ETNOGRAFI DI INDONESIA : BERBAGAI CIRI
(Ditulis oleh Prof. Heddy Shri Ahimsa Putra)
Ketika berbicara mengenai etnografi di Indonesia, maka kita
tidak bisa terlepas dari buku-buku referensi seperti Manusia dan Kebudayaan di
Indonesia, Masyarakat Desa di Indonesia Masa Kini, Penduduk Irian Barat,
Masyarakat Terasing di Indonesia yang diedit oleh Prof. Koentjaraningrat,
Minawang dari H.S. Ahimsa Putra, Dunia Orang Sawu dari N.L. Kana, Tradisi
Pesantren dari Z. Dhofier, Manusia dan Hutan dari H. A. Pranowo, Konflik dan
Integrasi dari A. F. Nasution, The Javanesse Trah dari S. Sjairin, serta
berbagai macam artikel yang ditulis oleh para ahli antropologi dan dimuat dalam
berbagai macam jurnal.
Jika kita perhatikan isi dari berbagai macam buku dan
artikel etnografi tersebut, maka dari perspektif tertentu kita akan dapat
mengelompokkan mereka ke dalam tiga kategori, yakin etnografi yang bersifat
asal deskripsi yang kemudian disebut Etnografi Awam, kemudian etnografi yang berisi deskripsi, baik
yang mendalam maupun dangkal, tetapi juga bersifat klasifikatif, yang kemudian
disebut Etnografi Laci,
dan yang terakhir adalah etnografi yang
berisi deskripsi juga, namun sudah lebih analitis yang disebut Etnografi Analitis.
|
Etnografi
Awam
|
Etnografi
Laci
|
Etnografi
Analitis
|
a.
|
Bukan ditulis oleh ahli Antropologi
(biasanya berasal dari wartawan)
|
Hanya berisi pelukisan tentang
kebudayaan dan sukubangsa
|
Memusatkan perhatian pada fenomena
tertentu (politik, kekerabatan, agama, dsb)
|
b.
|
Banyak dimuat dalam majalah-majalah
popular atau surat kabar
|
Umumnya sudah lebih sistematis
(uraian sudah mengikuti urutan tertentu yang telah ditentukan, yaitu 7 unsur
kebudayaan universal)
|
Penulis juga mengambil jarak dengan
obyek dan subyek penelitian.
|
c.
|
Deskripsinya datar. Umumnya tidak
terdapat analisa ataupun kesimpulan tertentu dari penulis mengenai apa yang
dituliskan
|
Judul-judul semacam laci tempat
penulis memasukkan informasi
|
Masih belum ditemukan adanya dialog
antara peneliti dengan informan, maka yang tampil adalah berbagai abstraksi.
|
d.
|
Judul dibuat semenarik mungkin,
berlawanan dengan pendapat umum agar orang tertarik membaca artikel tersebut.
|
Sudah lebih “ilmiah” atau
antropologis (kita akan menemukan konsep-konsep analitis yang penting dalam
antropologi.
|
Diawali dari sebuah permasalahan
tertentu. Mencari solusinya melalui penelitian (lapangan maupun pustaka).
|
e.
|
Focus pembicaraan tidak sangat tajam/
tidak mendalam
|
Ditujukan pada publik yang lebih
terbatas (mereka yang tahu, memahami, dan dapat menjelaskan fenomena sosial
budaya sserta ingin memahami kehidupan dan dinamika masyarakat dan
kebudayaan.
|
Berupaya menampilkan keterkaitan
antara unsure budaya satu dengan yang lain dan mencari benang merah dalam
permasalahannya.
|
f.
|
Tidak mencoba memberikan penjelasan
dan analisis.
|
Sering ditemui pendefinisian beberapa
konsep, untuk mencegah simpang-siurnya pendapat antara penulis dengan
pembaca.
|
Memiliki karakter sistematis,
teratur, dan memiliki alur pemikiran yang jelas.
|
g.
|
Tidak terdapat kerangka teori seperti
yang kita temukan pada buku-buku atau artikel antropologi ilmiah.
|
Penulis tampak mengambil jarak dengan
subjek etnografinya (tampak sebagai seorang pengamat).
|
Bersifat argumentative, informative,
eksplanatif (menjelaskan) dan juga interpretative (menafsirkan).
|
h.
|
Ada jarak antara penulis etnografi
dengan para informan dan dengan apa yang ingin disampaikan pada pembaca.
|
Penulis menghindari pandangan
subyektif. Penulis etnografi laci beranggapan bahwa apa yang mereka tampilkan
adalah yang paling “objektif”
|
|
i.
|
Menampilkan obyek/subyek apa adanya,
tanpa dibumbui tafsir dan analisis.
|
Bagi penulis etnografi laci, bahasa
dipakai untuk menampilkan dan memaparkan realitas empiris
|
|
j.
|
Dianggap “data mentah”. Bisa
dimanfaatkan oleh para ilmuan sosial-budaya untuk menjelaskan fenomena
tertentu.
|
Menampilkan abstraksi atas hal-hal
yang ia dengar, lihat dan mungkin alami selama peneliti tinggal di lapangan.
|
|
k.
|
Tidak ada perenungan-perenungan dari
penulis dan hasil etnografinya. Terbatasnya ruang menjadi penyebabnya.
|
Tampak adanya otoritas penulis.
Pembaca tidak diberikan kesempatan untuk menilai ketepatan abstraksi dan
interpretasi atas keterangan informan.
|
|
l.
|
Sangat informative (informasi sangat
rinci, ada kutipan kata-kata informan secara langsung, sangat reliable, dan
dapat dipercaya).
|
Otoritas dan reability dalam
etnografi laci didasarkan pada dua hal;
Kewargaan suku-bangsa dan keberadaan
di tempat.
|
|
m.
|
Kadang, lebih terasa sentuhan
kemanusiaannya karena sosok informan lebih jelas.
|
Sudah ada kerangka teori, tetapi belum
terlalu eksplisit. Masih agak tersembunyi.
|
Judul dan cara penulisannya lebih
variatif
|
n.
|
|
Menggunakan epistemology yang
positivistic.
|
Penulis tampak sebagai analyst atau
interpreter.
|
o.
|
|
Berawal dari keinginan untuk membuat
perbandingan atau studi perbandingan. Tidak ditemukan kesimpulan tertentu
ataupun sudut pandang baru.
|
Penulis berusaha memahami gejala
sosial tertentu dengan menempatkannya pada konteks yang lebih luas.
|
p.
|
|
Pemaparan kenudayaan terasa datar dan
tidak menampilkan kenyataan yang sebenarnya.
|
|
q.
|
|
Pemaparan suku-bangsa dan kebudayaan
merupakan rekonstruksi dari penulis, bukan realitas yang didengar dan dialami
oleh penulis. Penulis menjelma menjadi cultural
creators (pencipta kebudayaan).
(King, 1990)
|
Memiliki kerangka teori yang bersifat
eksplisit (berfungsi untuk membimbing penulis mengorganisir datanya dan
menjadi alat pembenaran etnografi untuk memperoleh status ilmiahnya.
|
Add your comment