SISTEM
KEKERABATAN DALAM SUKU BUGIS-MAKASSAR
Suku
bangsa Bugis-Makassar adalah suku bangsa yang mendiami bagian terbesar dari
jazirah selatan dari pulau Sulawesi. Orang Bugis juga sering disebut orang Ugi. Sistem kekerabatan masyarakat Bugis
disebut dengan assiajingeng
yang tergolong bilateral atau lebih tepat parental, yaitu sistem kekerabatan yang
mengikuti lingkungan pergaulan hidup dari ayah maupun dari pihak ibu atau garis
keturunan berdasarkan kedua orang tua. Hubungan kekerabatan ini menjadi sangat
luas disebabkan karena, selain ia menjadi anggota keluarga ibu, ia juga menjadi
anggota keluarga dari pihak ayah.
Hubungan
kekerabatan dihitung melalui dua jalur, yaitu hubungan kerabat sedarah (consanguinity) yang disebut seajing (réppé maréppé) atau sampunglolo, dan hubungan kerabat karena
perkawinan (affinal) yang disebut siteppa-teppa (siteppang maréppé ). Kerabat seajing amat besar peranannya dalam
kehidupan sehari-hari, selain berkewajiban mengurus masalah perkawinan dan
kekerabatan. Anggota
keluarga dekat inilah yang menjadi to masiri’ (orang yang
malu) bila anggota keluarga perempuan nilariang (dibawa lari
oleh orang lain) dan mereka berkewajiban membela dan
mempertahankan sirik atau siri, yaitu martabat atau harga diri
keluarga luas tersebut. Sementara keluarga siteppa-teppa
baru berperan banyak apabila keluarga luas tersebut mengadakan
upacara-upacara seputar lingkaran hidup, seperti upacara perkawinan, kelahiran,
kematian, mendirikan rumah baru, dan sebagainya.
Adapun anggota keluarga yang tergolong seajing (réppé maréppé) yaitu:
- Iyya, Saya (yang bersangkutan)
- Indo’ (ibu kandung iyya)
- Ambo’ (ayah kandung iyya)
- Nene’ (nenek kandung Iyya baik dari pihak
ibu maupun dari ayah
- Lato’ (kakek kandung Iyya baik dari
ibu maupun dari ayah)
- Silisureng makkunrai (saudara kandung perempuan Iyya )
- Silisureng woroané (saudara laki-laki iyya)
- Ana’ (anak kandung iyya)
- Anauré (keponakan kandung iyya)
- Amauré (paman kandung iyya)
- Eppo (cucu kandung iyya)
- Inauré / amauré makkunrai (bibi kandung iyya)
Sedangkan anggota keluarga yang termasuk siteppa-teppa (siteppang maréppé) yaitu :
- Baine atau indo’ ‘ana’na (istri iyya)
- Matua riale’ (ibu ayah/ kandung istri)
- Ipa woroané (saudara laki-laki istri iyya)
- Ipa makkunrai (saudara kandung perempuan istri iyya)
- Baiseng (ibu / ayah kandung dari
isteri / suami)
- Manéttu riale’ (menantu, istri atau suami dari anak kandung iyya).
Konsep Siri’ dan Pesse itu sebenarnya pranata pertahanan
diri (malu atau harga diri) dan kepedulian, dalam konteks hubungan sosial,
antara dua orang, antar keluarga dan kerabat, dan dalam interaksi sosial dalam
masyarakat. Dalam konteks sosial itulah, diatur siapa - siapa yang berada dalam
posisi tomasiri’ atau nipakasiriki (Makassar) dalam keluarga
dan kerabat. Dalam sistem kekerabatan (Bugis : Asseajingeng, Makassar : Bija Pammanakang) dikenal réppé
maréppé (ada 12 bagian), harus ada siri pada keluarga dekat dan siteppang
mareppe (ada 6 bagian). Hal ini juga menyangkut pada pengaturan siapa
dan bagaimana seharusnya pantas atau tidak pantas orang yang dikawini dalam
siklus kekerabatan.
Dalam hubungan siri’,
semua orang yang masuk dalam lingkaran kekerabatan bisa saling ‘sipassiriki’ (saling memiliki rasa malu
dan segan) terhadap satu sama lain, bisa terkait dengan sifat dan kelakukan,
ketauladanan, etos kerja, dan lain sebagainya, baik yang bersifat masalah
pribadi, keluarga maupun dalam lingkup sosial. Seseorang hanya dapat dipandang
dalam lingkungan kerabat dan masyarakatnya jika ia menanamkan dan memegang
nilai - nilai moral, prinsip adat serta keteguhan dalam memperjuangkan sesuatu.
Semua itu bisa dicapai jika kita memiliki siri’
dan dipassiriki’, dalam konteks
sosial, memiliki kepedulian (pace/pesse’)
terhadap siapa saja yang berada di lingkungannya dimana semuanya dipandang
kerabat dan diperlakukan layaknya kerabat.
Dalam
hal mencari jodoh dalam kalangan masyarakat desanya sendiri, adat
Bugis-Makassar menetapkan beberapa bentuk perkawinan yang ideal, sebagai
berikut;
1. Perkawinan
yang disebut assialang marola (atau passialleang baji’na dalam bahasa
Makassar) ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat kesatu baik dari pihak
ayah maupun ibu,
2. Perkawinan
antara ripaddeppe’ mabelae (atau nipakambani bellaya dalam bahasa
Makassar) ialah perkawinan antara
saudara sepupu derajat ketiga juga dari kedua belah pihak.
Perkawinan antara saudara-saudara sepupu
tersebut, walaupun dianggap ideal, bukan menjadi suatu hal yang diwajibkan,
sehingga banyak pemuda dapat saja kawin dengan gadis-gadis yang bukan
saudara-saudara sepupunya. Adapun perkawinan-perkawinan yang dilarang karena
dianggap sumbang (salimara’) adalah:
1. perkawinan
antara anak dengan ibu atau ayah,
2. antara
saudara-saudara sekandung,
3. antara
mantu dan mertua,
4. antara
paman atau bibi dengan kemenakannya,
5. antara
kakek atau nenek dengan cucunya
Perkawinan yang dilangsungkan secara
adat melalui deretan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
1. Mapucce-puce (akkuisissing dalam
bahasa Makassar), ialah kunjungan
dari keluarga si laki-laki kepada keluarga si gadis untuk memeriksa kemungkinan
apakah peminangan dapat dilakukan. Kalau kemungkinan itu tampak ada, maka
peminangan diadakan.
2. Massuro (assuro dalam
bahasa Makassar), yang merupakan
kunjungan dari utusan pihak keluarga laki-laki kepada keluarga si gadis untuk
membicarakan waktu pernikahan, jenis sunreng
atau mas-kawinnya, balanja atau
belanja perkawinan, penyelenggaraan pestanya, dan sebagainya. Setelah mencapai
kesepakatan, maka masing-masing keluarga melakukan madduppa
3. Madduppa (ammuntuli dalam
bahasa Makassar), ialah pemberitahuan
kepada semua kaum kerabat mengenai perkawinan yang akan datang.
Hari perkawinan
dimulai dengan mappaenre’ balanja
(appanai leko’ dalam bahasa Makassar),
ialah prosesi dari mempelai laki-laki disertai rombongan dari kaum kerabatnya
pria-wanita, tua-muda, dengan membawa macam-macam makanan, pakaian wanita,
maskawin. Sesampainya di rumah mempelai wanita maka akan dilangsungkan upacara
pernikahan, yang dilanjutkan dengan pesta perkawinan atau aggaukeng (pa’gaukang dalam bahasa Makassar). Pada pesta itu, para tamu yang di luar diundang memberi
kado-kado atau uang sebagai sumbangan (soloreng)(1).
Beberapa hari
sesudah hari pernikahan, pengantin baru mengunjungi keluarga dari pihak suami
dan tinggal beberapa lama di sana. Dalam kunjungan itu, istri baru harus
membawa pemberian-pemberian untuk semua anggota keluarga suami. Kemudian ada
kunjungan ke keluarga istri, juga dengan pemberian-pemberian untuk semua
anggota keluarga istri. Pengantin baru juga harus tinggal beberapa lama di
rumah keluarga itu. Barulah setelahnya mereka dapat menempati rumah mereka
sendiri sebagai nalaoanni alena
(naentengammi kalenna dalam bahasa Makassar). Hal itu berarti bahwa mereka sudah membentuk rumah-tangga
sendiri.
Perkawinan yang
tidak dilakukan menurut adat yang terurai di atas disebut silariang. Dalam hal itu, si laki-laki membawa lari si gadis yang
hendak dinikahinya. Kawin lari semacam ini biasanya terjadi karena pinangan
dari pihak laki-laki ditolak, atau karena belanja perkawinan yang ditentukan
oleh keluarga si gadis terlampaui tinggi. Hal yang terakhir ini sebenarnya juga
suatu penolakan pinangan secara halus.
Para kerabat si
gadis yang mengejar kedua pelarian itu disebut tomasiri’ dan kalau mereka berhasil menemukan para pelarian, maka
ada kemungkinan bahwa si laki-laki akan dibunuh. Dalam keadaan bersembunyi,
yang biasanya berlangsung berbulan-bulan lamanya, si laki-laki kemudian akan
berusaha mencari perlindungan pada seorang terkemuka dalam masyarakat. Kalau
pemuka masyarakat ini sudi, ia akan mempergunakan kewibawaannya untuk meredakan
kemarahan dari kaum kerabat si gadis dan menyarankan mereka untuk menerima baik
kembali kedua mempelai baru itu sebagai kerabat. Kalau memang ada tanda-tanda
kerabat si gadis itu mau menerima mereka kembali, maka keluarga si laki-laki
akan mengambil inisiatif untuk mengunjungi keluarga si gadis. Penerimaan pihak
keluarga si gadis untuk berbaik kembali disebut dalam bahasa Bugis, maddeceng, atau abbadji dalam bahasa Makassar.
Penyebab kawin
lari ini biasanya tidak terjadi karena sompa
(Bugis) atau sunrang (Makassar)
ialah maskawin yang tinggi, melainkan karena belanja perkawinan yang tinggi. Sompa atau sunrang itu besar kecilnya disesuaikan dengan derajat sosial dari
gadis yang dipinang dan dihitung dalam nilai rella (= real) ialah
nominal Rp 2,-. Mas kawin yang diberi nilai nominal menurut jumlah rella tertentu dapat saja terdiri atas
sawah, kebun, keris pusaka, perahu dan sebagainya yang semuanya punya makna
penting dalam adat perkawinan di suku Bugis-Makassar.
Keterangan
lanjutan :
(1) Soloreng.
Pada zaman dahulu, soloreng itu berbentuk sawah, kebun, tau
ternak yang berasal dari pihak paman (keluarga dekat dari kedua mempelai).
Upacara memberi soloreng itu bisa
bersifat perlombaan beri-memberi antara kedua belah pihak. Apabila misalnya
dalam upacara adat itu salah seorang paman memberi pengumuman, bahwa untuk
kemenakan perempuannya yang kawin itu ia akan memberikan sepetak sawah, maka
dari pihak kerabat mempelai laki-laki akan malu kalau tidak ada seorang di
antara mereka yang mengumumkan pemberian kepada kemenakannya yang melebihi soloreng dari pihak kaum kerabat
mempelai perempuan. Persaingan serupa itu bisa menjadi suatu hubungan tegang
antara kedua belah pihak yang bisa berlangsung terus, lama sesudah upacara
perkawinan tersebut.
Add your comment