BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sepanjang
hidupnya, manusia selalu belajar dan melakukan perubahan-perubahan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi
lingkungan (adaptasi). Hal ini adalah sesuatu yang wajar sebab semua
masyarakat/kebudayaan mempunyai dinamika (berubah). Masyarakat terus berkembang
seiring berkembangnya zaman. Perubahan-perubahan tersebut terjadi baik secara
individu maupun berkelompok. Dinamika penduduk, yaitu pertambahan dan
penurunan jumlah penduduk di suatu desa. Pertambahan penduduk akan menyebabkan
perubahan pada tempat tinggal. Tempat tinggal yang semula terpusat pada
lingkungan kerabat akan berubah atau terpancar karena suatu faktor pendorong
adanya perubahan tersebut.
Perubahan
memang terikat waktu dan tempat. Akan tetapi, karena sifatnya yang berantai,
perubahan itu tampaknya terjadi secara terus-menerus walau diselingi dimana
keadaan masyarakat mengadakan reorganisasi unsur-unsur struktur masyarakat yang
terkena perubahan. Dinamika masyarakat tersebut terjadi karena adanya Interaksi
sosial. Interaksi sosial terjadi karena adanya kontak sosial dan komunikasi. Interaksi
sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis menyangkut hubungan
antara orang-orang perorang, antar kelompok manusia, maupun antar orang
perorang dengan kelompok manusia yang menghasilkan hubungan timbal balik.
Salah
satu bukti nyata perubahan sosial tampak pada perubahan pola permukiman
masyarakat. Contohnya saja yang terjadi di Kota Pangkalan Bun, Kalimantan
Tengah, pada zaman dahulu pola permukiman warga Pangkalan Bun masih bersifat
homogen (hanya tinggal satu lingkungan dengan orang-orang satu suku) permukiman
yang bersifat homogen dan tempat tinggal yang disekeliling keluarga serumpun
dapat mempermudah interaksi atau komunikasi sehubungan dengan belum adanya
komunikasi yang canggih. Namun seiring berjalannya waktu, sekarang ini warga
Pangkalan Bun sudah membaur dan bersifat heterogen yang tidak harus berkumpul
dengan kerabat serumpunnya sehubungan dengan alat komunikasi yang sudah
canggih.
Makalah
ini membahas tentang pola permukiman masyarakat Pangkalan Bun. Perubahan pola
permukiman ditinjau dari sudut pandang
perubahan sosial budaya sebagai salah satu bidang kajian sosiologi.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
pola permukiman masyarakat Pangkalan Bun pada zaman dahulu ?
2. Bagaimana
pola permukiman masyarakat Pangkalan Bun sekarang ?
3. Apa
faktor yang melatarbelakangi pembentukan pola permukiman tersebut ?
4. Mengapa
terjadi perubahan pola permukiman masyarakat di Pangkalan Bun ?
BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1 Definisi Perubahan Sosial
Para
sosiolog mencoba mendefinisikan, merumuskan prinsip-prinsip atau hukum-hukum
perubahan sosial. Banyak pengertian yang menjelaskan tentang bagaimana
perubahan sosial tersebut terjadi dalam masyarakat. Hal demikian disebabkan
karena tiap-tiap masyarakat mempunyai kondisi lingkungan sosial budaya dan alam
yang berbeda. Berikut adalah beberapa pengertian dari perubahan sosial menurut
para ahli.
a.
Gillin and Gillin
Menurut
J.L Gillin dan J.P Gillin, perubahan sosial adalah suatu variasi dari cara-cara
hidup yang diterima, yang disebabkan oleh perubahan-perubahan kondisi
geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideology, maupun karena
adanya difusi dan penemuan baru dalam masyarakat tersebut.
b.
Max Weber
Berpendapat
bahwa perubahan sosial budaya adalah perubahan situasi dalam masyarakat sebagai
akibat adanya ketidaksesuaian unsur-unsur (dalam buku Sociological Writings).
c.
W. Kornblum
Berpendapat
bahwa perubahan sosial budaya adalah perubahan suatu budaya masyarakat secara
bertahap dalam jangka waktu lama
d. Selo Soemardjan
Selo
Soemardjan mengatakan bahwa perubahan sosial adalah segala perubahan pada
lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem
sosialnya. Termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola-pola
perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat tersebut.
e.
Kingsley Davis
Davis
mengartikan perubahan sosial adalah perubahan-perubahan yang terjadi dalam
struktur dan fungsi masyarakat.
f.
Robert Mac Iver
Dalam
bukunya “A Textbook of Society” Iver mengatakan bahwa perubahan sosial adalah
perubahan-perubahan dalam hubungan-hubungan sosial (social relationship) atau
perubahan terhadap keseimbangan hubungan sosial.
g.
William F. Ogburn
William
menyatakan bahwa perubahan sosial mencakup unsur-unsur kebudayaan baik material
atau non material.
h.
Ritzer, et.al (1987: 560) dalam Piotr Sztompka
Perubahan
sosial mengacu pada variasi hubungan antarindividu,kelompok, organisasi, kultur
dan masyarakat pada waktu tertentu.
2.2 Pengertian
Permukiman
Menurut
Kurniasih (2007) permukiman berasal dari kata housing dalam bahasa Inggris),
sedangkan perumahan dan berasal dari kata
human settlement. Perumahan memberikan
kesan tentang rumah atau kumpulan rumah beserta prasarana dan sarana
lingkungan. Perumahan menitik beratkan pada fisik atau benda mati, yaitu houses dan
land settlement. Permukiman
memberikan kesan tentang pemukim atau kumpulan pemukim beserta sikap dan
perilakunya di dalam lingkungan, sehingga permukiman menitik beratkan pada
sesuatu yang bukan bersifat fisik atau benda mati yaitu manusia (human). Dengan demikian perumahan dan
permukiman merupakan dua hal yang sangat erat hubungannya, dan pada hakikatnya
saling melengkapi.
2.3 Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Perubahan Sosial Budaya
Terjadinya
sebuah perubahan tidak selalu berjalan dengan lancar, meskipun perubahan
tersebut diharapkan dan direncanakan. Menurut Soejono Soekanto (1982) , terdapat
sembilan faktor yang mendorong terjadinya perubahan sosial, yaitu:
1.
Terjadinya kontak atau sentuhan dengan kebudayaan lain.
2.
Sistem pendidikan formal yang maju
3.
Sikap menghargai hasil karya orang dan keinginan untuk maju.
4.
Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang.
5.
Sistem terbuka dalam lapisan-lapisan masyarakat.
6.
Penduduk yang heterogen.
7.
Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang tertentu
8.
Orientasi ke masa depan
9.
Nilai bahwa manusia harus selalu berusaha untuk perbaikan hidup.
BAB III
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
3.1
Sejarah
Pangkalan Bun
Sejarah
pembangunan Kota Pangkalan Bun berawal dari pindahnya kerajaan pusat Kerajaan ke
daerah Sukabumi yang kini disebut Pangkalan Bun. Kotawaringin yang merupakan
cikal bakal terbentuknya kota Pangkalan Bun didirikan sekitar awal abad ke-17
(tahun 1679-an). Kotawaringin merupakan satu-satunya kerajaan yang pernah ada
di Kalimantan Tengah. Kerajaan ini merupakan cabang dari Kerajaan Banjar di
Kalimantan Selatan.
Kerajaan
Kotawaringin berdiri lebih dari tiga abad dan mengalami satu kali perpindahan
pusat kerajaannya yaitu dari Kotawaringin Lama ke Sukabumi (sekarang bernama
Pangkalan Bun). Kepemimpinan kerajaan dipegang oleh seorang Sultan Pangeran
Adipati Anatakesuma bin Sultan Mustainubillah merupakan Sultan I dengan gelar
Ratu Begawan Kotawaringin.
Kerajaan
Kotawaringin yang dibangun pada awal abad 17 telah memacu perkembangan dan
permukiman lain di sepanjang tepian sungai yang berdekatan. Kenyataan bahwa
sudah ada para pemukim di Kuala Pembuang yang juga terletak Kotawaringin Barat,
menunjukkan bahwa Kerajaan Kotawaringin bukanlah permukiman pertama yang berada
di daerah Kotawaringin Barat. Kemungkinan permukiman awal telah muncul di
berbagai kota seperti Pangkalan Bun (semula bernama Sukabumi), Kumai, Sukamara,
sebagai salah satu pusat perkembangan ekonomi dan permukiman.
Permukiman di
daerah Kotawaringin Barat ini memakai sungai sebagai alat transportasi (lalu
lintas, sebelum adanya jalan darat) dan elemen primer kota. Sehingga tidak
heran jika banyak permukiman yang terbentuk di sepanjang sungai. Hal ini
didukung dengan masih belum baiknya sarana jalan sebagai akses transportasi
darat.
Pada zaman
Sultan ke-IX Pangeran Ratu Imanudin, keraton Kerajaan Kotawaringin dipindahkan
ke pinggir sungai Arut. Tempat ini dinamai Sukabumi. Sebagai gerbang Sukabumi,
dipilihlah pangkalan milik Bapak Buun sebagai tempat bersandarnya kapal-kapal.
Pangkalan ini kemudian oleh Belanda disebut dengan Pangkalan Buun. Hingga akhir
masa penjajahan Belanda, daerah Sukabumi dinamai Pangkalan Buun, hingga setelah
kemerdekaan daerah tersebut dinamakan Pangkalan Bun.
Pembangunan
Pangkalan Buun (Sukabumi Kotawaringin)
dimulai pada tahun 1809 M sedangkan pemindahan ibukota Kerajaan Kotawaringin
dilakukan pada tahum 1811 M. Daerah Kumai dan Sukamara sudah lama ada, sebelum
Sultan membangun keratonnya di Pangkalan Bun. Teori permukiman ini didasari
oleh pertumbuhan kota di Kalimantan Tengah yang cenderung bersifat organik,
mulai dari permukiman perdesaan hingga menjadi kota.
Pada masa
Pemerintahan Kerajaan berada dalam kekuasaan Pangeran Ratu Sukma Alamsyah
Sultan ke-14, Kerajaan Kotawaringin dapat dikatakan sebagai ujung tombak
perkembangan dan pertumbuhan ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya, kesehatan,
dan bidang-bidang lainnya di kota Pangkalan Bun.
Awal mundurnya
Kerajaan Kotawaringin adalah ketika Kerajaan Banjar menyerahkan Kerajaan
Kotawaringin kepada Belanda. Seiring dengan berjalannya waktu, Pangkalan Bun
mulai ramai didatangi oleh orang-orang luar kerajaan untuk melakukan kegiatan
perdagangan dan sebagainya,ada pula orang-orang luar yang tinggal menetap
dan membangun permukiman sendiri.
Kesultanan
Kotawaringin termasuk empat Kesultanan/ Kerajaan besar di Pulau Kalimantan dari
beberapa Kerajaan seperti :
1. Kerajaan Kutai Kertanegara
1. Kerajaan Kutai Kertanegara
2. Kesultanan Banjar
3. Kesultanan Pontianak
4. Kesultanan Kotawaringin
Pembagian
suku-suku di Kalimantan sendiri sukar untuk dijelaskan karena perkataan suku
melayu banyak digunakan dalam pengertian pembagian agama, meskipun banyak juga
suku melayu yang berasal dari Riau dan Semenanjung Malaka. Menurut Malin Cordt
bahwa suku melayu yang berada di pesisir adalah sebagian keturunan dari
Penduduk Jawa pada masa Majapahit, penduduk ini juga bisa datang dari Bengawan
di sungai sedulun dan Melayu Tarakan. Sedangkan dari hasil wawancara penulis
dengan Gusti Achmad Yusuf dijelaskan bahwa sudah ada suku Melayu yang berasal
dari Brunei, jauh sebelum perkampungan Pangkalan Bun mulai ramai.
Mengenai migrasi
suku banjar (Banjar Kuala) ke Kotawaringin terutama terjadi pada masa
pemerintahan Raja Manuhum atau Sultan Musta’inbillah (1650 – 1672), yang telah
mengijinkan berdirinya kerajaan Kotawaringin itu sendiri dengan raja pertamanya
Pangeran Adipati Antakusuma, sehingga sangat jelas terjadi juga percampuran antara
suku banjar dengan suku Dayak yang telah lebih dahulu mendiami daerah-daerah
yang berada di bawah kesultanan Kotawaringin. Mengenai persahabatan antara Suku
Dayak Arut dengan suku Banjar terdapat sebuah cerita yang menarik yang termuat
di dalam buku Lontaan dan Sanusi, yaitu disepakati Suatu Pemufakatan untuk
menjalin hubungan baik diantara kedua suku tersebut dengan “Perjanjian Daerah”,
yakni upacara yang meminta tumbal dari masing-masing kelompok satu orang untuk
dipenggal kepalanya sebagai korban. Ditambahkan oleh Gusti Achmad Yusuf bahwa
selain nyawa manusia, dikorbankan juga seekor babi dari suku dayak dan Kambing
dari suku banjar. Kemudian di atas kuburan korban tersebut diletakkan sebuah
batu peringatan yang disebut Batu Petahan.
3.2
Kondisi
Geografis Pangkalan Bun
Menurut data
yang penulis peroleh dari Kantor Badan Pusat Statistik kabupaten Kotawaringin
Barat, dapat dijelaskan bahwa letak Geografis wilayah kabupaten Kotawaringin
Barat ada saat berdiri sendiri sebagai kabupaten baru adalah terletak diantara
0º18 LU – 3º30’LS dan 110º5’ – 112º50’ BT. Batas wilayah kabupaten Kotawaringin
saat itu adalah :
Sebelah Timur berbatasan dengan kabupaten
Kotawaringin Timur.
Sebelah Barat berbatasan dengan Propinsi
Kalimantan Barat.
Sebelah Utara berbatasan dengan Propinsi
Kalimantan Barat.
Sebelah Selatan berbatasan dengan laut jawa.
Secara
administratif, daerah Pangkalan Bun yang merupakan ibukota Kabupaten
Kotawaringin Barat merupakan derah kecamatan Arut Selatan. Arut Selatan terdiri
dari 12 desa/kelurahan. Kini, Pangkalan Bun telah menjadi pusat pembangunan
Kabupaten Kotawaringin Barat.
3.3
Sebaran
Penduduk
Sebaran penduduk
dan permukiman di wilayah Pangkalan Bun cenderung mengumpul pada daerah-daerah
yang sudah maju. Baik maju dari segi ketersediaan sarana dan prasarana kota maupun
dari segi perekonomiaan yang dikembangkannya. Bagi beberapa kelurahan yang
masuk dalam cakupan pelayanan dari fasilitas kota yang berkembang, batas-batas
wilayahnya sudah tidak terlihat lagi.
Pada umumnya
kepadatan tertinggi meliputi sebagian daerah tepian sungai yang bergantung pada
mode transportasi sungai. Hal ini disebabkan karena banyak lapangan pekerjaan
yang membutuhkan sungai sebagai sarana. Industri perkayuan dan pengolahan hasil
hutan berada di tepian sungai contohnya, seperti panglong kayu yang berada di
tepian sungai di daerah Kelurahan Baru.
Ada juga PT Korindo Group yang merupakan
industri triplek besar hasil kerjasama antara Indonesia dengan Korea di
Pangkalan Bun yang pabriknya terletak dipinggir sungai. Penempatan pabrik yang
ada di bantaran sungai memudahkan akses keluar-masuk kapal tongkang yang mengangkut
triplek untuk menuju laut.
Contoh lapangan
pekerjaan lain yang mengandalkan keberadaan sungai adalah supir getek yang
menyeberangkan penumpang dari Kelurahan Mendawai yang terletak tepat di tepian
sungai arut ke Kelurahan Mendawai Seberang, ataupun dari Kelurahan Raja ke Raja Seberang. Selain
itu, pendistribusian barang dagangan toko-toko di pasar juga menggunakan kapal
klotok (getek). Sedangkan bagi daerah luar yang berada dekat dengan pusat-pusat
kegiatan pada umumnya sudah tersedia jaringan transportasi darat yang memadai
sehingga pertumbuhan fisik di wilayah luar juga mulai berkembang.
Dengan begitu sentralnya peran
sungai dalam perekonomian, tak heran jika kepadatan penduduk tertinggi ada di
wilayah bantaran sungai arut yang juga tepat di hadapan wilayah Istana Kuning
sebagai keraton kerajaan Kotawaringin. Kelurahan Mendawai, Kelurahan Raja yang
sebagian wilayahnya terletak di tepian sungai mempunyai kepadatan penduduk
tinggi dengan perumahan yang saling berdekatan.
3.4
Pola
Permukiman Masyarakat Pangkalan Bun Zaman Dahulu
Berdasarkan
sejarah perkembangan Pangkalan Bun, pada zaman dahulu masyarakat Pangkalan Bun
tinggal dengan permukiman bertipe konsentrik dan linear dalam pola permukiman
tepi sungai (lihat gambar pada lampiran Gambar 1.2 dan Gambar 1.3). Hal turut
dipengaruhi oleh peran besar sungai, dalam hal ini sungai arut, dalam kehidupan
masyarakat Pangkalan Bun. Menurut Joko (2002), pola memanjang sebagai pola
pembangunan mengikuti sungai merupakan dampak atas pentingnya sungai sebagai
sumber mata pencaharian maupun sumber kebutuhan hidup sehari-hari seperti
mandi, mencuci, masak, dan lain-lain.
Pusat
permukiman yang dimaksudkan pada pola ini adalah Kerajaan Kotawaringin. Hal ini
terjadi karena kerajaan merupakan pusat pemerintahan dan merupakan kekuasaan
tertinggi . Menurut narasumber, Bapak Pampang penduduk asli Dayak Lamandau yang
bermukim di Kecamatan Kumai, pada zaman pemerintahan Sultan Kotawaringin, pola
permukiman penduduknya diatur sebagai berikut :
1.
Penduduk asli yang sejak awal sudah
bermukim disana ditempatkan di Mendawai
2.
Orang-orang Banjar dari Kalimantan
Selatan ditempatkan di Kampung Baru
3.
Orang-orang pendatang dari Jawa
ditempatkan di Sidorejo
4.
Pendatang dari Madura ditempatkan di
Madurejo
5.
Sementara orang-orang suku Dayak yang
berasal dari Lamandau dan Kotawaringin Lama ditempatkan di daerah Pasir Panjang
6.
Pendatang lain dari Bugis dan Melayu
Banjar yang biasa di laut dan bermatapencaharian sebagai nelayan laut
ditempatkan di Kumai
Narasumber
juga mengatakan bahwa kota Pangkalan Bun itu berasal dari kata “Pangkalannya
Pak Buun” di muara sungai Buun yang bertemu sungai Arut dekat pasar Kampung
Baru. Dahulu, urat nadi pelayaran itu di Sungai Arut yang menghubungkan
Kotawaringin Hulu dengan Lamandau,
Sukamara, dan Kotawaringin Lama, Pangkalan Bun dan Kumai karena ujung dari
Sungai Arut adalah teluk Kumai dan langsung masuk ke Selat Jawa.
Pak
Buun adalah satu-satunya orang yang yang mempunyai tempat persinggahan yang
menyediakan tempat untuk istirahat dan kebutuhan sehari-hari untuk pelayaran.
Jadi, setiap pelayaran untuk perdagangan pasti singgah di pangkalnnya Pak Buun.
Sungai utama di Kotawaringin Barat yaitu Sungai Lamandau dan Sungai Arut.
Sungai Arut yang merupakan urat nadi pelayaran melayani pelayaran sampai ke
daerah Pangkut yang merupakan daerah tambang emas tradisional dari dulu hingga
kini. Hal ini pun berpengaruh besar pada pola permukiman masyarakat yang
cenderung membangun tempat tinggal di sepanjang tepi sungai yang disebut-sebut
merupakan urat nadi pelayaran tadi.
Selain informasi
diatas, pada masa Sultan ke XIV yaitu Pangeran Ratu Anum Kesuma Alamsyah (1939
– 1948), terjadi perluasan kota untuk pemukiman penduduk yaitu : (Bappeda, 2004
: 18)
a. Di kampung Mendawai, membuka lokasi baru
untuk pemukiman penduduk Mendawai yang selama itu tinggal di sungai Karang
Anyar, maka dikenallah tempat itu dengan sebutan sungai Bulin.
b. Di kampung Raja, membuka lokasi baru
untuk tempat pemukiman penduduk kampung Raja yang banyak tinggal di pedukuhan /
ladang-ladang, maka dikenallah tempat itu dengan kampung sungai Bu’un tau
disebut juga kampung Baru, sekarang menjadi Kelurahan baru.
c. Di jalan Pangkalan Bun ke Kumai, di
depan simpang Mendawai, dibuka pemukiman orang-orang yang berasal dari Jawa,
sekarang menjadi kelurahan Sidorejo
Selain suku-suku ini
juga disebutkan sudah mulai ada Suku Jawa dan Madura, serta suku bangsa Cina
atau Tionghoa yang sudah menetap di kota Pangkalan Bun namun mereka tinggal di
sebuah daerah yang ditinggali sesama mereka sendiri.
Jadi,
pada zaman dahulu pola permukiman masyarakat Pangkalan Bun diatur oleh Sultan
dengan bentuk blok-blok berdasarkan asal-usul masyarakat tersebut. Dalam hal
ini, tampak jelas homogenitas masyarakatnya yang tinggi. Masyarakat cenderung
bermukim dengan kerabat yang serumpun atau satu daerah asal dengannya.
Sehingga, jika dicontohkan, permukiman padat penduduk seperti di wilayah
Kelurahan Mendawai merupakan permukiman padat yang berisi masyarakat asli saja,
dan cenderung merupakan keluarga besar.
Homogenitas
dalam pola permukiman pada masyarakat zaman dahulu juga cenderung didukung oleh
teknologi informasi dan komunikasi yang masih buruk. Maka masyarakat memilih
tinggal dengan kerabat karena pola interaksi sosial dapat dijaga.
3.4 Pola Permukiman Masyarakat Pangkalan
Bun Saat Ini
Seiring perkembangan
zaman, masyarakat Pangkalan Bun modern cenderung memilih pola permukiman yang
nyaman untuk dijadikan tempat tinggal. Hal ini berbeda dengan zaman dahulu yang
masih mengandalkan perintah kerajaan untuk tinggal berdasarkan asal usul,
ataupun menjada pola interaksi dengan tinggal berdekatan dengan kerabat
(homogen). Masyarakat di Pangkalan Bun mulai beralih kearah pola permukiman
yang bersifat heterogen dan mulai meninggalkan titah kerajaan untuk tinggal
berdasarkankan penempatan kerajaan pada zaman dahulu. Hal ini juga behubungan
dengan keruntuhan Kerajaan Kotawaringin itu sendiri.
Selain disebabkan oleh
runtuhnya kerajaan Kotawaringin, pemerataan pola permukiman masyarakat
Pangkalan Bun ini disebabkan oleh beberapa hal. Canggihnya teknologi informasi
dan komunikasi turut berperan. Dengan semakin canggihnya teknologi informasi
dan komunikasi, masyarakat tidak perlu tinggal dengan kerabat hanya untuk
menjaga pola komunikasi.
Menurut narasumber
lain, Any Septrianti (penduduk kelurahan Mendawai) adapun faktor lain yang
menyebabkan kepindahan penduduk Mendawai ke daerah atas (daerah Madurejo dan
sekitarnya) adalah karena faktor gengsi seiring naiknya taraf hidup seseorang.
Misalnya saja tetangganya, sebut saja pak Mu’in seorang pemilik pabrik minyak
goreng dari kelapa sawit. Dahulu pak Mu’in tinggalnya di daerah mendawai
seberang, tepatnya di tepi sungai Arut namun sekarang Pak Mu’in telah membangun
rumah mewah di kelurahan Madurejo dan pindah ke sana bersama keluarganya. Itu
membuktikan bahwa taraf hidup keluarga Pak Mu’in naik dan memilih tinggal di
tempat yang lebih nyaman dan lebih luas dibandingkan hidup di pinggir sungai
yang sudah padat penduduk.
Penyebab lainnya adalah
pembangunan kota Pangkalan Bun yang semakin pesat dan pola pikir masyarakat
yang semakin maju serta semakin tingginya taraf hidup masyarakat. Masyarakat
Pangkalan Bun modern tidak lagi mengutamakan berkumpul dengan kerabat dalam
penentuan tempat tinggal, namun kenyamanan dan lokasi yang strategislah yang
menjadi pertimbangan utama. Hal ini dibuktikan dengan mulai ditinggalkannya
permukiman padat penduduk di bantaran sungai sebagai embrio perkembangan
permukiman kota yang semakin padat dan tidak layak huni.
Sebagai contoh
kelurahan Madurejo yang awalnya dipergunakan sebagai wilayah huni suku Madura
kini mulai dipergunakan tidak hanya sebagai wilayah huni orang Madura namun
dihuni oleh orang-orang dari berbagai daerah. Penduduk Mendawai yang pindah
dari wilayah bantaran sungai juga mulai pindah ke Madurejo yang lahannya masih
luas. Berkurangnya penduduk Madura di Madurejo konon juga dipengaruhi kerusuhan
antara suku Dayak dan Madura tahun 2001. Penduduk Madura banyak pindah ke
kawasan lain menjual tanahnya dan berganti dengan perumahan yang dihuni oleh
pendatang baru yang datang dari berbagai daerah dan suku di Indonesia untuk
bekerja di Pangkalan Bun.
Contoh lain,
kawasan desa Pasir Panjang yang mulanya merupakan tempat bagi penduduk suku
dayak, kini dipenuhi kompleks perumahan yang tentunya dihuni oleh penduduk dari
berbagai suku maupun daerah. Walaupun pada kenyataannya masih banyak penduduk
suku Dayak yang tinggal di daerah tersebut. Hal ini dapat dilihat dari masih
banyaknya rumah kayu yang berbentuk penggung khas rumah adat suku Dayak (rumah
betang).
Namun begitu, masih ada beberapa daerah yang penduduk
dominannya adalah penduduk awal sebagaimana diperintahkan raja. Kawasan
Kelurahan Raja adalah buktinya. Kelurahan Raja masih banyak dihuni oleh keturunan
maupun kerabat kerajaan yang bergelar Gusti untuk pria dan Utin untuk wanita,
tetapi disana juga dapat dijumpai masyarakat pendatang dari suku Jawa dan
Banjar.
Perubahan pola
permukiman ini juga membuktikan bahwa penduduk Pangkalan Bun semakin rasional
dan mengutamakan kenyamanan tinggal serta strategisnya daerah yang dipilih
selain itu juga untuk menunjukkan meningkatnya taraf hidup masyarakat dan
gengsi dalam masyarakat . Daerah Madurejo yang kini mulai dipadati penduduk
merupakan salah satu pusat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di Pangkalan
Bun. Pusat perbelanjaan, berbagai kantor instansi pemerintahan, pusat
pendidikan, serta rumah sakit ada di Kelurahan Madurejo. Jadi tak heran jika
Madurejo menjadi salah satu tujuan permukiman penduduk.
BAB
IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari
hasil pembahasan makalah ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan sosial
adalah perubahan yang terjadi karena setiap masyarakat senantiasa berada dalam
proses sosial, dengan kata lain perubahan-perubahan sosial merupakan gejala
yang melekat pada setiap masyarakat dapat diketahui dengan membandingkan
keadaan masyarakat pada suatu waktu tertentu dengan keadaannya pada masa
lampau.
Pada kasus perubahan pola permukiman
masyarakat Pangkalan Bun, pola permukiman masyarakat di Pangkalan Bun mulai
berubah seiring dengan perubahan sosial di masyarakat. Masyarakat yang mulai
modern dan mengenal kecanggihan teknologi, kerajaan yang mulai kehilangan
pengaruhnya terhadap pola permukiman pada masyarakat, dan perkembangan pola
pikir yang semakin maju dibuktikan dengan pemilihan tempat tinggal yang semakin
rasional, serta meningkatnya taraf hidup masyarakat merupakan beberapa faktor
penyebabnya.
DAFTAR PUSTAKA
Joko,
Tri. 2006. Arah Perkembangan, Bentuk, dan
Struktur Fisik Keruangan Kota Pangkalan Bun – Kumai Kabupaten Kotawaringin
Barat Provinsi Kalimantan Tengah. Tesis: Program Studi Magister Teknik
Pembangunan Kota Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Kurniasih, Sri. 2007. Usaha Perbaikan Pemukiman Kumuh di
Petukangan Utara-Jakarta Selatan. Research Paper: Teknik Arsitektur
Universitas Budi Luhur.
Soekanto, Soerdjono. 2007.
Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada
Soekanto, Soerdjono.1983.
Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial.
Jakarta: Ghalia Indonesia
Sztompka, Piotr. 2008. Sosiologi
Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media Group
Other information sources :
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Pangkalan Bun (Bandara Lanud
Iskandar)
Sumber Foto dan gambar : Dokumen pribadi dan sumber-sumber lain
yang relevan
LAMPIRAN
Gambar
1 Pola Permukiman Tipe Linear
(Memanjang)
Gambar
2 Pola Permukiman Tipe Konsentrik
(Memusat)
Gambar
3 Rumah dan Alat Transportasi Masyarakat
Mendawai Seberang
Gambar
4 Istana Kuning
Gambar
6 Peta Kabupaten Kotawaringin Barat
Gambar
5 Rumah Adat Suku Dayak (Rumah
Betang) di Desa Pasir Panjang
Untuk memenuhi tugas makalah mata kuliah Sosiologi Indonesia
Add your comment