Ayah : Cinta di Balik Kabut

in , , , by nyakizza.blogspot.com, 21.34

Hari Sabtu weekend yang lalu, tanggal 20 April 2013, Ayah tiba di kos saya dalam rangka “menjenguk” anak gadisnya yang sedang merantau di negeri orang dalam rangka menimba ilmu sebanyak-banyaknya, mencari pengalaman sebanyak-banyaknya dan mengenal orang dengan berbagai karakter sebanyak-banyaknya. Kata Ayah, dengan kita banyak berteman dengan siapa saja, lama-kelamaan kita akan dapat mengerti karakter orang dari suku bangsanya, dari bentuk wajahnya, pembawaan dan cara berbicaranya dan sebagainya lah.

Pada hari Sabtu itu pula, saya dan teman-teman mengikuti kegiatan menanam mangrove dalam rangka Hari Bumi di pantai Tirang. Kegiatan ini rutin diadakan setiap tahun oleh teman-teman dari KSG FIS UNNES.

Sesampainya di kos, saya bertemu dengan Ayah yang sedang beristirahat di kamar setelah melalui long journey-nya dari Makassar. Karena tidak ada penerbangan langsung dari Makassar menuju Semarang, maka Ayah lebih memilih menggunakan jasa bis antar provinsi dari Surabaya menuju Semarang.
Pada Hari Minggunya yaitu tanggal 21 April 2013, Ayah mengajakku jalan-jalan ke Semarang bawah. Mengajakku ke Gramedia store dan membeli beberapa buku. Sebenarnya ada beberapa buku yang saya inginkan sejak dulu hingga kini, namun saya sudah tidak menemukannya lagi di Gramed.
Buku tersebut ialah “MOMOYE”, “Novus Ordo Seclorum” dan buku mengenai Antropologi.
Satu jam… Dua jam … Dua jam setengah … Tiga jam seperempat … kami berada di Gramed. Sungguh tidak terasa.

Aku berjalan mengitari buku novel, membaca synopsis beberapa buku yang sampul dan judulnya menarik minat baca, namun tidak membelinya… *hahahwww *ketahuan deh!!! :D
Akhirnya setelah puas berkeliling, Ayah mengajakku menuju kasir. Dengan penuh sukacita dan semangat yang memancar dari kedua mata Ayah yang kini pada kelopaknya mulai tampak kerutan-kerutan kehidupan –ahh, ayah semakin menua-, Ayah menunjukkan buku-buku yang ada dalam tas belanjanya.
“Ayah beli buku apa aja?” tanyaku penasaran
“Ini kak, Ayah sudah lama ingin membelikan kakak bukunya Pak Karni Ilyas. Satu lagi buat Ayah baca di perjalanan pulang ke Putussibau, bukunya Pramoedya yang kemarin Ayah cari-cari” ujar Ayah dengan senyumnya yang selalu saya rindukan.

“Oh iya, Yah. Wah,dua-duanya buku mahal ini. Buku bagus, kertasnya bagus dan isinya tebal. Judulnya apa yah yang bukunya Pramoedya?” balasku sambil memegang-megang buku tersebut
“Ya jelas lah mahal, tapi yang penting kualitas dan pengetahuan di dalamnya toh. Ini buku seri ketiga judulnya “Jejak Langkah”. Yang seri pertama dan kedua sudah Ayah baca. Kalau kakak mau belajar menulis berita, coba baca dulu buku Pak Karni ini. Hadiah dari Ayah buat kakak. Kakak mau kan? Kalau gak mau gak usah aja, ganti sama buku lain” kata ayah memberi opsi
“Mau yah, mau… Apalagi ini buku bagus. Kakak pengen tau bagaimana perjalanan Pak Karni selama 40 tahun menjadi wartawan” tukasku penuh semangat
“Iyalah kak. Buku bagus ini. Yasudah, kakak gak ingin beli buku apa gitu?”
“Oh nggak yah, nanti aja kapan-kapan kalau kakak butuh. Oya, kakak minta peta Jawa yang gede banget aja deh yah, kan kakak pengen keliling Jawa, hehehe”
“Iya kak, petanya ada di lantai bawah, nanti setelah bayar ini kita ke sana.”
“Oke deh, Yah”

Setelah membayar buku yang Ayah beli tadi, kami berjalan ke lantai satu untuk membeli peta Jawa yang besar seperti yang aku inginkan. Kemarin Ayah telah memberikanku peta Kalimantan yang besar, dan aku tertarik untuk membeli peta Jawa yang besar pula. Biar peta Kalimantannya tidak sendirian *hehehe.
Setelah selesai urusan di Gramedia. Ayah mengajak saya ke toko yang menjual aksesoris untuk petualang. Dari Gramedia di jalan Pemuda, kami berjalan kaki menuju Simpang Lima dan menyebrang ke depan gedung Matahari Dept. Store. Dari situ, kami naik angkot dari simpang lima menuju daerah Bangkong. Di toko itu ayah menawarkan beberapa aksesoris yang sangat berguna untuk saya kenakan saat berpergian (backpacker-an atau kemana gituuu). Dalam hati, saya membatin, “ya Ampun Ayahku, selalu saja seperti ini. Selalu ingin memberikan sesuatu yang bermanfaat buat anaknya meskipun anaknya tidak pernah memintanya.”
Setelah sejam lebih berada di toko tersebut, saya hanya meminta sebuah jaket adventure yang saya sukai. Setelah itu, kami bergegas pulang menuju Gunungpati karena saya ada janji untuk bertemu dengan teman-teman dan dosen di Unnes. Sementara malam harinya, aku meninggalkan Ayah sendirian untuk mengikuti kurasi foto di secretariat CLIC. Kasihan Ayah L
Keesokan paginya, Ayah bersiap-siap berangkat. Meskipun keberangkatan ditunda jadi jam 12 siang, tetapi Ayah harus check in jam 10 pagi. Kami sarapan pagi bersama di warung Mami di gang Setanjung.
Setelah itu, Ayah kembali meninggalkanku untuk menjalani hidup saya sendiri disini. Meskipun begitu, saya tidak akan sendiri.
Setelah Ayah berangkat ke bandara, saya hanya mendapat sms dari ayah, sms pemberitahuan bahwa Ayah telah sampai di bandara. Setelah itu saya tidak mendapatkan kabar apapunlagi dari Ayah dan dari Mama atau adik-adik di Pangkalan Bun.
Sanagt menjengkelkan. Saya merasa panik dan khawatir. Mengapa tidak ada yang menghubungi saya, dan saya pun merasa kesulitan menghubungi orang di rumah.
Akhirnya saya terus menelpon Mama dan adik-adik. Pada telpon saya yang ke delapan, barulah telpon tersambung dan dijawab Mama. Sempat agak emosi karena tidak ada yang memeberitahukan bahwa Ayah telah sampai di rumah.
Tetapi mengetahui Ayah telah sampai dengan keadaan baik-baik saja, saya merasa lega dan bersyukur berkali-kali.
Alhamdulillah ....

Satu dari banyak pesan atau nasihat Ayah yang paling saya ingat, ketika saya sedang merasa down karena sedang dicoba Allah melalui perkataan teman-teman yang kurang mengenakkan di batin adalah seperti ini, (akan saya ceritakan dengan gaya bahasa yang lebih santai) ,,,

“Kakak pernah dengar kisah tentang Lukmanul Hakim, anaknya dan keledainya? Jadi begini kak, pada suatu hari, Lukmanul Hakim dan anaknya sedang berjalan-jalan ke pasar. Saat itu, Lukmanul Hakim mengajak anaknya untuk membuktikan bahwa manusia itu adalah makhluk yang paling serba salah.
Hari itu, Lukmananul Hakim menyuruh anaknya naik dan duduk di atas keledai mereka dan berjalan melintasi pasar. Di tengah perjalanan, Lukmanul Hakim mendengar cemoohan orang seperti ini “ih, kok anaknya tidak punya perasaan ya. Orang tuanya sudah tua begitu malah dibiarkan berjalan kaki, sementara si anak enak-enakan duduk di atas keledai”.

 Pada hari kedua, Lukmanul hakim dan anaknya kembali berjalan ke pasar. Kali ini, Lukmanul Hakim yang menunggang keledai mereka, sementara anaknya jalan kaki menuntun keledai tersebut. Sesampainya di pasar, orang-orang kembali berceloteh, “ih… kok itu bapaknya tidak sayang sama anaknya. Anaknya dibiarkan berjalan kaki sementara bapaknya menunggang keledai.”
Kemudian, pada hari ke tiga, Lukmanul Hakim dan anaknya kembali berjalan ke pasar. Kali ini keledainya mereka naiki berdua dan berjalan melintasi pasar. Kembali, orang-orang pasar justru memandang mereka dengan sinis dan mengumpat, “kok bapak sama anak sama-sama tidak punya rasa belas kasihan pada binatang. Keledai kecil begitu dinaiki berdua.”

Setelah itu, pada hari keempat, Lukmanul Hakim dan anaknya kembali ke pasar dan kali ini keledainya tidak mereka tunggangi. Jadi mereka berdua berjalan kaki melintasi pasar sambil menuntun keledainya. Lagi dan lagi, orang-orang di pasar membicarakan mereka, “orang aneh, punya keledai kok gak ditunggangi.”.”

Kemudian Ayah memberikan konklusi dari cerita Lukmanul Hakim tersebut,

“Jadi begitu kak, sejatinya manusia itu memang serba salah di mata orang lain. Berusaha berbuat baik saja masih salah, apalagi berbuat sesuatu yang salah ya jelas semakin salah. Jadi, kakak gak usah takut salah di mata orang lain, biarkan saja mereka menggunjing kakak di belakang, yang penting kakak maju terus untuk berbuat yang terbaik. Yang terpenting adalah kakak harus berusaha berbuat yang terbaik dan tidak merugikan orang lain dan diri sendiri. Pokoknya kalau kakak merasa tidak merugikan orang lain, lakukan saja.”

Sebenarnya, masih banyak kisah yang menarik dalam perjalanan saya dan Ayah, tetapi agaknya dapat membuat saya semakin kangen dengan Ayah dan keluarga di rumah.
Meskipun Ayah tidak secara gamblang menyatakan dukungan dan semangatnya pada saya, tetapi beliau menyampaikan semangat dan dukungan tersebut dengan membungkusnya dalam kisah-kisah yang inspiratif.
Jadi, untuk malam ini, cukup demikian saja kisah saya dan Ayah Idola saya.
Sebagai penutup, saya akan memberikan beberapa quote mengenai sosok seorang Ayah dalam kehidupan keluarga.


Quote-quote ini saya kutip dari buku yang berjudul “ Ayah Pemilik Cinta yang Terlupakan  ” …

“Seorang ayah akan selalu dan merasa terus bertanggung jawab atas segala dinamika kehidupan sang anak. Apapun akan dilakukannya demi memenuhi kebutuhan dan keinginan anaknya. Sebuah kebahagiaan bisa melihat buah hatinya tersenyum senang”

“Ajaran teladan ayah sering terdengar, terlihat, dan terasa setelah ia tiada”

“Kadang kala ayah begitu rendah hati, belajar dari kita, anak-anak yang selalu dibekalinya peka lingkungan, peduli terhadap sesama”

“Sering kita lupa, bahwa dengan sekuat tenaga, sepenuh hati, ayah selalu bekerja keras untuk kehidupan keluarga, membangun masa depan anak-anaknya.”

“Dorongan kuat seorang ayah agar anaknya bermimpi besar, akan menjadi pemantik kobaran api semangat sang anak dengan sendirinya”

“Seorang ayah akan merasa bertanggung jawab terhadap apa yang dilihatnya, meskipun itu bukan menjadi kewajibannya. Ia bukan hanya ayah bagi anak kandungnya semata”

“Cinta ayah tidak kalah besar dengan cinta ibu. Ia juga akan relakan hidupnya demi anaknya, tanpa harus memperlihatkan derita yang ditanggungnya”

“Bagaimanapun keadaan istrinya, ia tetap ibu dari anak-anaknya, demikianlah seorang ayah yang baik”

“Ayah adalah seorang motivator terdekat, terhebat dan terkuat bagi anaknya, siapapun ia”

“Seorang ayah akan bekerja mati-matian dan ingin selalu menanggung semua beban keluarganya, bagaimanapun keadaannya, ia akan terus berusaha menjawab,  menanggung semuanya”

“Bagaimanapun caranya, seorang ayah akan berusaha memenuhi keinginan anaknya. Pantang baginya menyerah karena keadaan”

“Seorang ayah selalu bertanggung jawab peuh atas kelangsungan hidup sang anak. Apapun akan ia lakukan demi kebahagiaan titipan Tuhan”

“Kekuatan doa ayah sama dengan kekuatan doa ibu. Mereka malaikat kecil bagi anak-anaknya”  (dengan perbahan)

“Ayah bisa berwujud ibu. Ialah sosok pelindung, pengayom, pekerja keras demi kehidupan anak-anaknya”

“Ayahlah pemilik ketelatenan, ketekunan sejati. Ia selalu berpikir panjang untuk masa depan anaknya”

“Sekali memberi nasihat, ia selalu panjang lebar, namun cukup sekali ! Tidak mengulangnya kembali”

“Kesabaran itu sesungguhnya milik seorang ayah. Tanpa mau dilihat, ia ingin berbuat”

“Cinta dan kasih sayang ayah sering tersembunyi di balik ketegarannya. Ia tak ingin menunjukkan sisi melankolisnya agar anaknya tidak tumbuh jadi manusia cengeng”

“Seorang ayah selalu mengajari anak-anaknya tentang arti sebuah perjuangan hidup, tanpa menggurui, namun menjalaninya bersama”

“Seorang ayah pantang mengeluh atas semua peluh. Ialah motivator tersembunyi, di belakang layar istrinya, ibu dari anak-anak yang dicintainya”

“Seorang ayah akan menerima apapun perlakuan anaknya di masa tuanya, tak akan menghitung budi yang telah ia keluarkan. Ikhlas”

“Kegigihan perjuangan seorang ayah, siapapun ia, akan berpengaruh besar terhadap masa depan anaknya. Ia selalu yakin dan ingin anaknya bisa melebihinya”

Sampai jumpa dalam kisah lainnya,
Semoga menginspirasi dan semoga kita tetap jadi anak yang mencintai kedua orang tua kita. Ayah memang sosok belakang layar yang luar biasa. Ibu selalu menjadi sosok luar biasa yang cinta kasihnya blak-blakan tampak sangat riil, berbeda dengan gaya mencintai ayah yang cenderung cukup dengan memonitor anaknya melalui istrinya.
Ayahku hebat ! J

dua peta besar di sudut kamar



SHARE 1 comment

Add your comment

  1. emm, keren izza, lanjutin nulisnya, perlahan kita bangkitkan semangat baca dan menulis pemuda pada masa ini

    BalasHapus

© Alfizza Murdiyono · Designed by Sahabat Hosting