikan segar di dalam Pasar Gang Baru

Pedagang hasil laut yang dikeringkan
Pedagang Tahu di Pasar Gang Baru
Potret Pasar Tradisional di Pasar Gang Baru

Kebiasaan membaca di pasar
Pedagang Cabai dan Bawang di salah satu sisi Pasar Gang Baru

© Alfizza Murdiyono · Designed by Sahabat Hosting