Mempertanyakan Toleransi dalam Upacara Waisak

in , by nyakizza.blogspot.com, 22.32

Menyaksikan upacara keagamaan yang diadakan setahun sekali menjadi euphoria tersendiri bagi sebagian orang. Seperti tahun-tahun sebelumnya, prosesi tahunan Hari Raya Tri Suci Waisak 2557 Buddha Era (BE) 2013 digelar di kawasan kompleks Candi Mendut- Borobudur. Acara yang dihelat pada tanggal 24-25 Mei ini bertema “Dengan Semangat Waisak Kita Tingkatkan Kesadaran untuk Terus Berbuat Kebajikan”. Prosesi Tri Suci Waisak merupakan peringatan rangkaian tiga peristiwa penting dalam agama Buddha yaitu kelahiran Sidharta, pencapaian kesempurnaan Buddha Sidharta dan wafatnya Sang Buddha Gautama. Perayaan Tri Suci Waisak tidak hanya diramaikan oleh umat Buddhis yang datang dari berbagai daerah ke candi Mendut dan Borobudur.

Di negara yang sebagian besar masyarakatnya adalah penganut Buddha prosesi upacara Waisak dilaksanakan dengan sakral, hening, dan penuh hormat, berbeda 180 derajat dengan Waisak di Mendut-Borobudur. Perayaan waisak di Mendut-Borobudur lebih mirip seperti sebuah atraksi budaya di tempat wisata, atau hiburan rakyat. Masyarakat setempat bahkan turis domestik dan mancanegara memenuhi kawasan tersebut, untuk memperhatikan prosesi perayaan atau sekedar mengabadikan momen yang dihelat sekali setahun ini. Ada pasar seni yang buka hingga malam. Manusia berjubel-jubel di sekeliling kawasan candi hingga altar, menciptakan kebisingan yang sangat mengganggu jalannya pujabakti siang itu. Sepintas, tampak seperti pasar sekaten di Jogja dan bukan ritual religi. Prosesi yang idealnya sakral dan hening karena ada prosesi meditasi dan pembacaan sutra, berubah menjadi keramaian dengan berbagai kepentingan.

Di negeri ini, perayaan ritual agama yang pengikutnya tidak mendominasi, selalu menjadi daya pikat utama bagi wisatawan dan para maniak fotografi. Lebih lagi, Candi Borobudur sudah ditetapkan UNESCO sebagai World Heritage, sama tersohornya dengan Ayutthaya dan Angkor Watt. Lepas dari itu semua, harus diakui, kini prosesi Waisak di Candi Mendut-Borobudur menjelma menjadi sebuah atraksi budaya yang bernilai estetis dan rekreasi. Nilai magis atau kesakralan prosesi telah berbaur dengan komersialisasi wisata. Para penikmat ritual, baik itu wisatawan, para hobi foto maupun wartawan berebut tempat dan berdesak-desakan demi mendapatkan momen terbaik untuk foto yang mereka inginkan. Mereka seolah tak perduli dengan ritual apa yang sedang dijalankan, apakah itu pujabakti, pembacaan sutra, atau meditasi. Para banthe yang sedang khusyuk berdoa dan membaca sutra, bahkan umat Buddha yang sedang sembahyang dikerubungi para maniak fotografi. Tak ubahnya seperti pertunjukan tari-tarian atau kuda lumping.


Bayangkan saja ketika anda sedang Shalat Ied (Fitri maupun Adha) atau merayakan Misa Natal yang agung dan suci, lalu ada orang-orang yang lalu-lalang di sela-sela shaf shalat atau bangku gereja anda. Orang-orang itu sibuk hilir-mudik memotret atau sekedar menonton ritual anda. Apa yang akan anda rasakan? Pastilah jamaah akan merasakan risih dan terganggu, mungkin juga emosi. Itulah sebabnya para fotografer Shalat dan Misa jauh sebelumnya sudah mengatur posisi terbaik mereka agar tidak mengganggu kekhusyukan ibadah jamaah. Namun, hal ini tidak dilaksanakan pada perayaan ritual Waisak kali ini. Teguran demi teguran yang diutarakan MC (master of ceremony) kepada para fotografer, wisatawan ataupun wartawan untuk memberikan ruang kepada umat Buddha yang hendak berdoa di altar, terkesan diabaikan. Jadilah para umat Buddha berdoa diantara kaki-kaki para fotografer, wisatawan maupun wartawan tersebut.
Alfisyahr Izzati
Jurusan Sosiologi dan Antropologi, Unnes'12

Sekilas Teori Strukturalisme Levi-Strauss

in , by nyakizza.blogspot.com, 19.41
Teori strukturalisme pada intinya berpendapat bahwa dalam segala keanekaragaman budaya tentu ada sebuah struktur pembentuk yang sifatnya universal, sama dimanapun dan kapanpun. Claude Levi-Strauss sendiri dikenal sebagai Bapak Strukturalisme, karena memang beliaulah yang pertama kali menjelaskannya secara lebih rinci dan detail.

A.   Biografi dan Karya Lévi-Strauss

Claude Lévi-Strauss adalah seorang antropolog sosial Perancis dan filsuf strukturalis. Ia lahir di Brussels, Belgia, pada 28 Nopember 1908 sebagai seorang keturuan Yahudi. Namun pada tahun 1909 orang tuanya pindah ke Paris, Perancis. Ayahnya bernama Raymond Lévi-Strauss dan ibunya bernama Emma Levy. Sejak kecil Lévi-Strauss sudah mulai bersentuhan dengan dunia seni, yang kelak akan banyak ditekuninya ketika dewasa, karena memang ayahnya adalah seorang pelukis.
Sesungguhnya pendidikan formal dan minat Lévi-Strauss pada awalnya bukanlah Antropologi. Pada tahun 1927, Lévi-Strauss masuk Fakultas Hukum Paris dan pada saat yang sama itu pula, ia pun mempelajari filsafat di Universitas Sorbonne. Studi hukum diselesaikannya hanya dalam waktu satu tahun. Sedangkan dari studi filsafat, aliran materialisme menjadi aliran yang banyak mempengaruhi pemikirannya. Salah satu argument materialisme adalah segala sesuatu harus bisa diukur, diverifikasi, dan diindera. Namun pada suatu saat Levi-Strauss mengungkapkan kebosanannya dalam mengajar. Kemudian setelah membaca buku Primitive Social karya Robert Lowie, seorang ahli antropologi. Bermula dari membaca buku Robert Lowie itulah ketertarikannya akan dunia antropologi muncul. Akhirnya, Levi-Strauss semakin jelas berpaling kepada Antropologi ketika mengajar di Sao Paulo, Brazil, dan melakukan studi antropologi yang lebih luas di pusat Brazil. Selama mengajar di Brazil itulah ia mulai banyak melakukan ekspedisi di daerah-daerah pedalaman Brazil. Heddy Shri dalam bukunya menyebutkan, ekspedisi pertamanya adalah ke daerah Mato Grosso. Dari ekspedisi itu Levi-Strauss merasa mendapatkan pengalaman batin yang menginspirasikan banyak hal, yang tertuang dalam bukunya Trites Tropique. Itulah karya pertamanya dan sekaligus mengukuhkan dirinya masuk kedalam bidang antropologi.
Dalam prosesnya melakukan penelitian dan pengamatan banyak terbentur hambatan. Hal ini salah satunya tidak lepas dari karena ia termasuk keturunan Yahudi, yang saat itu dalam pergolakan pembantaian oleh Jerman. Sampai ia akhirnya harus mengalami pemecatan. Pada tahun 1947, ia kembali ke Perancis dan pada tahun berikutnya ia diangkat sebagai maitre de recherché selama beberapa bulan di CNRS (Center National de la Recherche Scintifique/Pusat Penelitian Ilmiah Nasional). Pada tahun yang sama, ia menyelesaikan studi doktoralnya di Universitas Sorbonne, dengan disertasi Les Structures elementaires de la parente. Levi-Strauss dianggap sebagai pendiri strukturalisme, sebuah paham yang memegang bahwa kode terstruktur adalah sumber makna dan bahwa unsur-unsur struktur yang harus dipahami melalui hubungan timbal balik mereka. Lebih lanjut, bahwa struktur sosial adalahkebebasan dari kesadaran manusia dan ditemukan dalam mitos dan ritual. Secara singkat, itulah inti dari teori strukturalisme menurut pendapat Levi-Strauss.
Levi-Strauss banyak menghasilkan karya-karya tulis besar yang sangat menarik banyak perhatian banyak kalangan, baik dari intelektual maupun awam. Karya-karya terbesar tersebut antara lain: The Elementary Structures of Kinship (1949), Structural Anthropology (1958),The Savage Mind (1962), and the Mythologics, 4 vols. (1964–72). Mythologics sendiri terdiri dari tetralogi The Raw and The Cooked, From Honey to Ashes, The Origin of Table Manners, dan The Naked Man.
Dalam tahun 1968 ia dianugerahi medali emas untuk jasanya memajukan ilmu-ilmu sosial di Perancis dari CNRS (Centre Nationale de la Recherche Scientifique), dan dalam tahun 1976 ia menerima hadiah Bintang Viking untung ilmu antropologi.



B. Metode Segitiga Kuliner

Levi-Strauss menaruh perhatian besar terhadap makanan dan rupa-rupanya karena makanan adalah kebutuhan alamiah pokok dari binatang maupun manusiaMemasak makanan merupakan bentuk budaya yang sangat penting, karena ia memasak merupakan transisi dari alam (nature)  ke budaya (culture). Menurut Edmund Leach (1985: 34), memasak merupakan cara yang universal untuk mentransformasikan alam ke dalam budaya. Penelitian ini diarahkan untuk menelusuri bagaimana pandangan struktural Levi-Strauss dapat diterapkan untuk melihat sistem makanan (food system), karena pendekatan struktural memandang semua fenomena kultural sebagai suatu sistem.
Manusia berbeda dengan binatang dalam mengkonsumsi makanannya. Apabila binatang langsung memakan makanannya yang berasal dari alam secara mentah, manusia secara universal memproses terlebih dahulu makanan yang akan disantapnya. Walaupun demikian ada juga manusia yang menyukai makanan mentah, tanpa dimasak terlebih dahulu. Berbagai jenis makanan yang disantap manusia tidak semata-mata bertujuan untuk membuat kenyang dan menghasilkan energi, namun terdapat jenis-jenis makanan dimasak dan dihidangkan dengan tujuan tertentu. Makanan dapat diberi makna sosial, keagamaan, dan pada pokoknya makanan tersebut mempunyai arti simbolik.
Makanan manusia terdiri dari 3 jenis, yaitu (a) makanan mentah, (b) makanan melalui proses pemasakan, dan (c) makanan melalui proses fermentasi. Makanan mentah adalah makanan yang bebas dari segalam macam proses (non-elabore). 
Berdasarkan akal dan keperluannya sejumlah makanan manusia ada yang bebas dari penggarapan tangan manusia, artinya “bebas dari proses”, dan yang lainnya ada yang harus “kena proses” penggarapan tangan manusia. Levi-Strauss selanjutnya menyatakan bahwa dalam golongan makanan yang “kena proses” dibagi dua lagi, yaitu makanan yang dimasak dan makanan yang terkena proses fermentasi. Kedua jenis makanan tersebut berasal dari “suasana” yang berbeda, makanan yang dimasak artinya terkena kebudayaan manusia, sedangkan makanan fermentasi adalah makanan yang terjadi karena proses alami.

Manusia kemudian mencoba menghubungkan antara makanan yang telah terkena tindakan kebudayaan dan makanan yang dapat dikonsumsi karena proses pematangan alam (fermentasi). Maka kemudian manusia mendapatkan golongan makanan mentah yang terletak di antara dua ekstrim, yaitu bahwa makanan itu mentah karena tidak ada campur tangan manusia, namun dapat juga digolongkan yang terkena tindakan kebudayaan karena sumber makanan tersebut berasal dari tumbuh-tumbuhan yang ditanam dan dari hewan yang dipelihara manusia. Dengan demikian seiring dengan kemajuan kebudayaan manusia, terdapat konsep “segitiga kuliner” dalam menghasilkan makanan yang dikonsumsinya.

C. Analisa Sistem Kekerabatan

Levi-Strauss dalam masa karir akademisnya ia menjadi seorang ahli filsafat, terutamaahli filsafat yang berfikir tentang masalah asas-asas cara berfikir simbolik darimanusia sebagai makhluk kolektif yang berinteraksi dalam masyarakat. Levi-Straussmenganggap ilmu antropologi sebagai ilmu yang dapat memberikan data etnografis mengenai masyarakat primitif, yang dianggapnya perlu untuk mengembangkangagasan-gagasan dan konsep filsafatnya. Masyarakat bersahaja dianggap sebagai contoh dari masyarakat elementer, dan manusia yang kehidupan didalamnya tentu juga berpikir secara elementer, atau dengan istilahnya berpikir secara bersahaja.  
Masyarakat bersahaja biasanya didominasi oleh system kekerabatan, dan warga-warganya berinteraksi didalamnya berdasarkan system simbolik yang menentukan sikap mereka terhadap paling sedikit tiga kelas kerabat, yaitu kerabat karena hubngan darah, karena hubungan kawin, dan karena hubungan keturunan. Dalam usahanya menganalisa segala macam system kekerabatan, seperti juga Brown, Levi-strauss, berpangkal kepada keluarga inti. Ketiga macam hubungan dalam rangka keluarga inti adalah:(1.) hubugan antara seorang individu E dengan saudara-saudara sekandungnya yang berup hubungan darah. (2) hubungan antara E dengan istrinya berupa hubungan karena kawin, yang menghubungkan kelompok saudara sekandungnya dengan saudara sekandung istrinya. (3.) hubungan yang lain yaitu hubungan antara E dan istrinya dengan anak-anak mereka, yang merupakan hubungan keturunan. Dalam kenyataan, kehidupan kekerabatan yang oleh Levi-Strauss dianggap hubugan positif adalah hubungan berdasarkan sikap bersahabat, mesra, dan cinta- mencintai,sedangkan apa yang dianggapnya hubungan negatif adalah hubungan berdasarkan sikap sungkan, resmi, dan menghormati. Kedua hipotesis tadi secara logikamemungkinkan enam kombinasi yang olehnya di ilustrasikan dengan data dari enam suku bangsa, yaitu suku bangsa Trobrian yang telah dideskripsi oleh Malinowski, bangsa-bangsa Siuai di Kepulauan Solomon, Melanesia, suku bangsa Dobu di kepulauan dekat Trobrian, suku-suku bangsa Kobutu di Papua Nugini, suku bangsacherkess, suku bangsa Tonga di Polynesia. Kalau kita teliti data etnografi Levi-Strauss lebih mendalam, maka tampak subyektifnya ia meniai suatu hubungan kekerabatan itu sebagai positif atau negative,dan tampak pula bahwa tidak jarang ia membawa ukuran kebudayaan sendiri, yaitu kebudayaan perancis, untuk membuat penilaian tadi. Kecuali itu, dari data keenam suku bangsa itu menurut metodologi penelitian Levi-stauss sebenarnya belum membuktikan kebenaran dari kedua hipotesanya itu, karena ia hanya memilih enam contoh saja untuk mengilustrasikan tiap kemungkinan kombinasi sikap antara kaumkerabat inti yang mungkin ada.

D. Azas Klasifikasi Elementer

Mengenai azas klasifikasi elementer, Levi-Strauss mengatakan bahwa untuk mengetahui kategori-kategori yang secara elementer dipergunakan akal manusia dalam mengklasifikasikan seluruh alam semesta beserta segala isinya, maka dapat dipelajari dari studi tentang totemisme. Menurutnya, arti kata totem (yang secara lengkap berbunyi ototeman dalam bahasa Ojibwa) adalah “dia adalah kerabat pria saya”. Memang hampir secara universal manusia dalam akal pikirannya merasakan dirinya sebagai kerabat atau berhubungan dengan hal-hal tertentu dalam alam semesta sekelilingnya, atau dengan manusia-manusia tertentu dalam lingkungan sosial-budayanya, sehingga manusia ber-ototeman dengan hal-hal itu. Dalam hubungan itu, manusia mengklasifikasikan lingkungan alam serta sosial budayanya ke dalam kategori-kategori yang elementer. Suatu hal yang paling pokok dalam pandangan ini adalah membagi alam semesta ke dalam dua golongan berdasarkan ciri-ciri yang saling kontras bertentangan, atau merupakan kebalikannya, yaitu suatu cara yang disebut binary opposition (oposisi berpasangan). Dua golongan ini bersifat mutlak (mis: bumi-langit, pria-wanita), bisa pula bersifat relatif (mis: kiri-kanan, orang dalam-orang luar). Pada oposisi tipe pertama tiap pihak dalam pasangan saling menempati kedudukan yang tetap dan mutlak. Sedangkan pada oposisi tipe relatif, satu pihak dalam pasangan menempati kedudukan tertentu terhadap pihak lawannya, tetapi bisa juga menempati kedudukan lawannya itu terhadap pihak ketiga. Tipe klasifikasi ke dalam dua golongan beroposisi ini secara universal ada dalam hampir semua kebudayaan di dunia.

Konsep elementer dua golongan yang relative telah menimbulkan konsep akan adanya golongan ketiga yang bisa menempati kedua kedudukan dalam kedua pihak dari suatu pasangan binary. Pihak ketiga itu dalam cara berpikir bersahaja dianggap merupakan suatu golongan antara yang memiliki ciri-ciri dari kedua belah pihak, namun tidak tercampur, melainkan saling terpisah dalam keadaan yang berlainan. Contoh dari gagasan rangkaian tiga adalah misalnya; manusia/roh halus/dewa, kerabat darah/kerabat karena nikah/bukan kerabat, hidup/maut/kehidupan akhirat, bumi/gunung/langit, dsb.




Sumber :
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press)
Paz, Octavio. 1997. Levi-Strauss : Empu Antropologi Struktural. Yogyakarta: LkiS
© Alfizza Murdiyono · Designed by Sahabat Hosting