HARMONISASI KEHIDUPAN DALAM KONSEP TATA RUANG RUMAH BALI
Alfisyahr Izzati
Jurusan Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Semarang

Pulau Bali terkenal dengan sebutan Pulau Dewata atau Pulau Seribu Pura. Sebutan ini muncul karena  di Pulau Bali terdapat banyak pura yang digunakan untuk menyembah Dewata. Sebagian besar masyarakat Bali beragama Hindu Dharma, sehingga kehidupan, adat dan budaya masyarakat Bali sangat dipengaruhi falsafah-falsafah yang diajarkan didalamnya. Budaya tradisional Bali merupakan perwujudan pengaturan tingkah laku umat yang dilandasi agama Hindu dengan 3 (tiga) unsur kerangka dasar, yaitu; 1). Tatwa atau filsafat; 2). Susila atau etika; 3). Upacara atau ritual (Parisada Hindu Dharma, 1978:16 dalam Dwijendra, 2003). Tiga kerangka dasar berperilaku tersebut sudah tertanam kuat di dalam diri setiap individu dalam masyarakat Bali.
Dalam kitab suci Weda, ada beberapa konsep ilmu spesifik yang diaplikasikan dalam kehidupan para penganutnya, yaitu; Ayurweda (Ilmu pengobatan), Dhanurweda (Seni bela diri dan persenjataan), Ayurveda dan Dhanurveda (konsep ini juga dikenal dalam ilmu pengetahuan di Cina, dalam akupuntur dan seni beladirinya, Gandharv Veda (Seni musik, sajak dan tari), Jyotisha (Ilmu Astrologi), Tantra, Shiksha dan Vyakara (Ilmu tata bahasa) juga Stahapatya Veda (Ilmu arsitekturseni pahat dan ilmu geomansi). Semua konsep-konsep ilmu ini bertujuan untuk membuat kehidupan manusia berlangsung harmonis. Hubungan harmonis tersebut terangkum dalam tiga unsur kehidupan, yaitu Tri Hita Karana yang berarti tiga sebab kebahagiaan. Tri Hita Karana yang menjiwai setiap sendi kehidupan manusia, merupakan konsep yang menjelaskan keharmonisan kosmologis. Konsep Tri Hita Karana telah menunjukkan berbagai keunggulan dan nilai-nilai luhur yang bersifat universal dan relevan dengan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Tri Hita Karana secara implisit mengandung pesan agar dalam mengelola sumberdaya alam termasuk sumberdaya air secara arif untuk menjaga kelestariannya, senantiasa bersyukur kehadapan Tuhan dan selalu mengedepankan keharmonisan hubungan antar sesama manusia, sehingga timbulnya konflik dapat diantisipasi. (Sutawan, 2004 dalam Wesnawa, 2010)
Konsepsi keharmonisan hidup juga tercermin pada tata ruang rumah Bali. Rumah Bali seperti pada umumnya berfungsi sebagai tempat tinggal manusia sekaligus tempat beraktivitas seperti masak, makan, tidur, mencuci, juga sebagai tempat berlindung manusia dari kondisi alam atau cuaca (hujan, panas, malam, dsb). Selain itu, rumah Bali juga digunakan sebagai tempat beribadah manusia untuk mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa, Sang Hyang Widhi.



Menurut Soebandi (1990; dalam Kumurur, 2009) Agama Hindu mengajarkan agar manusia mengharmoniskan alam semesta dengan segala isinya yakni bhuana agung (makro kosmos) dan bhuana alit (mikro kosmos), dalam kaitan ini bhuana agung adalah lingkungan buatan atau bangunan dan bhuana alit adalah manusia yang mendirikan dan menggunakan wadah tersebut.
Dalam hal pembangunan rumah, masyarakat Bali (seperti masyarakat Cina dengan aturan Fengshui-nya) mempunyai tata cara, tata letak, dan tata bangunan untuk tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang sesuai dengan landasan filosofis, etis, dan ritual. Semua hal tersebut memperhatikan konsepsi perwujudan, pemilihan lahan, hari baik (dewasa) membangun rumah, serta pelaksanaan pembangunan rumah yang disebut Asta Kosala Kosali.
Asta Kosala Kosali merupakan cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan bangunan suci. Penataan bangunan dan pengukuran jarak antar bangunan dalam satu pekarangan didasarkan oleh ukuran tubuh sang pemilik rumah. Jadi, luas rumah nantinya akan sesuai (ideal) dengan pemiliknya. Dalam hal pengukuran ini, masyarakat Bali tidak menggunakan hitungan meter, tetapi menggunakan ukuran-ukuran sebagai berikut:
  • Agu’ (sebuku jari), dua nyari (dua jari) dan petang nyari (empat jari)
  • Agemel (selubang bulatan tangan yang dibentuk dari mengetemukan ujung jari telunjuk dengan ujung ibu jari)
  • Alek (sepanjang jari tengah) dan akacing (sepanjang jari telunjuk)
  • Astapak batis ngandang (sepajang lima jari-jari kaki) dan astapak batis (sepanjang telapak kaki, yaitu dari ujung tumit hingga ujung ibu jari)
  • Sedemak (segenggaman tangan atau sekepalan tangan) dan tampak lima (sepanjang satu tangan dengan lima jari terbuka)
  • Acengkang (sejengkal, dari ujung jari telunjuk hingga ujung ibu jari yang direntangkan)
  • Musti (seukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas),
  • Hasta atau Asta (ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewasa dari pergelangan tengah tangan sampai ujung jari tengah yang terbuka)
  • Depa  (ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang direntangkan dari kiri ke kanan).






Ukuran Tubuh Manusia sebagai Dasar Pengukuran Lingkungan Buatan

Pemilihan Tanah Pekarangan
Tanah yang dipilih untuk lokasi membangun perumahan diusahakan tanah yang miring ke timur atau miring ke utara, pelemahan datar, pelemahan inang, pelemahan marubu lalah (berbau pedas).
Dwijendra (2003) menyatakan bahwa di dalam menentukan atau memilih tata letak pekarangan rumah pun menurut aturan tradisional Bali ada beberapa pantangan yang harus diperhatikan, yaitu:
1.  Pekarangan rumah tidak boleh bersebelahan langsung ada disebelah Timur atau Utara pura,bila tidak dibatasi dengan lorong atau pekarangan lain seperti: sawah, ladang/sungai. Pantangan itu disebut: Ngeluanin Pura.
2.  Pekarangan rumah tidak boleh Numbak Rurung, atau Tusuk Sate. Artinya jalan lurus langsung bertemu dengan pekarangan rumah.
3. Pekarangan rumah tidak boleh diapit oleh pekarangan/rumah sebuah keluarga lain. Pantangan ini dinamakan:  Karang Kalingkuhan.
4.   Pekarangan rumah tidak boleh dijatuhi oleh cucuran atap dari rumah orang lain. Pantangan ini dinamakan: Karang Kalebon Amuk.
5.   Pekarangan rumah sebuah keluarga tidak boleh berada sebelah-menyebelah jalan umum dan berpapasan. Pantangan ini dinamakan: Karang Negen.
6. Pekarangan rumah yang sudut Barat Dayanya bertemu dengan sudut Timur Lautnya pekarangan rumah keluarga itu juga berada sebelah-menyebelah jalan umum, ini tidak boleh. Pantangan ini dinamakan: Celedu Nginyah.
7.  Dan lain sebagainya.
Tanah- tanah yang tidak baik (ala), dapat difungsikan sebagai lokasi membangun perumahan jika disertai dengan upacara/ upakara agama yang ditentukan, serta dibuatkan palinggih yang dilengkapi dengan upacara/ upakara pamarisuda.
Pekarangan Sempit
Dengan sempitnya pekarangan, penataan pekarangan sesuai dengan ketentuan Asta Bumi sulit dilakukan. Untuk itu konsepsi Tri Mandala (pembagian pekarangan menjadi tiga, yaitu utama, madya, nista) tetap diusahakan ada, seperti tempat pemujaan, bangunan perumahan, tempat pembuangan (alam bhuta). Karena keterbatasan pekarangan tempat pemujaan diatur sesuai konsep tersebut di atas tadi dengan membuat tempat pemujaan minimal Kemulan/Rong Tiga atau Padma, Penunggun Karang dan Natar.
Rumah Bertingkat.
Untuk rumah bertingkat bila tidak memungkinkan membangun tempat pemujaan di hulu halaman bawah boleh membuat tempat pemujaan di bagian hulu lantai teratas.
Rumah Susun.
Untuk rumah Susun tinggi langit- langit setidak- tidaknya setinggi orang ditambah dua belas jari. Tempat pemujaan berbentuk pelangkiran ditempatkan di bagian hulu ruangan.

Pembagian Lahan Pekarangan
Tri Hita Karana (tiga unsur kehidupan) yang mengatur keseimbangan atau keharmonisan manusia dengan lingkungan, tersusun dalam susunan jasad/angga, memberikan turunan konsep ruang yang disebut Tri Angga. Secara harfiah “Tri” berarti tiga dan “angga” berarti badan, yang lebih menekankan tiga nilai fisik yaitu: Utama Angga, Madya Angga dan Nista Angga. Dalam alam semesta/Bhuana agung, pembagian ini disebut Tri Loka, yaitu: Bhur Loka (bumi), Bhuah Loka (angkasa), dan Swah Loka (Sorga). (Dwijendra, 2003).
Lebih lanjut, hirarki kosmologi Bali mengenai buana agung (makrokosmos) dan buana alit (mikrokosmos), dapat dijelaskan sebagai berikut;
  1. Swah-loka, yaitu alam semesta, tempat bersemayamnya para dewa.
  2. Bwah-loka, yaitu alam manusia dan kehidupan keseharian yang penuh dengan godaan duniawi, berhubungan dengan materialism.
  3. Bhur-loka, yaitu alam nista yang menjadi simbolis keberadaan setan dan nafsu yang selalu menggoda manusia untuk berbuat menyimpang dari dharma (tujuan). Bhur-loka juga identik dengan setra atau kuburan serta lantai (bataran) dalam sebuah bangunan rumah Bali.
Susunan tersebutlah yang akan mempengaruhi tata letak bangunan dalam satu pekarangan rumah Bali. Susunan ini mencakup keseluruhan konsep ide tentang keharmonisan hubungan antar tiap bagiannya yang diwujudkan dalam lanskap rumah Bali.
Pada masyarakat tradisional di Bali, dalam pembangunan rumah Bali masih memperhatikan strata sosial dalam masyarakat. Misalnya saja, pada warna atau wangsa Kesatria, rumah Bali dibangun megah yang kemudian disebut Puri dengan Pura lengkap. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Bali, siapa saja yang mampu, boleh membangun rumah atau Puri tersebut. Hanya yang membedakan rumah tersebut adalah kelengkapan tempat persembahyangannya saja.

Bangunan dan Tata Ruang Rumah Bali
Undagi adalah arsitek yang ahli dalam rancang bangun termasuk pembangunan perumahan dan lingkungannya. Secara filosofis, usaha undagi dalam berkarya hendaknya lewat jalan dharma, dan apa yang dirancang dan dibangun adalah bagian dari suatu kehidupan yang hidup dan lahir dari suatu proses. Mendirikan bangunan berarti melahirkan kehidupan baru dari benda-benda alam yang dihidupkan kembali dalam wujud bangunan. (Alit, 2003)
Pembagian susunan atau tingkatan pada bangunan rumah Bali sangat mengikuti aturan Asta Kosala-kosali:
  1. Jaba;  untuk bagian paling luar bangunan
  2. Jaba-jero; untuk mendifinisikan bagian ruang antara luar dan dalam, atau ruang tengah jero untuk mendiskripsikan ruang bagian paling dalam dari sebuah pola ruang yang dianggap sebagai ruang paling suci atau paling privasi bagi rumah tinggal.
Adapun konsep aturan tata ruang, konstruksi dan material dalam pembangunan rumah Bali yang yang disebut Tri Mandala, terdiri dari:
  1. Nista; susunan terbawah dari sebuah bangunan, diwujudkan dengan pondasi rumah sebagai peletak dasar bangunan, penyangga rumah. Bahannya biasa terbuat dari batu bata atau batu gunung.
  2. Madya; bagian tengah bangunan. Diwujudkan dalam bentuk bangunan dinding, jendela dan pintu yang mengambarkan strata manusia atau alam manusia.
  3. Utama; bangunan bagian atas. Diwujudkan dalam bentuk atap. Tempat ini dianggap suci oleh masyarakat Bali karena diyakini sebagai tempat tinggal dewa atau leluhur yang sudah meninggal. Bahan yang digunakan untuk pembuatan atap pada rumah adat tradisional Bali adalah atap ijuk dari pohon aren dan alang-alang.
Pola unit-unit rumah tinggal sampai lingkungan perumahan sebagai tempat kediaman, secara keseluruhan mengacu pada orientasi dan nilai-nilai religius. Simbolisme dalam merancang perwujudan bangunan dimana tri angga adalah simbol miniatur manusia yang terdiri dari kepala (utama angga), badan (madya angga) dan kaki (nista angga). (Alit, 2003)

Adapun bagian-bagian bagunan yang berada dalam satu pekarangan rumah Bali yang mengikuti pola Sanga Mandala atau Sembilan arah, yaitu;
  1. Pamerajan adalah tempat upacara yang dipakai untuk keluarga. Pada perkampungan tradisional biasanya setiap keluarga mempunyai pamerajan yang letaknya di Timur Laut pada sembilan petak pola ruang.
  2. Umah Meten yaitu ruang yang biasanya dipakai tidur kepala keluarga jadi posisinya harus cukup terhormat.
  3. Bale Sakepat, bale ini biasanya digunakan untuk tempat tidur anak-anak atau anggota keluarga lain yang masih anak-anak.
  4. Bale tiang sanga biasanya digunakan sebagai ruang tamu.
  5. Bale Dangin biasanya dipakai untuk duduk-duduk membuat kerajinan seni atau sekedar beristirahat dan bercengkrama bersama keluarga juga digunakan sebagai tempat untuk menyiapkan upacara.
  6. Lumbung sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen, berupa padi dan hasil kebun lainnya.
  7. Paon atau dapur yaitu tempat memasak keluarga.
  8. Aling-aling adalah bagian dari pintu masuk, fungsinya sebagai pengalih jalan masuk sehingga jalan masuk tidak langsung lurus ke daerah pekarangan dalam, tetapi menyamping atau belok terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan agar pandangan dari luar tidak langsung lurus ke dalam. Selain itu, masyarakat Bali percaya aling-aling ini dapat menolak hal-hal buruk dari luar, sehingga hal-hal tersebut tidak langsung masuk ke dalam pekarangan rumah.
  9. Angkul-angkul yaitu pintu masuk yang berfungsi sebagai gapura jalan masuk.
Sembilan bagian dalam rumah Bali di atas dapat digambarkan sebagai berikut;

Source: Architectural Conservation in Bali, hlm. 61
Jumlah tiang pada lanskap rumah Bali menyesuaikan terhadap tipologi bangunan dan luas pekarangan rumah. Semua sudah diatur sedemikian rupa dengan mengikuti konsep Tri Angga (utama, madya, nista) tersebut. Adapun jumlah tiang yang terdapat pada bangunan rumah Bali biasanya minimal berjumlah empat tiang (sakepat) dan maksimal berjumlah dua belas tiang (sakaroras). Kalau pekarangan rumah kecil, maksimal tiang rumah yang digunakan sebanyak empat atau enam tiang saja, sementara jika pekarangan rumahnya luas, maka bisa menggunakan hingga dua belas tiang pada bangunan rumahnya. Tiang enam dan Sembilan bisa digunakan untuk Bale Dangin (tempat menyiapkan upacara atau kalau pada hari-hari biasa digunakan sebagai kamar tidur pria) dan Bale Dauh (fungsinya sebagai kamar tidur juga), tiang delapan biasa digunakan untuk Bale Daja (tempat tidur anak perempuan) dan pamerajan (ruang serba guna). Sementara itu, tiang empat biasanya digunakan untuk bangunan-bangunan sederhana seperti Paon (dapur) atu juga pamerajan yang berukuran kecil. Pada dasarnya, semua itu masih harus menyesuaikan letak dan fungsinya dalam rumah tersebut.
Tipe bangunan dalam konsep tata ruang rumah Bali bukanlah single building sebagaimana rumah-rumah pada masyarakat luar Bali, melainkan dengan multibuilding atau banyak bangunan dan kecil-kecil. Hal ini bertujuan agar dalam satu lahan atau pekarangan rumah terdapat ruang luar atau natah yang sekarang bisa disebut ruang terbuka hijau. Para undagi (perancang bagunan Bali) sudah merencanakan pembangunan rumah Bali agar selalu ada ruang terbuka. Hal ini menjadi suatu kewajiban bagi masyarakat Bali yang hendak membangun rumah. Natah atau ruang terbuka memiliki filosofi tersendiri yaitu dengan adanya ruang terbuka ini, manusia (mikrokosmos/bhuana alit) bisa berhubungan langsung dengan alam (makrokosmos/bhuana agung). Ruang terbuka ini juga biasanya juga digunakan sebagai tempat untuk upacara-upacara keagamaan (karena di Bali banyak sekali upacara keagamaan), memelihara ternak, tempat bermain anak-anak, dan juga sebagai tempat untuk bersosialisasi (kumpul bersama keluarga besar, tetangga dan sebagainya).
Pada masyarakat Bali tradisional, ternak berada dalam satu lahan pekarangan rumah. Zona kandang hewan berada di bagian nistaning nista. Namun, pada saat ini terutama di daerah yang sudah maju (kota), kandang hewan ternak yang berada di pekarangan rumah sudah dipindahkan ke luar permukiman masyarakat. Kandang ternak tersebut diletakkan di areal perkebunan maupun persawahan, karena masyarakat sudah lebih memperhatikan kebersihan dan kesehatan di sekitar rumah tinggal. Masyarakat hanya berternak ayam di dalam pekarangan rumahnya. Sementara anjing dibiarkan liar karena masyarakat menganggap anjing sebagai penjaga yang setia. Di desa Tenganan, sebagai desa adat yang oleh pemerintah dijadikan desa wisata, kandang ternak sudah berada di luar permukiman. Hal ini dilakukan karena memang sudah diatur sedemikian rupa agar wisatawan lebih nyaman berada di sana. Berbeda dengan desa-desa tradisional Bali lainnya, masih terdapat kandang ternak sapi atau babi yang menyatu dengan pekarangan rumah penduduk.
Pada umumnya masyarakat Bali memelihara anjing sebagai penjaga rumah. Selain itu, masyarakat Bali juga membangun dua tugu yang diletakkan di halaman depan (di samping angkul-angkul dan di halaman belakang rumah Bali). Kedua tugu ini disebut penunggun karang. Tugu penunggun karang ini berfungsi seperti penjaga rumah dari hal-hal yang tidak baik dari arah depan maupun dari arah belakang rumah. Pada tugu ini terdapat banten atau sesajen sebagai wujud bhakti pemilik rumah terhadap makhluk yang menjaga rumah.
Dalam proses pembuatan rumah Bali terutama pada rumah-rumah yang masih tradisonal, bahan-bahan yang digunakan berasal dari alam. Pemanfaatan bahan-bahan alam ini sesuai dengan konsp arsitektur Bali, yaitu menyelaraskan diri dengan alam. Material atau bahan bangunan rumah biasanya  merupakan bahan-bahan yang mudah di dapat di daerah sekitarnya, seperti batu paras, alang-alang, sirap bambu, dan ijuk dari pohon aren. Demi mengharmoniskan diri dengan alam, masyarakat Bali tetap mempertahankan warna alami bangunan rumah (tidak mewarnai dinding rumah dengan cat).
Ijuk atau alang-alang menjadi pilihan masyarakat sebagai penutup bagian atas bangunan rumah Bali. Secara fungsional, ijuk atau alang-alang selain sebagai unsur alami pada atap rumah Bali, juga dapat berfungsi menahan hawa panas dalam ruangan dan menjadikan ruangan terasa sejuk.  Namun, untuk penerapannya pada bangunan Pura memiliki makna yang berbeda lagi. Pada bangunan pura, penggunaan atap berbahan ijuk melambangkan meru atau gunung yang jumlahnya selalu ganjil. Pura merupakan bangunan suci dan sakral karena bangunan ini merupakan tempat beribadah umat Hindu. Meru sebagai puncak tertinggi dianggap sebagai tempat bersemayamnya Dewa-dewi berstana (bertahta).
Pura dalam rumah Bali bernama Sanggah. Dalam setiap pekarangan rumah Bali, keberadaan sanggah hukumnya wajib. Satu pura ada yang untuk digunakan oleh beberapa keluarga, namun ada pula satu pura untuk satu keluarga saja. Pura tersebut berguna sebagai pura keluarga yang mana terdapat satu stana (semacam candi kecil) khusus untuk sembahyang kepada leluhur (pitra) selain untuk sembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sang Hyang Widhi.
Bali terkenal dengan berbagai upacara adat dan keagamaan yan sangat kental. Hampir setiap hari ada kegiatan upacara. Apalagi dalam hajat besar seperti membangun rumah. Adapun beberapa upacara yang harus dilakukan saat membangun rumah Bali ialah, sebagai berikut;
  1. Upacara Nyapuh sawah dan tegal. Apabila ada tanah sawah atau tegal dipakai untuk tempat tinggal. Jenis upakara : paling kecil adalah tipat dampulan, sanggah cucuk, daksina l, ketupat kelanan, nasi ireng, mabe bawang jae. Setelah “Angrubah sawah” dilaksanakan asakap- sakap dengan upakara Sanggar Tutuan, suci asoroh genep, guling itik, sesayut pengambeyan, pengulapan, peras panyeneng, sodan penebasan, gelar sanga sega agung l, taluh 3, kelapa 3 butir, benang dan pipis.
  2. Upacara pangruwak bhuwana dan nyukat karang, nanem dasar wewangunan. Upakaranya ngeruwak bhuwana adalah sata/ ayam berumbun, penek sega manca warna. Upakara Nanem dasar: pabeakaonan, isuh- isuh, tepung tawar, lis, prayascita, tepung bang, tumpeng bang, tumpeng gede, ayam panggang tetebus, canang geti- geti.
  3. Upakara Pemelaspas. Upakaranya : jerimpen satu dulang, tumpeng putih kuning, ikan ayam putih siungan, ikan ayam putih tulus, pengambeyan l, sesayut, prayascita, sesayut durmengala, ikan ati, ikan bawang jae, sesayut Sidhakarya, telur itik, ayam sudhamala, peras lis, uang 225 kepeng, jerimpen, daksina l, ketupat satu kelan, canang dua tanding dengan uang II kepeng. Oleh karena situasi dan kondisi di suatu tempat berbeda, maka upacara.
Setelah upacara sebelum pembangunan rumah selesai, maka rumah akan mulai di bangun dengan di bawah control seorang undagi. Setelah rumah selesai dibangun, aka nada upacara lagi yang bertujuan untuk mengucapkan syukur dan meminta keberkahan Dewa.
Ketika rumah telah selesai dibangun dan pemilik ruma menempati rumah. MAsyarakat Bali mempunyai etika tersendiri dalam menempati rumah Bali tersebut dalam hal membina hubungan dengan lingkungan barunya. Dalam membina hubungan baik dengan lingkungan, masyarakat Bali didasari ajaran Tat Twam Asi yang perwujudannya berbentuk Tri Kaya Parisudha.




KESIMPULAN
Tri Hita Karana yang berarti tiga sebab kebahagiaan, menjiwai setiap sendi kehidupan manusia yang menjelaskan keharmonisan kosmologis. Konsep Tri Hita Karana telah menunjukkan berbagai keunggulan dan nilai-nilai luhur yang bersifat universal dan relevan dengan lingkungan dan pembangunan dalam masyarakat Bali.
Konsepsi keharmonisan hidup tersebut juga tercermin pada tata ruang rumah Bali. Dalam hal pembangunan rumah, masyarakat Bali mempunyai tata cara, tata letak, dan tata bangunan untuk tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang sesuai dengan landasan filosofis, etis, dan ritual. Semua hal tersebut memperhatikan konsepsi perwujudan, pemilihan lahan, hari baik (dewasa) membangun rumah, serta pelaksanaan pembangunan rumah yang disebut Asta Kosala Kosali.
Pembangunan rumah Bali sarat akan unsur-unsur religiusitas dan kepekaan terhadap lingkungan alam. Mulai dari pemilihan bahan bangunan, upacara sebelum membangun rumah hingga konsep ketataruangan dalam rumah Bali diatur sedemikian rupa agar seimbang antara kepentingan religi dan keseimbangan alam. Hal ini menunjukkan bahwa tata ruang dalam rumah Bali sangat memperhatikan keharmonisan antara pemilik rumah (manusia) dengan Tuhan, pemilik rumah dengan lingkungan alam, dan antar sesama pemilik pekarangan rumah (tetangga). Konsep tata ruang rumah Bali ini menjadi bukti nyata betapa keharmonisan kehidupan masyarakat Bali tercermin didalamnya.





DAFTAR PUSTAKA

Alit, I Ketut. KINERJA UNDAGI DALAM PEMBANGUNAN PERUMAHAN. JURNAL PERMUKIMAN NATAH VOL. 1 NO. 2 JUNI 2003 : 52 – 108
Budiarjo, Eko. 1983. Menuju Arsitektur Indonesia, Bandung : Penerbit Alumi
Dwijendra, Ngakan Ketut Achwin. Perumahan dan Permukiman Tradisional Bali. JURNAL PERMUKIMAN “NATAH” VOL. 1 NO. 1 - PEBRUARI 2003
Kumurur, Veronica A. dan Setia Damayanti. POLA PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN DESA TENGANAN BALI. Jurnal Sabua Vol.1, No.1: 1-7, Mei 2009
Wastika, Dewa Nyoman. PENERAPAN KONSEP TRI HITA KARANA DALAM PERENCANAAN PERUMAHAN DI BALI. JURNAL PERMUKIMAN NATAH VOL. 3 NO. 2 AGUSTUS 2005 : 62 – 105




Sumber Internet :

artikel non-personal, Tri Hita Karana, Babad bali, http://www.babadbali.com/canangsari/trihitakarana.htm, diakses 20 Juli 2013

SHARE 0 comments

Add your comment

© Alfizza Murdiyono · Designed by Sahabat Hosting