Keunikan Bali bisa dilihat melalui bagaimana manusia Bali
melakukan pembinaan kekerabatan secara lahir dan batin. Orang Bali begitu taat
untuk tetap ingat darimana dirinya berasal. Hal inilah kemudian melahirkan
berbagai golongan di masyarakatnya yang kini dikenal dengan wangsa atau soroh.
Begitu banyak soroh yang berkembang di Bali dan mereka memiliki tempat pemujaan
keluarga secara tersendiri. Tatanan masyarakat berdasarkan soroh ini begitu
kuat menyelimuti aktivitas kehidupan manusia Bali. Mereka tetap mempertahankan
untuk melestarikan silsilah yang mereka miliki. Mereka dengan seksama dan
teliti tetap menyimpan berbagai prasasti yang didalamnya berisi bagaimana
silsilah sebuah keluarga Bali. Beberapa soroh yang selama ini dikenal misalnya
Warga Pande, Sangging, Bhujangga Wesnawa, Pasek, Dalem Tarukan, Tegeh Kori,
Pulasari, Arya, Brahmana Wangsa, Bali Aga dan lainnya. Semuanya memiliki
sejarah turun-temurun yang berbeda. Meski begitu, akhirnya mereka bertemu dalam
siklus keturunan yang disebut Hyang Pasupati. Begitu unik dan menarik memahami
kehidupan orang Bali dalam kaitan mempertahankan garis leluhurnya. Sebagian
kehidupan ritual mereka juga diabdikan untuk kepentingan pemujaan terhadap
leluhur mereka.
Suku bangsa Bali merupakan kelompok manusia yang terikat
oleh kesadaran akan kesatuan budayanya, kesadaran itu diperkuat oleh adanya
bahasa yang sama. Walaupun ada kesadaran tersebut, namun kebudayaan Bali
mewujudkan banyak variasi serta perbedaan setempat. Agama Hindhu yang telah
lama terintegrasikan ke dalam masyarakat Bali, dirasakan juga sebagai unsur
yang memperkuat adanya kesadaran kesatuan tersebut. Perbedaan pengaruh dari
kebudayaan Jawa Hindhu di berbagai daerah di Bali dalam jaman Majapahit dulu, menyebabkan
ada dua bentuk masyarakat Bali, yaitu masyarakat Bali - Aga dan masyarakat Bali
Majapahit. Masyarakat Bali Aga kurang sekali mendapat pengaruh dari kebudayaan
Jawa - Hindhu dari Majapahit dan mempunyai struktur tersendiri. Orang Bali Aga
pada umumnya mendiami desa-desa di daerah pegunungan seperti Sembiran, Cempaga
Sidatapa, Pedawa, Tiga was, di Kabupaten Buleleng dan desa tenganan
Pegringsingan di Kabupaten Karangasem. Orang Bali Majapahit yang pada umumnya
diam didaerah-daerah dataran merupakan bagian yang paling besar dari penduduk
Bali.
Bahasa Bali termasuk keluarga bahasa Indonesia, bahasa Bali
tak jauh berbeda dari bahasa Indonesia lainnya. Peninggalan prasasti zaman kuno
menunjukkan adanya suatu bahasa Bali kuno yang berbeda dari bahasa Bali
sekarang. Bahasa Bali kuno tersebut disamping banyak mengandung bahsa
Sansekrta, pada masa kemudiannya juga terpengaruh oleh bahasa Jawa Kuno dari
jaman Majapahit ialah jaman waktu pengaruh Jawa besar sekali kepada kebudayaan
Bali. Bahasa Bali mengenal juga apa yang disebut "perbendaharaan kata-kata
hormat", walaupun tidak sebanyak perbendaharaan dalam bahasa Jawa. Bahasa
hormat (bahasa halus) dipakai kalau berbicara dengan orang-orang tua atau
tinggi. Di Bali juga berkembang kesusasteraan lisan dan tertulis baik dalam
bentuk puisi maupun prosa. Disamping itu sampai saat ini di bali didapati juga
sejumlah hasil kesusasteraan Jawa Kuno (kawi) dalam bentuk prosa maupun puisi
yang dibawa ke Bali ketika Bali di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit.
Perkawinan merupakan suatu saat yang penting dalam kehidupan
orang Bali, karena pada saat itulah mereka dapat dianggap sebagai warga penuh
dari masyarakat, dan baru sesudah itu ia memperoleh hak-hak dan kewajiban
seorang warga komuniti dan warga kelompok kerabat. Perkawinan adat di Bali
bersifat endogami klen (perkawinan dalam batas-batas kelompok), sedangkan perkawinan yang
dicita-citakan oleh orang Bali yang masih kuno adalah perkawinan antara
anak-anak dari dua orang saudara laki-laki. Keadaan ini memang menyimpang dari
lain-lain masyarakat yang berklen, yang pada umumnya bersifat exogami (perkawinan
di luar batas kelompok).
Orang-orang se-klen di Bali adalah orang orang yang setingkat kedudukannya
dalam adat dan agama demikian juga dalam kasta, sehingga dengan berusaha untuk
kawin dalam batas klennya, terjagalah kemungkinan akan ketegangan-keteganagan
dan noda-noda keluarga yang akan terjadi akibat perkawinan antar kasta yang
berbeda derajatnya. Dalam hal ini terutama harus dijaga agar anak wanita dari
kasta yang tinggi jangan sampai kawin dengan pria yang lebih rendah derajat
kastanya, karena perkawinan itu akan membawa malu kepada keluarga, serta
menjatuhkan gengsi dari seluruh kasta dari anak wanita tersebut.
Dahulu, apabila ada perkawinan semacam itu, maka wanitannya
akan dinyatakan keluar dari dadianya, dan secara fisik suami-istri akan dihukum
buang (maselong) untuk beberapa lama, ketempat yang jauh dari tempat asalnya.
Semenjak tahun 1951, hukuman sermacam itu tidak pernah dijalankan lagi, dan
pada saat ini hukuman campuran semacam itu relatif lebih banyak dilaksanakan.
Bentuk perkawinan lain yang dianggap pantang adalah perkawinan bertukar antara
saudara perempuan suami dengan saudara laki-laki istri (makedengan ngad),
karena perkawinan yang demikian itu dianggap dapat mendatangkan bencana
(panes). Pada umumnya, seorang pemuda Bali memperoleh seorang istri dengan dua
cara, yaitu dengan meminang (memadik, ngidih) kepada keluarga gadis, atau
dengan cara melarikan seorang gadis (mrangkat, ngrorod). Kedua cara diatas
berdasarkan adat. Sesudah pernikahan, suami-istri yang baru biasanya menetap
secara virilokal (adat bertempat tinggal atau dekat dengan
keluarga laki-laki)
dikomplek perumahan dari orang tua suami, walapun tidak sedikit suami istri
yang menetap secara neolokal (adat bertempat tinggal sendiri) dengan mencari
atau membangun rumah baru. Sebaliknya ada pula suami istri baru yang menetap
secara uxorilokal (tinggal di sekitar kediaman kaum kerabat
istri) dikomplek perumahan dari keluarga
istri (nyeburin). Kalau suami istri menetap secara virilokal, maka anak-anak
keturunan mereka selanjutnya akan diperhitungkan secara patrilineal (adat
masyarakat
yang mengatur keturunan
dari pihak ayah), dan menjadi warga dari dadia si
suami dan mewarisi harta pusaka dari klen tersebut. Sebaliknya, keturunan dari
suami istri yang menetap secara uxorilokal akan diperhitungkan secara
matrilineal menjadi warga dadia si istri, dan mewarisi harta pusaka dari klen
itu. Dalam hal ini kedudukan si istri adalah sebagai sentana (penerus
keturunan).
Suatu rumah tangga di Bali biasanya terdiri dari suatu
keluarga batih yang bersifat monogami, sering ditambah dengan anak laki-laki
yang sudah kawin bersama keluarga batih mereka masing-masing dan dengan orang
lain yang menumpang, baik orang yang masih kerabat maupun orang yang bukan
kerabat. Beberapa waktu kemudian terdapat anak laki-laki yang sudah maju dalam
masyarakat sehingga ia merasa mampu untuk berdiri sendiri, memisahkan diri dari
orang tua dan mendirikan rumah tangga sendiri yang baru. Salah satu anak
laki-laki biasanya tetap tinggal di komplek perumahan orang tua (ngerob), untuk
nanti dapat membantu orang tua mereka kalau sudah tidak berdaya lagi dan untuk
selanjutnya menggantikan dan melanjutkan rumah tangga orang tua.
Tiap-tiap keluarga batih maupun keluarga luas, dalam sebuah
desa di Bali harus memelihara hubungan dengan kelompok kerabatnya yang lebih
luas yaitu klen (tunggal dadia). Strutur tunggal dadia ini berbeda-beda di
berbagai tempat di Bali. Di desa-desa pegunungan, orang-orang dari tunggal
dadia yang telah memencar karena hidup neolokal, tidak usah lagi mendirikan tempat
pemujaan leluhur di masing-masing tempat kediamannya. didesa-desa tanah datar,
orang-orang dari tunggal dadia yang hidup neolokal wajib mendirikan mendirikan
tempat pemujaan di masing-nasing kediamannya, yang disebut kemulan taksu. Di samping
itu, keluarga batih yang hidup neolokal masih mempunyai kewajiban-kewajiban
terhadap kuil asal (dadia atau sanggah) di rumah orang tua mereka. Suatu pura
ditingkat dadia merayakan upacara-upacara sekitar lingkaran hidup dari semua
warganya, dan dengan demikian pura/kuil tersebut mempersatukan rasa solidaritas
anggota-anggota dari suatu klen kecil. Di samping itu ada lagi kelompok kerabat
yang lebih besar yang melengkapi beberapa kerabat tunggal dadia (sanggah) yang
memuja kuil leluhur yang sama disebut kuil (pura) paibon atau panti. Dalam
prakteknya, suatu tempat pemujaan di tingkat paibon juga hanya mempersatukan
suatu lingkaran terbatas dari kaum kerabat yang masih dikenal hubungannya saja.
Klen-klen besar sering juga mempunyai suatu sejarah asal-usul yang ditulis dalam
bentuk babad dan yang disimpan sebagai pusaka oleh salah satu dari
keluarga-keluarga yang merasa dirinya senior, ialah keturunan langsung dan
salah satu cabang yang tua dalam klen.
Banjar merupakan bentuk kesatuan-kesatuan sosial yang
didasarkan kesatuan wilayah. Kesatuan sosial itu diperkuat oleh kesatuan adat
dan upacara-upacara keagaman yang keramat. Didaerah pegunungan, sifat
keanggotaan banjar hanya terbatas pada orang yang lahir di wilayah banjar
tersebut. Sedangkan didaerah datar, sifat keanggotaannya tidak tertutup dan
terbatas kepada orang-orang asli yang lahir di banjar itu. Orang dari wilayah
lain atau lahir di wilayah lain dan kebetulan menetap di banjar bersangkutan
dipersilakan untuk menjadi anggota (krama banjar) kalau yang bersangkutan
menghendaki. Pusat dari bale banjar adalah bale banjar, dimana warga banjar
bertemu pada hari-hari yang tetap. Banjar dikepalai oleh seorang kepala yang
disebut kelian banjar. Ia dipilih dengan masa jabatan tertentu oleh warga
banjar. Tugasnya tidak hanya menyangkut segala urusan dalam lapangan kehidupan
sosial dari banjar sebagai suatu komuniti, tapi juga lapangan kehidupan
keagamaan. Kecuali itu ia juga harus memecahkan masalah yang menyangkut adat.
Kadang kelian banjar juga mengurus hal-hal yang sifatnya berkaitan dengan
administrasi pemerintahan.
Subak di Bali seolah-olah lepas dari dari Banjar dan
mempunyai kepala sendiri. Orang yang menjadi warga subak tidak semuanya sama
dengan orang yang menjadi anggota banjar. Warga subak adalah pemilik atau para
penggarap sawah yang menerima air irigasinya dari bendungan-bendungan yang
diurus oleh suatu subak. Sudah tentu tidak semua warga subak tadi hidup dalam
suatu banjar. Sebaliknya ada seorang warga banjar yang mempunyai banyak sawah
yang terpencar dan mendapat air irigasi dari bendungan yang diurus oleh
beberapa subak. Dengan demikian warga banjar tersebtu akan menggabungkan diri
dengan semua subak dimana ia mempunya sebidang sawah.
Sekaha dalam kehidupan masyarakat desa di Bali, ada
organisasi-organisasi yang bergerak dalam lapangan kehidupan yang khusus, ialah
sekaha. organisasi ini bersifat turun-temurun, tapi ada pula yang bersifat
sementara. Ada sekaha yang fungsinya adalah menyelenggarakan hal-hal atau
upacara-upacara yang berkenan dengan desa, misalnya sekaha baris (perkumpulan
tari baris), sekaha teruna-teruni. Sekaha tersebut sifatnya permanen, tapi ada
juga sekaha yang sifatnya sementara, yaitu sekaha yang didirikan berdasarkan
atas suatu kebutuhan tertentu, misalnya sekaha memula (perkumpulan menanam),
sekaha manyi (perkumpulan menuai), sekaha gong (perkumpulan gamelan) dan
lain-lain. sekaha-sekaha di atas biasanya merupakan perkumpulan yang terlepas
dari organisasi banjar maupun desa.
Gotong – Royong dalam kehidupan masyarakat Bali dikenal
sistem gotong royong (nguopin) yang meliputi lapangan-lapangan aktivitet di
sawah (seperti menenem, menyiangi, panen dan sebagainya), sekitar rumah tangga
(memperbaiki atap rumah, dinding rumah, menggali sumur dan sebagainaya), dalam
perayaan-perayaan atau upacara-upacara yang diadakan oleh suatu keluarga, atau
dalam peristiwa kecelakaan dan kematian. nguopin antara individu biasanya
dilandasi oleh pengertian bahwa bantuan tenaga yang diberikan wajib dibalas
dengan bantuan tenaga juga. kecuali nguopin masih ada acara gotong royong
antara sekaha dengan sekaha. Cara serupa ini disebut ngedeng (menarik).
Misalnya suatu perkumpulan gamelan ditarik untuk ikut serta dalam
menyelenggarakan suatu tarian dalam rangka suatu upacara odalan. bentuk yang
terakhir adalah kerja bhakti (ngayah) untuk keprluan agama,masyarakat maupun
pemerintah.
Kesatuan-kesatuan sosial di atas, biasanya mempunyai
pemimpin dan mempunyai kitab-kitab peraturan tertulis yang disebut awig-awig
atau sima. Pemimpin biasanya dipilih oleh warganya. Klen-klen juga mempunyai
tokoh penghubung yang bertugas memelihara hubungan antara warga-warga klen,
menjadi penasehat bagi para warga mengenai seluk beluk adat dan
peristiwa-peristiwa yang bersangkautan dengan klen. Tokoh klen serupa itu di
sebut moncol. Klen tersebut tidak mempunyai peraturan tertulis, akan tetapi
mempunyai silsilah/babad. Ditingkat desa ada kesatuan-kesatuan administratif
yang disebut perbekelan. Suatu perbekelan yang sebenarnya merupakan warisan
dari pemerintah Belanda, diletakkan diatas kesatuan-kesatuan adat yang asli di
Bali, seperti desa adat dan banjar. Maka terdapatlah gabungan-gabungan dari
banjar dan desa ke dalam suatu perbekelan yang dipimpin oleh perbekel atau
bendesa yang secara administratif bertanggung jawab terhadap atasannya yaitu
camat, dan seterusnya camat bertanggung jawab kepada bupati.
Sistem
Penamaan Keluarga Bali: Sistem penamaan keluarga Bali didasarkan pada kasta:
Brahmana : Ida Bagus untuk laki-laki, Ida Ayu untuk wanita. Ksatria : Anak
Agung. Waisya : Gusti Bagus untuk laki-laki, Gusti Ayu untuk wanita. Sudra :
Wayan, Putu, Iloh dan Gede untuk anak pertama, Made, Nengah dan Kadek untuk anak
kedua, Nyoman dan Komang untuk anak ketiga, Ketut untuk anak keempat. Panggilan
orang Bali yaitu :
Kakek <> kaki
Nenek <> dadong
Ayah <> bapa dibaca bape
Ibu <> memi/meme
Abang <> bli
Kakak <> gek/mbok
Adik <> Adi
Untuk orang bali yang sudah menikah biasanya di panggil Pak
disertai namanya. Misalnya Pakngah, Pakyan, Mbokyan, dan Mbokngah. Dan yang
belum menikah Bliyan, Blingah, Mbokyan dan Mbokngah.
Bahasa Bali termasuk keluarga bahasa Indonesia. Dilihat dari
sudut perbendaharaan kata dan strukturnya, maka bahasa Bali tak jauh berbeda
dari bahasa Indonesia lainnya. Bahasa Bali mengenal juga apa yang disebut perbendaharaan
kata-kata hormat walaupun tidak sebanyak perbendaharaan dalam bahasa Jawa.
Bahasa Bali mengenal 3 tingkatan pemakaian bahasa, yaitu bahasa Alus (Hormat),
Lumrah (Madya) dan Bahasa Bali Kasar, berbeda dengan bahasa Bali Aga yang
hampir tidak mengenal tingkatan seperti itu. Akan tetapi sekarang bahasa Bali
Alus (Hormat) digunakan secara resmi oleh hampir semua golongan dalam pergaulan
di daerah Bali sendiri. Bahasanya sendiri terbagi dlam beberapa dialek, yaitu :
dialek Buleleng, Karangasem, Klugkung, Bangli, Gianyar, Badung, Tabanan dan
Jembrana.
Kehidupan sosial budaya masyarakat Bali sehari-hari hampir semuanya
dipengaruhi oleh keyakinan mereka kepada agama Hindu Darma yang mereka anut.
Oleh karena itu studi tentang masyarakat dan kebudayaan Bali tidak bisa
dilepaskan dari pengaruh sistem religi Hindu. Agama Hindu Darma atau Hindu Jawa
yang mereka anut mempercayai Tuhan Yang Maha Esa dalam konsep Tri Murti, yaitu
Tuhan yang mempunyai tiga wujud: Brahma (Pencipta), Wisnu (Pelindung) dan Syiwa
(Pelebur Segala yang Ada). Semuanya perlu di hormati dengan mengadakan upacara
dan sesajian. Mereka juga mengangap penting konsepsi tentang Roh abadi yang
disebut Athman, adanya buah setiap perbuatan (Karmapala), kelahiran kembali
sang jiwa (purnabawa) dan kebebasan jiwa dari kelahiran kembali (moksa). Dalam
menyelenggarakan pemakaman anggota keluarga orang Bali selalu melaksanakan tiga
tahapan upacara kematian. Pertama, upacara pembakaran mayat (ngaben), kedua,
upacara penyucian (nyekah) dan ketiga, upacara ngelinggihang. Ajaran-ajaran di
agama Hindu Darma itu termaktub dalam kitab suci yang disebut Weda.
Sumber-sumber :
Darsana, I Gusti Putu.1997. Akar Kebudayaan Bali. Denpasar :
Upada Sastra.
Prof.Dr koentjoro, dkk.manusia dan kebudayaan di Indonesia.
Jakarta : Karya unipres Djambatan.
Add your comment