Suasana Pagi jam 08.00 di sepanjang Gapura Pecinan dan Jalan Gang Warung

Deretan ruko di Jalan Gang Warung yang masih tutup

Seorang pria tengah berdoa sebelum berkegiatan
Kegiatan ekonomi di sepanjang jalan Gang Warung (distribusi barang dan  jasa)
Pengamen yang beroperasi di sepanjang jalan Gang Baru
Transaksi antara penjual dan pembeli
Pedagang ikan segar di dalam Pasar Gang Baru

Pedagang hasil laut yang dikeringkan
Pedagang Tahu di Pasar Gang Baru
Potret Pasar Tradisional di Pasar Gang Baru

Kebiasaan membaca di pasar
Pedagang Cabai dan Bawang di salah satu sisi Pasar Gang Baru

GELIAT PERMUKIMAN PECINAN DI KOTA SEMARANG

in , , by nyakizza.blogspot.com, 14.00




Permukiman “pecinan” dipastikan  bisa ditemukan pada setiap kota-kota di Indonesia. Bahkan, pecinan kerap kali terlihat seperti sebuah  kota dalam kota. Edmund Scott pemimpin loji Inggris di Banten pada tahun 1603-1604, melukiskan kesannya pada daerah Pecinan di Jawa (Lombard, 1996, jilid 2:275 dalam Handinoto, 1999):
“Sejak  tiba di pelabuhan-pelabuhan pesisir, kita dengan mudah melihat kekhasan daerah Pecinan. Daerah pecinan seolah-olah  merupakan sebuah  kota di dalam kota. Letaknya di sebelah barat  kota dan dipisahkan oleh sebuah sungai.  Rumah-rumahnya  dibangun dengan pola bujur sangkar dan terbuat  dari bata. Wilayah  ini mempunyai pasar sendiri yang dicapai melalui sungai”.

Kawasan Pecinan  selain dihuni oleh sebagian besar warga keturunan Cina, juga dihuni oleh warga pribumi atau etnis Jawa. Pecinan kerap dianggap sebagai “pusat perkembangan” sebab kawasan pecinan  merupakan kawasan perdagangan yang sangat ramai.
Emigrasi  orang Cina ke Jawa mulai terjadi secara besar-besaran  pada abad ke 14. Awal terjadinya pemukiman Cina di sepanjang  pantai Utara  Jawa tersebut sebagai akibat dari aktivitas  perdagangan antara India dan Cina melalui laut.  Perdagangan  lewat laut tersebut memanfaatkan angin musim Utara antara bulan Januari-Pebruari untuk pergi ke Selatan. Sementara angin musim  Selatan  antara bulan Juni-Agustus dimanfaatkan untuk kembali ke Utara. Selama periode badai  (Cylone) atau perubahan musim, para pedagang tinggal di pelabuhan-pelabuhan Asia Tenggara, disamping mereka menunggu rekan dagang dari daerah atau  negeri lainnya. Pedagang-pedagang Cina bermukim  di daerah yang disinggahinya dan ada pula yang menikah  dengan  penduduk  pribumi. Maka, proses akulturasi budaya terjadi pada masa  itu. Daerah yang ditinggali oleh pedagang Cina tersebut kemudian menjadi Entrepot (kota pelabuhan sebagai pusat dari tukar-menukar barang). Di Jawa, kota-kota tersebut  misalnya: Tuban, Gresik, Surabaya, Demak, Jepara, Lasem, Semarang,  Cirebon, Banten dan Sunda Kelapa (Handinoto, 2010).
Salah  satu  daerah  permukiman Cina dengan jumlah  penduduk terbanyak di Jawa adalah di Semarang. Pecinan  Semarang merupakan bagian dari wilayah kelurahan Kranggan, Kecamatan Semarang Tengah. Berdasarkan ciri fisik dan masyarakatnya, kawasan pecinan Semarang dapat dibedakan menjadi daerah core (inti) dan daerah pinggiran (periphery) yaitu daerah  yang berbatasan langsung dengan daerah inti dan masih termasuk dalam kawasan Pecinan. Daerah  inti (core) merupakan  lokasi perkampungan Cina  lama, tempat bangsa Cina di Semarang ditempatkan pertama kali sejak perpindahan dari daerah Simongan. Adapun batas-batas wilayah tersebut adalah sebagai berikut ;
·         Batas Utara                        : Jalan Gang Warung, Pekojan
·         Batas Selatan         : Kali Semarang
·         Batas Timur            : Kali Semarang
·         Batas Barat                        : Jalan Beteng dan Pedamaran
Jalan utamanya sekarang adalah :
·         Jalan Gang Pinggir yang merupakan penerusan dari Jalan Pekojan
·         Jalan Gang Warung yang menerus ke Jalan Wahid Hasyim (Kranggan)
·         Jalan Beteng yang sekaligus merupakan batas sebelah Barat kawasan Inti Pecinan sejak dulu.

Jalan-jalan  lain seperti Gang Besen, Gang tengah, Gang Gambiran, Gang Belakang, Gang Baru, dan gang Cilik berada di kawasan ini. Di daerah  inilah dulu terdapat empat Benteng yang dibangun  untuk melindungi keamanan penduduk didalamnya. Banyaknya Klenteng yang tersebar di kawasan ini menjadi ciri mencolok dan sangat menarik untuk dikunjungi oleh wisatawan domestik maupun  wisatawan  asing. Hal  ini ditunjang dengan adanya sebutan yang menyatakan bahwa Semarang merupakan daerah “1001 Klenteng”.
Pertokoan di sepanjang jalan Gang Warung  akan buka pada siang hari sekitar jam sebelas dan rata-rata merupakan toko tekstil dan toko obat Cina maupun apotek. Jika diamati lebih lanjut, tata letak kawasan pecinan Semarang dapat dipetakan sebagai berikut;
a.       Jalan K.H. Wahid Hasyim :  Pertokoan tekstil dan emas (perhiasan)
b.      Jalan Pedamaran                 : Pedagang hasil bumi di Pasar Johar termasuk pemukiman kumuh di dalam gang-gang sempit yang dihuni penduduk pribumi.
c.       Jalan Gang Baru                 : Tempat penjualan hasil bumi (pasar tradisional pecinan)
d.      Jalan Gang Pinggir             : Perdagangan emas dan perhiasan serta warung makan.
e.          Jalan Gang Besen, Gang Belakang, Gang Gambiran: Pemukiman warga pecinan dan perkantoran.
f.          Jalan Gang Tengah                                         :   Pusat perkantoran Bank.
g.         Jalan Gang Pinggir dan Gang Baru           : Toko perlengkapan sembahyang dan pernak-pernik khas Cina.
h.      Gang Beteng, Gang Warung, Gang Pinggir   : Pertokoan. Toko grosir, toko kelontong, dan toko.
 Di sepanjang Gang Warung pada pagi hari sekitar pukul delapan  memang tidak tampak adanya  pertokoan yang sudah  buka. Tetapi, jalan utama pecinan ini tampak ramai oleh lalu-lalang  kendaraan  bermotor, becak, dan  sepeda onthel.  Lahan  depan  pertokoan dijadikan  lahan  parkir untuk mobil dan  sepeda  motor juga becak-becak. Ketika berdiri di depan gapura pecinan  Semarang, yang tampak hanyalah sebuah warung  makan tenda di kanan dan kiri jalan serta tukang pangkas rambut yang sudah  mulai beraktivitas.  Namun,  jika dilihat lebih jauh, ada salah satu  gang sempit yang  sangat padat pengunjung pada setiap paginya, yaitu Gang Baru.

Gang Baru yang hanya sebuah lorong sempit, sepi dan  menyeram kan  pada malam  hari, mendadak  berubah  menjadi  tempat yang sangat ramai. Hal ini dikarenakan warga pecinan menjadikan  gang tersebut sebagai lahan  dagang atau pasar tradisional pecinan. Setiap pukul empat dini hari, para pedagang mulai membuka  lapak mereka dan menata barang dagangan.

Pedagang di pasar tradisional Gang Baru ini, tidak hanya berasal dari etnis Cina, melainkan  juga dari etnis Jawa dan Melayu. Salah satu aspek yang  mutlak dalam interaksi sosial adalah  bahasa yang digunakan  sebagai alat untuk menyampaikan pesan dan makna. Di Pasar Gang Baru ini, baik antara pedagang dengan pedagang, maupun  pedagang dengan pembeli, sering terdengar berkomunikasi dalam  bahasa Jawa dan Bahasa Mandarin (Tionghoa). Etnis Cina akan lebih sering berbahasa Tionghoa dengan sesamanya. Sementara itu, orang yang berasal dari etnis lain tidak mampu berbahasa Tionghoa, sehingga mereka menggunakan bahasa Jawa. Sebaliknya, mayoritas etnis Tionghoa lancar berbahasa Jawa dengan dialek aksen Mandarin.

KAMPUS MERAH FIS SMART

in , , , , by nyakizza.blogspot.com, 22.45





in , , by nyakizza.blogspot.com, 22.33
Curug Sewu - Kabupaten Kendal di Musim Kemarau
memory 15 September 2012

BAB I
PENDAHULUAN
1.1       Latar Belakang
Sepanjang hidupnya, manusia selalu belajar dan melakukan perubahan-perubahan  sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lingkungan (adaptasi). Hal ini adalah sesuatu yang wajar sebab semua masyarakat/kebudayaan mempunyai dinamika (berubah). Masyarakat terus berkembang seiring berkembangnya zaman. Perubahan-perubahan tersebut terjadi baik secara individu maupun berkelompok. Dinamika penduduk, yaitu pertambahan dan penurunan jumlah penduduk di suatu desa. Pertambahan penduduk akan menyebabkan perubahan pada tempat tinggal. Tempat tinggal yang semula terpusat pada lingkungan kerabat akan berubah atau terpancar karena suatu faktor pendorong adanya perubahan tersebut.
Perubahan memang terikat waktu dan tempat. Akan tetapi, karena sifatnya yang berantai, perubahan itu tampaknya terjadi secara terus-menerus walau diselingi dimana keadaan masyarakat mengadakan reorganisasi unsur-unsur struktur masyarakat yang terkena perubahan. Dinamika masyarakat tersebut terjadi karena adanya Interaksi sosial. Interaksi sosial terjadi karena adanya kontak sosial dan komunikasi. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis menyangkut hubungan antara orang-orang perorang, antar kelompok manusia, maupun antar orang perorang dengan kelompok manusia yang menghasilkan hubungan timbal balik.
Salah satu bukti nyata perubahan sosial tampak pada perubahan pola permukiman masyarakat. Contohnya saja yang terjadi di Kota Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, pada zaman dahulu pola permukiman warga Pangkalan Bun masih bersifat homogen (hanya tinggal satu lingkungan dengan orang-orang satu suku) permukiman yang bersifat homogen dan tempat tinggal yang disekeliling keluarga serumpun dapat mempermudah interaksi atau komunikasi sehubungan dengan belum adanya komunikasi yang canggih. Namun seiring berjalannya waktu, sekarang ini warga Pangkalan Bun sudah membaur dan bersifat heterogen yang tidak harus berkumpul dengan kerabat serumpunnya sehubungan dengan alat komunikasi yang sudah canggih.
Makalah ini membahas tentang pola permukiman masyarakat Pangkalan Bun. Perubahan pola permukiman  ditinjau dari sudut pandang perubahan sosial budaya sebagai salah satu bidang kajian sosiologi.
1.2       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pola permukiman masyarakat Pangkalan Bun pada zaman dahulu ?
2.      Bagaimana pola permukiman masyarakat Pangkalan Bun sekarang ?
3.      Apa faktor yang melatarbelakangi pembentukan pola permukiman tersebut ?
4.      Mengapa terjadi perubahan pola permukiman masyarakat di Pangkalan Bun ?




BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1       Definisi Perubahan Sosial
Para sosiolog mencoba mendefinisikan, merumuskan prinsip-prinsip atau hukum-hukum perubahan sosial. Banyak pengertian yang menjelaskan tentang bagaimana perubahan sosial tersebut terjadi dalam masyarakat. Hal demikian disebabkan karena tiap-tiap masyarakat mempunyai kondisi lingkungan sosial budaya dan alam yang berbeda. Berikut adalah beberapa pengertian dari perubahan sosial menurut para ahli.
a. Gillin and Gillin
Menurut J.L Gillin dan J.P Gillin, perubahan sosial adalah suatu variasi dari cara-cara hidup yang diterima, yang disebabkan oleh perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideology, maupun karena adanya difusi dan penemuan baru dalam masyarakat tersebut.
b. Max Weber
Berpendapat bahwa perubahan sosial budaya adalah perubahan situasi dalam masyarakat sebagai akibat adanya ketidaksesuaian unsur-unsur (dalam buku Sociological Writings).
c. W. Kornblum
Berpendapat bahwa perubahan sosial budaya adalah perubahan suatu budaya masyarakat secara bertahap dalam jangka waktu lama
d.   Selo Soemardjan
Selo Soemardjan mengatakan bahwa perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya. Termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola-pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat tersebut.
e. Kingsley Davis
Davis mengartikan perubahan sosial adalah perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat.
f. Robert Mac Iver
Dalam bukunya “A Textbook of Society” Iver  mengatakan bahwa perubahan sosial adalah perubahan-perubahan dalam hubungan-hubungan sosial (social relationship) atau perubahan terhadap keseimbangan hubungan sosial.
g. William F. Ogburn
William menyatakan bahwa perubahan sosial mencakup unsur-unsur kebudayaan baik material atau non material.
h. Ritzer, et.al (1987: 560) dalam Piotr Sztompka
Perubahan sosial mengacu pada variasi hubungan antarindividu,kelompok, organisasi, kultur dan masyarakat pada waktu tertentu.

SISTEM KEKERABATAN SUKU BALI

in , by nyakizza.blogspot.com, 22.16

SISTEM KEKERABATAN SUKU BALI

photo by : kanjeng izza


Keunikan Bali bisa dilihat melalui bagaimana manusia Bali melakukan pembinaan kekerabatan secara lahir dan batin. Orang Bali begitu taat untuk tetap ingat darimana dirinya berasal. Hal inilah kemudian melahirkan berbagai golongan di masyarakatnya yang kini dikenal dengan wangsa atau soroh. Begitu banyak soroh yang berkembang di Bali dan mereka memiliki tempat pemujaan keluarga secara tersendiri. Tatanan masyarakat berdasarkan soroh ini begitu kuat menyelimuti aktivitas kehidupan manusia Bali. Mereka tetap mempertahankan untuk melestarikan silsilah yang mereka miliki. Mereka dengan seksama dan teliti tetap menyimpan berbagai prasasti yang didalamnya berisi bagaimana silsilah sebuah keluarga Bali. Beberapa soroh yang selama ini dikenal misalnya Warga Pande, Sangging, Bhujangga Wesnawa, Pasek, Dalem Tarukan, Tegeh Kori, Pulasari, Arya, Brahmana Wangsa, Bali Aga dan lainnya. Semuanya memiliki sejarah turun-temurun yang berbeda. Meski begitu, akhirnya mereka bertemu dalam siklus keturunan yang disebut Hyang Pasupati. Begitu unik dan menarik memahami kehidupan orang Bali dalam kaitan mempertahankan garis leluhurnya. Sebagian kehidupan ritual mereka juga diabdikan untuk kepentingan pemujaan terhadap leluhur mereka.

Suku bangsa Bali merupakan kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran akan kesatuan budayanya, kesadaran itu diperkuat oleh adanya bahasa yang sama. Walaupun ada kesadaran tersebut, namun kebudayaan Bali mewujudkan banyak variasi serta perbedaan setempat. Agama Hindhu yang telah lama terintegrasikan ke dalam masyarakat Bali, dirasakan juga sebagai unsur yang memperkuat adanya kesadaran kesatuan tersebut. Perbedaan pengaruh dari kebudayaan Jawa Hindhu di berbagai daerah di Bali dalam jaman Majapahit dulu, menyebabkan ada dua bentuk masyarakat Bali, yaitu masyarakat Bali - Aga dan masyarakat Bali Majapahit. Masyarakat Bali Aga kurang sekali mendapat pengaruh dari kebudayaan Jawa - Hindhu dari Majapahit dan mempunyai struktur tersendiri. Orang Bali Aga pada umumnya mendiami desa-desa di daerah pegunungan seperti Sembiran, Cempaga Sidatapa, Pedawa, Tiga was, di Kabupaten Buleleng dan desa tenganan Pegringsingan di Kabupaten Karangasem. Orang Bali Majapahit yang pada umumnya diam didaerah-daerah dataran merupakan bagian yang paling besar dari penduduk Bali.
Bahasa Bali termasuk keluarga bahasa Indonesia, bahasa Bali tak jauh berbeda dari bahasa Indonesia lainnya. Peninggalan prasasti zaman kuno menunjukkan adanya suatu bahasa Bali kuno yang berbeda dari bahasa Bali sekarang. Bahasa Bali kuno tersebut disamping banyak mengandung bahsa Sansekrta, pada masa kemudiannya juga terpengaruh oleh bahasa Jawa Kuno dari jaman Majapahit ialah jaman waktu pengaruh Jawa besar sekali kepada kebudayaan Bali. Bahasa Bali mengenal juga apa yang disebut "perbendaharaan kata-kata hormat", walaupun tidak sebanyak perbendaharaan dalam bahasa Jawa. Bahasa hormat (bahasa halus) dipakai kalau berbicara dengan orang-orang tua atau tinggi. Di Bali juga berkembang kesusasteraan lisan dan tertulis baik dalam bentuk puisi maupun prosa. Disamping itu sampai saat ini di bali didapati juga sejumlah hasil kesusasteraan Jawa Kuno (kawi) dalam bentuk prosa maupun puisi yang dibawa ke Bali ketika Bali di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit.

ETNOGRAFI DI INDONESIA : BERBAGAI CIRI
(Ditulis oleh Prof. Heddy Shri Ahimsa Putra)

Ketika berbicara mengenai etnografi di Indonesia, maka kita tidak bisa terlepas dari buku-buku referensi seperti Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Masyarakat Desa di Indonesia Masa Kini, Penduduk Irian Barat, Masyarakat Terasing di Indonesia yang diedit oleh Prof. Koentjaraningrat, Minawang dari H.S. Ahimsa Putra, Dunia Orang Sawu dari N.L. Kana, Tradisi Pesantren dari Z. Dhofier, Manusia dan Hutan dari H. A. Pranowo, Konflik dan Integrasi dari A. F. Nasution, The Javanesse Trah dari S. Sjairin, serta berbagai macam artikel yang ditulis oleh para ahli antropologi dan dimuat dalam berbagai macam jurnal.


Jika kita perhatikan isi dari berbagai macam buku dan artikel etnografi tersebut, maka dari perspektif tertentu kita akan dapat mengelompokkan mereka ke dalam tiga kategori, yakin etnografi yang bersifat asal deskripsi yang kemudian disebut Etnografi Awam, kemudian etnografi yang berisi deskripsi, baik yang mendalam maupun dangkal, tetapi juga bersifat klasifikatif, yang kemudian disebut Etnografi Laci, dan yang terakhir  adalah etnografi yang berisi deskripsi juga, namun sudah lebih analitis yang disebut Etnografi Analitis.




Etnografi Awam
Etnografi Laci
Etnografi Analitis
a.
Bukan ditulis oleh ahli Antropologi (biasanya berasal dari wartawan)
Hanya berisi pelukisan tentang kebudayaan dan sukubangsa
Memusatkan perhatian pada fenomena tertentu (politik, kekerabatan, agama, dsb)
b.
Banyak dimuat dalam majalah-majalah popular atau surat kabar
Umumnya sudah lebih sistematis (uraian sudah mengikuti urutan tertentu yang telah ditentukan, yaitu 7 unsur kebudayaan universal)
Penulis juga mengambil jarak dengan obyek dan subyek penelitian.
c.
Deskripsinya datar. Umumnya tidak terdapat analisa ataupun kesimpulan tertentu dari penulis mengenai apa yang dituliskan
Judul-judul semacam laci tempat penulis memasukkan informasi
Masih belum ditemukan adanya dialog antara peneliti dengan informan, maka yang tampil adalah berbagai abstraksi.
d.
Judul dibuat semenarik mungkin, berlawanan dengan pendapat umum agar orang tertarik membaca artikel tersebut.
Sudah lebih “ilmiah” atau antropologis (kita akan menemukan konsep-konsep analitis yang penting dalam antropologi.
Diawali dari sebuah permasalahan tertentu. Mencari solusinya melalui penelitian (lapangan maupun pustaka).
e.
Focus pembicaraan tidak sangat tajam/ tidak mendalam
Ditujukan pada publik yang lebih terbatas (mereka yang tahu, memahami, dan dapat menjelaskan fenomena sosial budaya sserta ingin memahami kehidupan dan dinamika masyarakat dan kebudayaan.
Berupaya menampilkan keterkaitan antara unsure budaya satu dengan yang lain dan mencari benang merah dalam permasalahannya.
f.
Tidak mencoba memberikan penjelasan dan analisis.
Sering ditemui pendefinisian beberapa konsep, untuk mencegah simpang-siurnya pendapat antara penulis dengan pembaca.
Memiliki karakter sistematis, teratur, dan memiliki alur pemikiran yang jelas.
g.
Tidak terdapat kerangka teori seperti yang kita temukan pada buku-buku atau artikel antropologi ilmiah.
Penulis tampak mengambil jarak dengan subjek etnografinya (tampak sebagai seorang pengamat).
Bersifat argumentative, informative, eksplanatif (menjelaskan) dan juga interpretative (menafsirkan).
h.
Ada jarak antara penulis etnografi dengan para informan dan dengan apa yang ingin disampaikan pada pembaca.
Penulis menghindari pandangan subyektif. Penulis etnografi laci beranggapan bahwa apa yang mereka tampilkan adalah yang paling “objektif”

i.
Menampilkan obyek/subyek apa adanya, tanpa dibumbui tafsir dan analisis.
Bagi penulis etnografi laci, bahasa dipakai untuk menampilkan dan memaparkan realitas empiris

j.
Dianggap “data mentah”. Bisa dimanfaatkan oleh para ilmuan sosial-budaya untuk menjelaskan fenomena tertentu.
Menampilkan abstraksi atas hal-hal yang ia dengar, lihat dan mungkin alami selama peneliti tinggal di lapangan.

k.
Tidak ada perenungan-perenungan dari penulis dan hasil etnografinya. Terbatasnya ruang menjadi penyebabnya.
Tampak adanya otoritas penulis. Pembaca tidak diberikan kesempatan untuk menilai ketepatan abstraksi dan interpretasi atas keterangan informan.

l.
Sangat informative (informasi sangat rinci, ada kutipan kata-kata informan secara langsung, sangat reliable, dan dapat dipercaya).
Otoritas dan reability dalam etnografi laci didasarkan pada dua hal;
Kewargaan suku-bangsa dan keberadaan di tempat.

m.
Kadang, lebih terasa sentuhan kemanusiaannya karena sosok informan lebih jelas.
Sudah ada kerangka teori, tetapi belum terlalu eksplisit. Masih agak tersembunyi.
Judul dan cara penulisannya lebih variatif
n.

Menggunakan epistemology yang positivistic.
Penulis tampak sebagai analyst atau interpreter.
o.

Berawal dari keinginan untuk membuat perbandingan atau studi perbandingan. Tidak ditemukan kesimpulan tertentu ataupun sudut pandang baru.
Penulis berusaha memahami gejala sosial tertentu dengan menempatkannya pada konteks yang lebih luas.
p.

Pemaparan kenudayaan terasa datar dan tidak menampilkan kenyataan yang sebenarnya.

q.

Pemaparan suku-bangsa dan kebudayaan merupakan rekonstruksi dari penulis, bukan realitas yang didengar dan dialami oleh penulis. Penulis menjelma menjadi cultural creators (pencipta kebudayaan).
(King, 1990)
Memiliki kerangka teori yang bersifat eksplisit (berfungsi untuk membimbing penulis mengorganisir datanya dan menjadi alat pembenaran etnografi untuk memperoleh status ilmiahnya.

© Alfizza Murdiyono · Designed by Sahabat Hosting