Menyaksikan
upacara keagamaan yang diadakan setahun sekali menjadi euphoria tersendiri bagi sebagian orang. Seperti tahun-tahun
sebelumnya, prosesi tahunan Hari Raya Tri Suci Waisak 2557 Buddha Era (BE) 2013
digelar di kawasan kompleks Candi Mendut- Borobudur. Acara yang dihelat pada
tanggal 24-25 Mei ini bertema “Dengan Semangat Waisak Kita Tingkatkan Kesadaran
untuk Terus Berbuat Kebajikan”. Prosesi Tri Suci Waisak merupakan peringatan rangkaian
tiga peristiwa penting dalam agama Buddha yaitu kelahiran Sidharta, pencapaian
kesempurnaan Buddha Sidharta dan wafatnya Sang Buddha Gautama. Perayaan Tri
Suci Waisak tidak hanya diramaikan oleh umat Buddhis yang datang dari berbagai
daerah ke candi Mendut dan Borobudur.
Di
negara yang sebagian besar masyarakatnya adalah penganut Buddha prosesi upacara
Waisak dilaksanakan dengan sakral, hening, dan penuh hormat, berbeda 180
derajat dengan Waisak di Mendut-Borobudur. Perayaan waisak di Mendut-Borobudur
lebih mirip seperti sebuah atraksi budaya di tempat wisata, atau hiburan
rakyat. Masyarakat setempat bahkan turis domestik dan mancanegara memenuhi
kawasan tersebut, untuk memperhatikan prosesi perayaan atau sekedar
mengabadikan momen yang dihelat sekali setahun ini. Ada pasar seni yang buka
hingga malam. Manusia berjubel-jubel di sekeliling kawasan candi hingga altar,
menciptakan kebisingan yang sangat mengganggu jalannya pujabakti siang itu.
Sepintas, tampak seperti pasar sekaten di Jogja dan bukan ritual religi.
Prosesi yang idealnya sakral dan hening karena ada prosesi meditasi dan
pembacaan sutra, berubah menjadi keramaian dengan berbagai kepentingan.
Di
negeri ini, perayaan ritual agama yang pengikutnya tidak mendominasi, selalu
menjadi daya pikat utama bagi wisatawan dan para maniak fotografi. Lebih lagi,
Candi Borobudur sudah ditetapkan UNESCO sebagai World Heritage, sama
tersohornya dengan Ayutthaya dan Angkor Watt. Lepas dari itu semua, harus
diakui, kini prosesi Waisak di Candi Mendut-Borobudur menjelma menjadi sebuah
atraksi budaya yang bernilai estetis dan rekreasi. Nilai magis atau kesakralan
prosesi telah berbaur dengan komersialisasi wisata. Para penikmat ritual, baik
itu wisatawan, para hobi foto maupun wartawan berebut tempat dan
berdesak-desakan demi mendapatkan momen terbaik untuk foto yang mereka inginkan.
Mereka seolah tak perduli dengan ritual apa yang sedang dijalankan, apakah itu
pujabakti, pembacaan sutra, atau meditasi. Para banthe yang sedang khusyuk
berdoa dan membaca sutra, bahkan umat Buddha yang sedang sembahyang dikerubungi
para maniak fotografi. Tak ubahnya seperti pertunjukan tari-tarian atau kuda
lumping.
Bayangkan
saja ketika anda sedang Shalat Ied (Fitri maupun Adha) atau merayakan Misa
Natal yang agung dan suci, lalu ada orang-orang yang lalu-lalang di sela-sela shaf
shalat atau bangku gereja anda. Orang-orang itu sibuk hilir-mudik memotret atau
sekedar menonton ritual anda. Apa yang akan anda rasakan? Pastilah jamaah akan
merasakan risih dan terganggu, mungkin juga emosi. Itulah sebabnya para
fotografer Shalat dan Misa jauh sebelumnya sudah mengatur posisi terbaik mereka
agar tidak mengganggu kekhusyukan ibadah jamaah. Namun, hal ini tidak
dilaksanakan pada perayaan ritual Waisak kali ini. Teguran demi teguran yang
diutarakan MC (master of ceremony) kepada para fotografer, wisatawan ataupun wartawan untuk
memberikan ruang kepada umat Buddha yang hendak berdoa di altar, terkesan
diabaikan. Jadilah para umat Buddha berdoa diantara kaki-kaki para fotografer, wisatawan
maupun wartawan tersebut.
Alfisyahr Izzati
Jurusan Sosiologi dan Antropologi, Unnes'12
Add your comment