Hai, sudah cukup lama rasanya kita tidak bersua. Ya, mohon maaf, karena belakangan ini saya terlalu sibuk untuk hal-hal yang harus mendapat perhatian lebih dari saya. Saya harus memperhatikan materi perkuliahan saya, kemudian tugas yang datang seperti jerawat, hilang satu, eehhh tumbuhnya banyak yaa, sakit pula, hehehe dan saya harus melakukan observasi lapangan kesana-kemari.
Overall, saya harus harus wajib mencintai apa yang saya lakukan seperti wujud cinta dosen saya kepada mahasiswanya yang disimbolkan melalui tugas ;)
Pada kesempatan yang agak langka ini, saya ingin sekali berbagi cerita tentang pengalaman saya beberapa bulan yang lalu ketika saya harus masuk dan berbaur dalam suatu komunitas adat yang tak pernah saya ketahui sebelumnya.
Pengalaman ini benar-benar baru bagi saya dan mungkin juga sebagian teman saya lainnya.
Yap. Sebuah catatan etnografi yang saya tulis secara telaten selama berada di tempat nun jauh di pedalaman Kalimantan Barat.
Landau , merupakan yang tak pernah saya bayangkan bagaimana wujud tempatnya. Mendengar kata Landau saja baru saat saya dan teman-teman tim ekspedisi sungai Boyan duduk dalam satu ruangan pada salah satu ruang kelas jurusan antropologi budaya, UGM.
Dalam peta yang berskala 1 : 1.750.000 yang ayah belikan di Gramedia Bookstore sebagai hadiah karena saya akan mengikuti program ekspedisi tersebut, saya tidak menemukan tempat yang bernama Landau.
Namun, saya dapat menemukan nama Landau justru dari peta yang di buat oleh teman-teman antro budaya dari hasil foto satelit.
Landau merupakan sebuah nama kampung di kecamatan Melawi Makmur, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Lokasinya cukup jauh dari peradaban kota yang sibuk, berpolusi dan panas. Saya tidak tahu pasti berapa jarak antara kota kecamatan Meliau yang dilalui jalan trans Kalimantan Barat dengan pasarnya yang cukup ramai serta terletak tepat di pinggir sungai Kapuas. Jarak Landau menuju kota kecamatan Meliau kira-kira sekitar 3,5 sampai dengan 4 jam dengan menggunakan sepeda motor.
Nah, di Landau ini, saya punya serentetan cerita yang menarik bagi saya, mungkin juga bagi anda yang tertarik membaca.
Penasaran? Yuk mulai membaca. saya akan selalu menemani anda dalam setiap kalimat yang anda baca *hohoooow
PERJALAN PANJANG
Sabtu, 6 July 2013
Overall, saya harus harus wajib mencintai apa yang saya lakukan seperti wujud cinta dosen saya kepada mahasiswanya yang disimbolkan melalui tugas ;)
Pada kesempatan yang agak langka ini, saya ingin sekali berbagi cerita tentang pengalaman saya beberapa bulan yang lalu ketika saya harus masuk dan berbaur dalam suatu komunitas adat yang tak pernah saya ketahui sebelumnya.
Pengalaman ini benar-benar baru bagi saya dan mungkin juga sebagian teman saya lainnya.
Yap. Sebuah catatan etnografi yang saya tulis secara telaten selama berada di tempat nun jauh di pedalaman Kalimantan Barat.
Landau , merupakan yang tak pernah saya bayangkan bagaimana wujud tempatnya. Mendengar kata Landau saja baru saat saya dan teman-teman tim ekspedisi sungai Boyan duduk dalam satu ruangan pada salah satu ruang kelas jurusan antropologi budaya, UGM.
Dalam peta yang berskala 1 : 1.750.000 yang ayah belikan di Gramedia Bookstore sebagai hadiah karena saya akan mengikuti program ekspedisi tersebut, saya tidak menemukan tempat yang bernama Landau.
Namun, saya dapat menemukan nama Landau justru dari peta yang di buat oleh teman-teman antro budaya dari hasil foto satelit.
Landau merupakan sebuah nama kampung di kecamatan Melawi Makmur, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Lokasinya cukup jauh dari peradaban kota yang sibuk, berpolusi dan panas. Saya tidak tahu pasti berapa jarak antara kota kecamatan Meliau yang dilalui jalan trans Kalimantan Barat dengan pasarnya yang cukup ramai serta terletak tepat di pinggir sungai Kapuas. Jarak Landau menuju kota kecamatan Meliau kira-kira sekitar 3,5 sampai dengan 4 jam dengan menggunakan sepeda motor.
Nah, di Landau ini, saya punya serentetan cerita yang menarik bagi saya, mungkin juga bagi anda yang tertarik membaca.
Penasaran? Yuk mulai membaca. saya akan selalu menemani anda dalam setiap kalimat yang anda baca *hohoooow
PERJALAN PANJANG
Sabtu, 6 July 2013
Saya bangun pagi pada hari sabtu
tanggal enam Juli 2013 pukul empat dini hari. Saya bergegas mandi dan
mempersiapkan packing terakhir hingga pukul lima pagi. Ketika saya sudah siap.
Saya masih merasa mengantuk dan tertidur lagi di atas kasur empuk teman saya,
Tessa. Pada pukul enam pagi, handphone saya
bergetar heboh dan saya terbangun kemudian bergegas menjawab telepon.
“Assalammualaikum”,
kataku
“Waalaikumsalam,
izza. Za, mbak dan teman-teman on the way
jemput kamu. Kamu dimana?” kata mbak niah dari seberang
“Oalah
mbak, cepat ya… Izza di kos teman jalan Pringgodani 10, samping alfamart dekat Universitas Sanatha Dharma”
“ok
za, tunggu depan kos ya. Kami segera tiba.”
Segera saya menutup telepon dan
bersiap ke depan. Namun, belum ada lima menit, taxi yang menemput saya tiba.
Kami menuju bandara.
Sekitar pukul tujuh kurang dua puluh
menit, kami telah sampai di bandara Adisutjipta, Yogyakarta. Sehari sebelumnya,
kami dan tim dari UGM dan Jerman telah berjanji akan bertemu di depan KFC dalam
bandara pada pukul tujuh. Namun, mereka datang terlambat. Saya dan Sembilan
orang teman saya yang dari Unnes, yaitu ada Kak Tegar, Mbak Niah, Mas Marzuqo,
Mbak Yurizka, Mas Zulfikar, Mbak Intan, Mas Imron, Mbak Dyah dan Kanita telah
berkumpul sambil memakan roti yang kami bawa untuk sarapan pagi itu. Saya
membeli beberapa barang, seperti buku ‘monyet’, bolpen, air mineral, dan
roti-roti di minimarket bandara. Buku ‘monyet’ merupakan sebuah buku kecil atau
buku note yang akan saya pergunakan
untuk mencatat data-data lapangan yang saya dapat. Mas Pudjo sebenarnya
menyarankan kepada saya dan kawan-kawan untuk menulis menggunakan pensil,
tetapi saya memilih memakai bolpen saja agar tulisannya jelas di mata saya.
Tidak lama kemudian, datanglah salah
seorang teman kami, mahasiswa semester atas dari UGM yang bernama mas Azam.
Saat itu, saya masih duduk di pinggi jalan untuk melanjutkan mengetik tugas
teori antropologi saya yang belum selesai sambil makan roti. Namun, tak lama
kemudian mas Azam mengajak saya dan teman-teman berpindah ke dekat pintu masuk
ruang check in bandara. Tak jauh dari
pintu masuk ruang check in itulah
kami bertemu dengan sekelompok teman-teman dari UGM dan Jerman yang sudah
ramai. Mereka membawa luggage atau carier bag yang tinggi-tinggi. Ada
beberapa anak yang diantar oleh orang tuanya, ada juga yang diantar oleh
kekasihnya, sementara yang lain diantar oleh teman-temannya. Sejenak sebelum check in saya menyempatkan diri untuk
mengerjakan tugas teori antropologi saya yang harus segera saya selesaikan.
Sekitar pukul tujuh lebih, saya dan teman-teman diajak masuk ke ruang check in. Di dalam ruang check in tersebut, saya dan teman-teman
kembali berkumpul, kemudian saya melanjutkan mengetik tugas saya lagi. Untung
saja saat itu pemikiran saya sedang bisa diandalkan meskipun dalam keadaan
darurat. Di dalam ruang check in kami
menunggu pendataan barang bagasi selama kurang lebih pukul setengah sembilan.
Setelah mendapatkan airtax dan kartu
nomor duduk dari bandara, kami dipersilahkan masuk ke dalam ruang tunggu
keberangkatan. Saya duduk di salah satu kursi, kemudian kembali melanjutkan
tugas sayayang belum selesai. Pukul setengah sebelas siang pesawat kami datang.
Saya tetap menunggu di bangku ruang tunggu keberangkatan sambil mengerjakan
tugas hingga datang panggilan untuk masuk ke pesawat. Pukul sebelas kurang,
kami memasuki pesawat. Pesawat lepas landas pada pukul sebelas siang.
Pesawat Express Air yang kami
tumpangi terbang di langit atas Pulau Jawa, kemudian melintasi selat Jawa dan
kemudian terbang di atas Pulau Kalimantan. Satu setengah jam kemudian sampailah
kami di Bandara Supadio Pontianak. Begitu turun dari pesawat, saya bergegas
jalan menuju bis yang mengangkut penumpang yang turun menuju terminal
kedatangan bandara.
Udara di luar pesawat sangatlah
panas. Cahaya matahari yang silau di mata dan menyengat-nyengat kulit.
Begitulah keadaan yang lumrah di daerah yang dilintasi oleh garis khayal khatulistiwa.
Pukul setengah satu lebih lima
menit, saya sudah berada di dalam bandara dan segera menuju tempat mengambil
bagasi. Menunggu bagasi sangatlah lama. Oleh karena itu, saya memilih untuk
pergi ke kamar kecil dan mencuci muka di wastafel.
Toilet di bandara Supadio lumayan bersih dan terang. Ada lima pintu wc
lengkap dengan wc duduknya yang bersih. Keramik toilet berwarna crème. Di ruang tersebut terdapat kaca
besar yang menyatu dengan wastafel yang
digunakan pengunjung untuk bercermin dan juga sangat bersih. Setelah buang air
kecil, saya meninggalkan toilet menuju pengambilan bagasi dan mengantre disana.
Tak lama, tas ransel saya yeng berisi pakaian sekitar lima potong, jilbab tiga
lembar, celana bahan satu lembar, kopi Jawa empat bungkus, ada handuk juga,
kemudian ada dalaman saya yang jumlahnya tidak banyak. Namun anehnya, tas
ransel saya begitu berat sehingga saya memasukkan ransel tersebut ke bagasi.
Setelah mendapati tas saya dan
menggendongnya, saya keluar ruang kedatangan tersebut. Di luar, sudah ada satu truck berwarna biru milik TNI AU Bandara
Supadio. Teman-teman saya yang laki-laki sibuk menaikkan luggage milik anggota yang lain. Saya pun meminta tolong teman saya
untuk menaikkan tas r.ansel saya tadi yang sudah saya isikan laptop sehingga
tas tersebut harus berada di atas agar tidak terhimpit tas lain. Setelah semua
tas dinaikkan ke atas truck TNI
tersebut, Mas Pudjo menawarkan kami untuk ikut naik truck dan sebagian lainnya jalan kaki menuju pelabuhan speedboat dan klotok. Saya lebih memilih
ikut naik truck dari pada jalan kaki,
karena kalau jalan kaki agak jauh dan capek, ditambah lagi panas yang
melemahkan tubuh.
Sepuluh menit kemudian kami yang
menumpang truck sudah sampai di
tepian sungai Kapuas. Di sana ada beberapa warung warga yang menjual makanan
berat dan makanan ringan. Di warung yang paling pinggir (dekat sungai) menjual
nasi lengkap dengan lauk-pauknya seperti gulai, semur, sayuran di oseng, di sop
dan sebagainya. Turun dari truck, saya
ikut membantu mas Zuqo, Mas Fikar, Ogir, Bang Ardan menurunkan barang-barang ke
depan warung makan tadi. Setelah itu, saya duduk-duduk menunggu teman-teman
yang lain di depan warung makan sambil menikmati sebotol air mineral. Tak lama
kemudian, datanglah rombongan teman-teman saya yang berjalan kaki dari bandara
tadi. Tak tampak raut lelah dari mereka, yang tampak adalah wajah-wajah ceria.
Mas Pudjo sebagai pemimpin rombongan telah datang dan langsung menyuruh kami
makan siang di warung atau menunggu nasi bungkus. Saya membeli sebotol air
mineral lagi dan mengambil sebungkus nasi jatah makan siang saya. Saya makan di
bawah terik matahari di tepi sungai Kapuas bersama partner saya, Vega, Asti,
dan Gloria. Kami mengobrol dan bercanda sambil menyantap lahap suap demi suap
nasi.
Setelah makan siang, saya pergi ke
masjid yang letaknya tak jauh dari tepi sungai. Masjid Desa Sungai Durian
namanya. Masjid tersebut masih dalam tahap pembangunan. Dindingnya masih belum
di cat, baru saja di plaster. Saat tiba disana, saya menjumpai dua orang bapak
yang sedang duduk santai sambil merokok dan minum kopi di beranda masjid. Saya
meminta izin untung men-charge laptop
dan handphone. Kedua bapak tersebut
mempersilahkan saya. Mereka sangat ramah. Saya dibantu untuk mencolokkan kabel
laptop ke terminal atau stop kontak listrik disana. Di masjid itu saya kembali
melanjutkan tugas teori antropologi saya yang belum selesai juga. Namun, karena
kepala saya sudah pusing, saya mengerjakan tugas tidak terlalu konsentrasi dan
hasilnya pekerjaan saya kurang baik. Akhirnya, saya membeli paket internet
untuk handphone saya. Saya
mengirimkan tugas teori antropologi dan kajian etnografi saya melalui email kepada Pak Bayu, dosen saya.
Untung saja, Pak Bayu mau menerima tugas saya itu.
Usai mengerjakan tugas, saya membawa
sabun wajah ke kamar mandi di masjid. Disana saya mencuci muka dan kaki saya.
Kemudian saya melakukan sholat dzuhur dan sholat ashar.
Waktu itu pukul setengah tiga siang.
Saya diajak teman saya kembali ke pinggir sungai dan bergabung dengan teman-teman.
Saya pergi ke pinggir sungai bersama Mas Imron yang kebetulan saat itu baru
selesai sholat.
Sesampainya di sungai, teman-teman
saya sedang sibuk dengan kegiatannya masing-masing, seperti ada yang sibuk
foto-foto, sibuk mengobrol, ada juga yang main kartu poker, makan jajanan, Kai
(mahasiswa Jerman) menyempatkan diri tidur di bangunan kecil berdinding kayu
bentuknya seperti pos ojek atau hanya tempat berbincang-bincang sekumpulan
bapak-bapak saja. Keberangkatan kami menuju Kecamatan Meliau ditunda karena
perahu yang akan kami tumpangi datang terlambat.
Awalnya Mbak Dita bilang kalau kami
akan berangkat jam tiga siang, kemudian jam setengah empat sore, kemudian di
undur lagi sampai jam setengah enam sore. Pukulsetengah enam, perahu yang akan
kami tumpangi bersandar di Pelabuhan Sungai Durian. Teman-teman saya yang
lelaki menaikkan tas-tas dan barang-barang lainnya ke gladag kapal. Setelah
barang-barang kami yang besar-besar dan banyak tersebut masuk ke perut kapal,
barulah kami masuk ke dalam kapal. Saya dan teman-teman duduk di pinggiran
jendela kapal, karena memang kursinya berada di pinggir jendela sepanjang badan
kapal tersebut. Kapal kami bukanlah kapal baja, melainkan kapal klotok yang
terbuat dari susunan kayu ulin yang terkenal sebagai “kayu besi”. Menurut orang
Kalimantan, kayu ulin ini merupakan kayu yang jika terkena air akan semakin
kuat. Kayu ulin menjadi bahan utama pada bangunan rumah ataupun kantor yang
sangat digemari masyarakat Kalimantan. Lihat saja pada rumah tinggal suku
Dayak, yaitu Rumah Betang. Rumah Betang terbuat dari kayu ulin dan atapnya
terbuat dari sirap. Sekarang, harga kayu ulin sangatlah mahal, seiring dengan
adanya larangan penebangan hutan secara liar yang dulu marak terjadi di seluruh
hutan di Kalimantan atau illegal loging.
Pada saat marak-maraknya penebangan hutan secara liar, banyak bermunculan orang
kaya baru di Kalimantan. Seiring dengan penebangan liar itu, hutan-hutan di
Kalimantan semakin gundul dan kritis. Oleh sebab itu, dibutuhkan adanya
perlindungan hutan oleh pemerintah dan dibuat aturan-aturan hukum yang baku dan
kuat agar orang-orang yang tidak bertanggung jawab tidak lagi melakukan
perusakan hutan demi keuntungan pribadinya.
Jarak antara orang satu dengan yang
lainnya sangatlah dekat, sehingga sulit bagi kami untuk merebahkan badan
apalagi ingin selonjorkan kaki. Ketika itu, matahari akan terbenam. Langit
mulai temaram. Di ujung cakrawala, dari jendela kapal kami menyaksikan indahnya
warna jingga langit sore menjelang maghrib. Saya dan teman-teman sibuk memotret
dan menikmati keindahan tersebut. Ah… langit Kalimantan yang bersih tanpa
polusi.
Malam menjelang, rasa kantuk mulai
menyerang saya dengan dahsyat. Meskipun ruang untuk tidur sangatlah terbatas,
namun saya tetap saja bisa tidur dengan posisi kaki terlipat dan badan
melengkung layaknya kucing yang sedang tidur. Setelah itu saya tidak tau
apa-apa lagi.
Pukul delapan malam, saya
dibangunkan oleh teman-teman saya. Oh, ternyata kami sudah sandar pertama untuk
makan malam dan sholat isya yang kemudian di jama’ takhir dengan sholat
maghrib. Daerah pertama yang kami singgahi ini bernama Sungai Asem. Di daerah
itu saya menemukan beberapa warung makan yang masih buka. Warung makan yang
paling dekat dengan tempat kapal sandar adalah warung makan milik orang
keturunan Cina. Karena di warung tersebut sudah sangat panjang antriannya, maka
saya berjalan sedikit lebih jauh. Di tengah jalan, ada sekelompok anak-anak
yang dari kejauhan sudah menyaksikan saya. Ketika jarak saya dengan mereka
sudah sangat dekat, tiba-tiba saja terdengar bunyi seperti mercon lempar tepat
di kaki saya. Sontak saja saya teriak dan loncat-loncat. Anak-anak tersebut
tertawa puas sekali melihat keterkejutan saya tadi. Mungkin mereka merasa
berhasil mengerjai saya. Tak jauh dari tempat saya dilempar mercon tadi, saya
menjumpai warung milik orang Dayak Islam yang juga berjualan nasi dan
lauk-pauknya. Di dalam warung sudah ada Mas Pudjo dan Miss Katarina yang sedang
menyantap santap malam mereka. Langsung saja saya ikut berbaris menunggu giliran
mengambil makanan. Pemilik warung memberikan saya box dari strofoam sebagai
wadah makanan saya. Saya dipersilahkan mengambil nasi sebanyak yang saya mau,
kemudian memilih lauk yang saya mau makan. Saya tidak banyak mengambil nasi
karena nasinya agak keras dan bagi pemilik penyakit tifus, nasi yang seperti
itu kurang baik dimakan kecuali dikunyah halus agar tidak melukai dinding
lambung. Sebagai lauk makan, saya memilih mi goreng dan sepotong tahu bumbu
merah dengan siraman kuah gulai diatasnya. Saya hanya membayar sejumlah delapan
ribu rupiah untuk makan malam itu. Teman-teman saya membeli satu gelas air teh
hangat seharga dua ribu rupiah. Selesai makan malam, kami menyempatkan diri
untuk menunaikan shalat isya’ dua rakaat yang dilanjutkan dengan shalat maghrib
sebanyak tiga raka’at. Hal ini sah dilakukan karena kami sedang berada dalam
perjalanan jauh.
Usai shalat, kami kembali menuju
kapal dan kembali berlayar mengarungi sungai Kapuas yang lebar dan mengular
jika dilihat dari udara. Saya kembali tertidur dengan posisi yang sangat
darurat di dalam kapal. Kami semua tertidur dengan posisinya masing-masing dan
terjepit. Namun karena kelelahan, saya dan teman-teman dapat tertidur pulas
hingga keesokan pagi.
Minggu, 7 July 2013
Saya dan teman-teman terbangun dari
tidur nyenyak di atas perahu kurang lebih pada pukul setengah enam pagi. Saya
dan teman-teman menyaksikan indahnya sunrise
pertama kami di Kalimantan Barat dan masih berada di tengah-tengah sungai
Kapuas. Kami melihat sunrise yang
indah tersebut dari balik jendela kapal yang tak berkaca. Udara subuh yang
sangat dingin dan bau amis yang tercium keluar dari sungai Kapuas. Pagi itu
kabut masih tebal. Kabut yang tersibak di atas air sungai Kapuas akibat
gelombang dari kapal kami membuat sungai Kapuas seolah-olah mengeluarkan asap.
Sangat dramatis dan agak mencekam karena di kiri dan kanan kami yang tampak
hanyalah hutan-hutan yang masih gelap.
Saya dan teman-teman tak ingin
meninggalkan satu moment pun, kami
sibuk memotret sunrise tersebut
seindah mungkin. Setelah matahari naik dan memanas, saya kembali merasakan
kantuk. Saya tertidur sambil duduk bersandar di dinding kapal.
Pada
pukul delapan pagi, kami merapat ke pelabuhan di daerah Pulau Tayan untuk
distribusi barang dagangan pesanan warga Pulau Tayan. Kesempatan bongkar ini
kami manfaatkan untuk makan pagi dan bersih-bersih. Di Pulau Tayan, saya,
Kanita, Mbak Rizka, dan Mbak Dyah serta Mbak Niah berjalan-jalan di pasar jalan
Dwikora untuk mencari warung makan. Ketika berkeliling, kami didatangi oleh seorang
ibu yang merupakan orang tayan asli, namun orang tuanya campuran antara Cina
dan Jawa. Ibu itu mengarahkan kami untuk makan di warung milik orang Islam. Di
warung makan tersebut menyediakan beberapa menu makanan, seperti sate ayam, mie
pakai bakso ayam dan berbagai bentuk masakan seperti yang terdapat di warteg
(warung Tegal). Adapun makanan yang unik di sini adalah mie bakso ayam. Mengapa
saya bilang unik? Ya, karena ketika saya mendengar kata “bakso”, maka
ekspektasi saya langsung mengarah pada suatu bentuk daging giling berbahan
dasar daging ayam atau daging sapi diadon dengan tepung terigu yang dibentuk
menyerupai bola-bola kecil. Ternyata “bakso” yang masyarakat Pulau Tayan maksud
adalah potongan-potongan daging ayam utuh yang berbentuk kecil-kecil, bukan
daging giling.
Setelah
makan mie bakso ayam tersebut, saya dan teman-teman bersih-bersih diri di kamar
mandi pemilik warung tersebut. Setelah itu, kami kembali naik ke kapal dan
melanjutkan perjalanan menuju kecamatan Meliau.
Pada
pukul perahu kami sandar di daerah
Sungai Dekan. Ternyata sebagian besar dari kami akan diturunkan di Sungai Dekan
untuk melanjutkan perjalanan menggunakan truck
milik warga desa yang biasa digunakan untuk mengangkut buah sawit. Ada dua
truk yang akan mengantarkan kami. Truk pertama mengantarkan teman-teman kami
yang ditempatkan di desa Kuala Buayan (dusun Kuala Buayan, Sengkuang Daok,
Sengkuang Daok Km 3 dan Kayu Ara), Kuala Rosan (dusun Kuala Rosan dan Lubuk
Piling), dan Sei Kembayau (dusun Sei Kembayau, Balai Imbung, Kerawang, dan
Tanjung Anti/Tolok Bui) serta tambahan dua dusun yang searah adalah Suak Pram
dan Suak Pram blok H. Sementara truk dua yang saya dan rekan-rekan saya
tumpangi merupakan truk khusus jurusan Dekan Putih, Trans Dua Bhakti Jaya,
Pampang Dua, dan Desa Melawi Makmur (meliputi dusun Nek Sawak, Landau, Tanjung
Iman, Landau dan Suak Mansi).
Di
setiap desa akan ditempatkan dua sampai tiga orang mahasiswa untuk hidup di
sana, menyatu dengan masyarakat, belajar dari masyarakat desa dan menulis apa
saja sebagai data harian.
Sepanjang
perjalanan menggunakan truk, tubuh kami terus terguncang-guncang. Jalan
perkebunan hanyalah tanah merah yang keras, berlubang-lubang, tidak ada aspal
sama sekali. Jika musim hujan, jalan akan berubah menjadi sangat liat dan
berlumpur yang hampir tidak bisa dilewati oleh kendaraan apapun. Di kiri dan kanan jalan yang tampak hanyalah
deretan pohon sawit, sesekali melewati perkebunan karet dan hutan. Banyak
hal-hal seru yang kami alami, misalnya seperti menganggap naik truk dan menghindari
pelepah-pelepah sawit sebagai sebuah permainan atau game yang jika pelepah sawit yang menjuntai itu mengenai bagian
tubuh kami, maka nyawa kami dianggap hilang satu, begitu seterusnya. Bang Joseph menganggap naik truk
seperti sedang mengendarai skateboard.
Ia berdiri di tengah-tengah truk tanpa berpegangan dan bertahan layaknya sedang
berdiri di atas papan skate. Ketika
ia terjatuh, kami tertawa terbahak-bahak. Dengan adanya pelepah sawit yang
mengenai tubuh dan goncangan-goncangan dahsyat dalam truk menjadi penghiburan
sendiri bagi kami.
Satu
persatu teman-teman saya diturunkan di dusun-dusun yang telah ditentukan
sebelumnya. Kami semua diarahkan untuk tinggal di rumah kepala dusun, kepala
desa atau ketua rukun tetangga pada dusun tersebut. Kami berangkat naik truk di
daerah BHD pukul setengah tiga siang dan sampai di dusun Landau pada pukul enam
kurang beberapa menit. Kami diturunkan di depan jembatan di daerah Tanjung
Iman, kemudian menyebrang ke kawasan dusun Landau.
Bang
Ardan, seorang mahasiswa angkatan atas antropologi budaya UGM yang sudah paham
seluk-beluk daerah-daerah permukiman masyarakat desa di Kabupaten Sanggau
ini mengantarkan saya, Ve dan Bang
Joseph meniti jembatan gantung yang sudah reot. Setelah melewati jembatan, Bang
Ardan mengajak saya dan Ve mendatangi rumah pak RT dusun Landau yang merupakan
orang Jawa beragama Islam. Sementara Bang Joseph diarahkan ke rumah pak kepala
dusun yang merupakan orang Dayak yang
beragama Kristen protestan. Saat mendatangi rumah pak RT, yang kami temui hanyalah anak gadisnya yang
bernama Jum. Sore itu pak RT sedang berada di kebun untuk memanen karet,
kemungkinan beliau akan kembali ke rumah sekitar pukul sepuluh malam. Akhirnya,
Bang Ardan membawa kami menuju ke rumah pak kepala dusun Landau yang bernama
Bapak Sugimon. Sesampainya di rumah pak kepala dusun, saya dan Ve berjumpa
dengan Joseph ( yang kemudian saya panggil Bang Jo). Kami langsung bertegur
sapa dengan seluruh warga yang pada sore itu sedang berada di halaman rumah
mereka. Anak-anak masih sibuk bermain di halaman rumah, para pemuda kampung
sedang berkumpul di teras rumah dan ada yang sedang duduk di atas motor,
sementara ibu-ibu dan bapak-bapak berkumpul pula di tersa rumah sambil
mengobrol. Kami menyapa mereka dengan senyum mengembang. Mereka membalas sapaan
kami dengan senyuman pula. Saya, Ve dan Bang Jo diajak bapak masuk ke dalam
rumah dan menata barang-barang bawaan kami. Di dalam rumah, seorang ibu yang
tampak masih muda menyambut kami dengan sangat ramah. Kemudian kami berkenalan
satu sama lain. Ternyata ibu muda tersebut adalah istrinya pak Sugimon yang
bernama Enes atau warga biasa memanggilnya Mamak Joni (karena anak pertama
mereka bernama Joni). Keluarga pak Sugimon menjadi keluarga baru kami di tanah
Kalimantan Barat. Pak Sugimon dan Bu Enes memiliki dua orang anak, yaitu Joni
dan Pinsen. Joni baru berumur dua belas tahun, sementara Pinsen baru berumur
kurang dari enam tahun. Bu Enes meminta kami memanggilnya dengan sebutan
“mamak”. Sebutan atau panggilan itulah yang membuat kami lebih akrab. Baru saja
sampai di rumah mereka, saya, Vega dan Bang Jo sudah diajak makan bersama. Kami
pergi ke dapur yang berdinding dan berlantai kayu. Sore itu saya makan dengan
lahap karena ada makanan kesukaan saya, ikan asin. Saya menyantap dua ekor ikan
asin dan sambal yang langsung dicolek dari tumbukannya. Entah apa yang membuat
saya sangat berselera menyantap makanan sederhana itu, mungkin saja karena saya
menyantapnya bersama keluarga besar. Ya. Makan bersama keluarga besar memang
hal yang sudah lama saya rindukan, sejak saya bersekolah di tanah Jawa.
Pukul
setengah tujuh, saya, Vega dan Bang Jo disuruh Mamak mandi ditemani anak-anak
kampung. Dengan berbekal satu lampu sorot kepala dan satu senter biru milik Ve,
kami berjalan menuju sungai Melawi yang berada beberapa meter dari depan rumah
Mamak. Keadaan kampung mulai menggelap karena lampu masih belum dinyalakan. Di
tengah perjalanan, saya berkenalan dengan seorang anak perempuan bernama Putri
Bungsu. Ia biasa dipanggil Bungsu, karena ia merupakan anak bungsu di
keluarganya. Putri Bungsu berumur dua belas tahun. Tubuhnya hampir setinggi
saya (sekitar 150 cm) dan sangat kurus. Bungsu memberitahukan saya bahwa ia
pernah terkena penyakit kurang gizi dan rambutnya rontok terus-menerus. Oleh
sebab itu ia tidak diizinkan makan mie instan lagi dan harus banyak makan
sayuran.
Sesampainya di tepi sungai, keadaan
sangat gelap. Saya dan Ve langsung memakai kemben dari sarung yang diikatkan ke
leher tau bisa juga menggulung sarung di atas dada. Sementara Bang Jo sangat
menikmati mandi pertamanya setelah hampir dua hari tidak mandi ini dengan
melepas bajunya dan mandi hanya menggunakan celana dalamnya. Hal tersebut
sangat lumrah bagi masyarakat kampung.
Ketika melihat saya dan Ve memakai
basahan, anak-anak mentertawakan kami karena bagi mereka, cara memakai basahan
kami lucu dan berbeda dengan yang biasa mereka lihat atau mereka pakai.
Kemudian bungsu mengajarkan kami memakai basahan yang benar, namun saya tetap
memakai basahan dengan cara saya sendiri agar dada saya tidak tampak. Saya
menggunakan basahan dengan masuk ke dalam sarung, kemudian mengambil beberapa
bagian kain untuk diikatkan ke leher saya. Dengan begitu dada saya tertutup
sarung, meskipun sebagian bagian atas punggung saya tampak. Kami mandi selama
tiga puluh menit.
Awalnya saya memang merasa takut
untuk mandi di sungai malam-malam dalam kondisi minim cahaya, namun apa daya,
daripada tidak mandi sama sekali selama dua hari dan badan menjadi bau kecut.
Akhirnya saya ikut menceburkan diri ke dalam sungai. Setelah badan saya basah
semua, saya menggosok-gosok badan menggunakan sabun mandi ber-scrub agar daki-daki di badan saya
luruh. Bang Jo dan Ve pun menceburkan diri setelah itu. Bang Jo dengan sangat
berani menuju tengah-tengah sungai Melawi yang agak dangkal, tingginya ada yang
hanya selutut atau setinggi betis kami, namun ada juga yang sepaha kami.
Anak-anak kecil yang menemani kami sudah lebih dulu berloncatan menceburkan
diri ke dalam sungai. Pakaian mereka basah kuyup dan mereka tampak sangat
riang-gembira.
Tiga puluh menit kemudian, sekitar
pukul tujuh malam, kami bertiga dan anak-anak kampung telah selesai mandi.
Lampu rumah telah dihidupkan. Ternyata, di kampung Landau ini listrik
dihidupkan pada pukul enam sore hingga pukul sepuluh malam. Setiap rumah
memiliki satu mesin pembangkit listrik berbahan bakar solar untuk mengalirkan
listrik yang mampu menghidupkan sekurang-kurangnya tiga bohlam dan televise
serta untuk men-charge telepon
genggam maupun laptop. Kata Mamak, setiap harinya masyarakat Landau
menghabiskan uang sekitar dua puluh ribu setiap harinya untuk menghidupkan
listrik tersebut.
Sepulang mandi di sungai, kami
mengganti pakaian. Saya mengusapkan minyak kayu putih ke sekujur tubuh agar
tubuh saya tidak kedinginan. Ketika keluar dari kamar, kami menjumpai banyak
anak-anak kecil berkumpul di ruang tamu yang berfungsi ganda yaitu sekaligus
dijadikan ruang keluarga. Anak-anak
berkumpul di depan televisi untuk menonton tayangan televisi favorit mereka.
Kalau saya perhatikan, mereka sangat menggemari sinetron di salah satu channel tv dan tayangan drama serial
yang ceritanya banyak adegan perang-perangan antar kerajaan. Ketika melihat
kami, anak-anak tersebut beralih pandangan ke arah kami. Mereka memperhatikan
kami yang tersenyum pada mereka, kemudian mereka membalasnya. Saya menyapa
mereka dengan bertanya, “hai adik-adik, lage’ ape ni?”, kemudian salah satu
dari mereka yang berani dan menjawab, “lage’ nonton tipi kak”. Percakapan saya
lanjutkan dengan bertanya berbagai hal kepada mereka.
Saya menanyakan nama mereka satu per
satu (meskipun saya agak kesulitan menghapal nama, tetapi ini cara yang paling
jitu untuk melakukan pendekatan).
“(sambil
mengelus kepala salah seorang anak lelaki berbaju putih) Hei dek, sape nama
kau?” tanyaku
“Akuang,
kak” jawabnya sambil malu-malu.
“kalo
kau? (sambil mengelus kepala anak yang lainnya)”
“aku
gun, kak. Gunawan” jawab seorang anak lelaki di sebelah kananku. Kemudian aku
menunjuk yang lainnya.
“Aku
Asiung”
“aku
Bungsu, kak. Masa’ kakak dah lupa? Hahaha” katanya sambil tertawa.
“ah…
iya lah, kau Bungsu, kau Gun, Akuang, Asiung, Pinsen, Joni, yang kecil ini
Rangga” kataku sambil menunjuk mereka satu per satu.
Sebenarnya
masih banyak anak-anak lain disitu, tetapi yang lain saya sulit mengingat
namanya karena hanya mereka yang saya sebutkan di atas merupakan anak-anak yang
sangat sering berkumpul dan bermain dengan saya dikemudian hari. Saya mengajak
mereka ke teras rumah. Sebagian anak-anak yang tak tertarik dengan ajakan saya
tetap menonton tv, tetapi beberapa anak tertarik dengan ajakan saya kemudian
mengikuti saya ke teras. Di teras rumah kami bercerita tentang hantu-hantu yang
ada di Landau. Bungsu, Akuang, Gun dan dua anak lainnya bercerita banyak
tentang hantu. Beberapa hantu namanya sama dengan hantu-hantu Jawa, tetapi ada
yang berbeda, seperti Nek Uban, Pengkorek, Cuncong dan Tenggiling. Ada pula
ular naga yang sangat panjang, kepalanya berada di Sanggau sementara ekornya
berada di Tayan.
Nek Uban merupakan sosok hantu yang bisa berubah menyerupai siapapun yang dia mau. Misalnya dia melihat saya, dia akan berubah menjadi saya meskipun padahal saya sudah tidak berada di kampung tersebut. Nek Uban ini memiliki rambut yang sangat panjang. Nek Uban suka menculik anak-anak, oleh sebab itu anak-anak tidak boleh main jauh-jauh tanpa ditemani orang tua dan tidak boleh main sampai larut malam, nanti bisa diculik Nek Uban. Nek Uban memiliki nama lain yaitu Benturun (dalam cerita masyarakat Suak Mansi).
Nek Uban merupakan sosok hantu yang bisa berubah menyerupai siapapun yang dia mau. Misalnya dia melihat saya, dia akan berubah menjadi saya meskipun padahal saya sudah tidak berada di kampung tersebut. Nek Uban ini memiliki rambut yang sangat panjang. Nek Uban suka menculik anak-anak, oleh sebab itu anak-anak tidak boleh main jauh-jauh tanpa ditemani orang tua dan tidak boleh main sampai larut malam, nanti bisa diculik Nek Uban. Nek Uban memiliki nama lain yaitu Benturun (dalam cerita masyarakat Suak Mansi).
Ada
pula hantu yang orang kampung Landau menyebutnya “hantu pengkorek”. Hantu
pengkorek ini sebenarnya merupakan seorang manusia penuntut ilmu hitam yang
suka mengambil kepala anak-anak. Pengkorek mengambil kepala atas suruhan oleh
hantu tanah untuk dijadikan cabuh gertak (penyangga
jembatan agar kokoh, tidak mudah roboh). Pengkorek bisa berubah wujud menjadi
seekor anjing. Hantu pengkorek bisa menipu orang dengan memberikan kue yang
sudah ditambahkan racun agar orang yang telah diberikan kue tersebut mau
mengikuti pengkorek. Bedanya jelmaan pengkorek dengan anjing biasa adalah
ketika kita melihat mata anjing jelmaan pengkorek itu bermata merah. Kalau
melihat hantu pengkorek langsung lari saja. Oleh sebab itu, orang tua selalu
menyuruh anak-anak berhati-hati, tidak boleh bermain jauh-jauh tanpa orang tua.
Kalau sudah malam apalagi malam jumat, anak-anak harus cepat pulang ke rumah
agar kepalanya tidak diambil pengkorek.
Hantu
lain yang menurut saya sangat unik bernama hantu tenggiling. Tenggiling
merupakan makhluk jadi-jadian yang mempunyai sisik-sisik emas. Hantu tenggiling
bersembunyi di hutan. Kalau bertemu hantu tenggiling ini dan bisa membunuhnya,
sisik-sisik emas tenggiling boleh diambil. Sisik-sisik emas tenggiling bisa di
jual. Akuang mengakui kalau ia pernah menemukan tenggiling. Kemudian Akuang
membunuhnya menggunakan Mandau dan mengambil sisik emasnya dan menjual sisik
emas tersebut. Orang tua anak-anak kampung mengingatkan anak-anaknya agar tidak
merusak hutan dan membuat kehebohan di hutan, karena hantu tenggiling akan
keluar dan marah. Hantu tenggiling kemudian menyembunyikan anak-anak di hutan sehingga
tidak bisa kembali pulang.
Cuncong.
Sosok manusia (tidak jelas sosok jadi-jadian atau bukan) yang menyembunyikan
anak-anak di tanaman nanas hutan yang berukuran besar untuk memberikan rasa
takut. Anak-anak tidak boleh main sembunyian atau petak umpet di malam
hari. Anak yang disimpan cuncong
biasanya ditemukan oleh orang yang melewati hutan dan tidak sengaja bertemu
dengan anak tersebut, kemudian di bawa pulang.
Selanjutnya,
anak-anak bercerita kepada saya bahwa sekolah mereka angker. Dulunya SD mereka itu bekas kuburan orang-orang zaman
dulu, kemudian diratakan, dibangunlah rumah sakit di situ dan akhirnya rumah
sakit tersebut dibongkar dan dibangunlah sekolah. Di sekolah ada hantu seperti
kuntilanak dan genderuwo. Saya tidak benar-benar percaya pada cerita
hantu-hantu di atas. Tetapi ada baiknya kita mengambil hikmahnya bahwa orang
tua menyampaikan norma-norma atau aturan-aturan kepada anaknya melalui rasa
takut akan adanya makhluk-makhluk lain disekitar kita. Misalnya saja dengan
adanya cerita hantu Nek Uban, Pengkorek dan Cuncong ini, anak-anak kampung
tidak berani lagi main terlalu jauh dari rumah apalagi saat malam hari.
Cerita mistis yang di buat dan berkembang dalam masyarakat seolah menjadi pengontrol pikiran dan tindakan anak-anak yang masih belum mampu berpikir secara dewasa (dalam artian belum mampu mempertimbangkan baik atau buruknya suatu hal yang mereka lakukan). Melalui cerita-cerita mistis ini pulalah orang tua diuntungkan karena orang tua dapat lebih mudah mengawasi anak-anak mereka ketika sedang bermain. Misalnya saja ketika ibu sedang memasak di dapur, ia hanya cukup mengawasi anaknya dari jendela dapur karena anaknya main di daerah yang masih terjangkau oleh penglihatan ibu dengan kata lain, anak-anak tidak bermain sampai ke hutan atau ke luar permukiman.
Cerita mistis yang di buat dan berkembang dalam masyarakat seolah menjadi pengontrol pikiran dan tindakan anak-anak yang masih belum mampu berpikir secara dewasa (dalam artian belum mampu mempertimbangkan baik atau buruknya suatu hal yang mereka lakukan). Melalui cerita-cerita mistis ini pulalah orang tua diuntungkan karena orang tua dapat lebih mudah mengawasi anak-anak mereka ketika sedang bermain. Misalnya saja ketika ibu sedang memasak di dapur, ia hanya cukup mengawasi anaknya dari jendela dapur karena anaknya main di daerah yang masih terjangkau oleh penglihatan ibu dengan kata lain, anak-anak tidak bermain sampai ke hutan atau ke luar permukiman.
Pukul
sembilan malam tiba dengan cepat tanpa terasa. Satu persatu anak-anak mulai
pulang, tinggallah dua orang anak lagi yang masih bermain dengan saya. Tak
berapa lama datang seorang ibu berambut pirang yang dikucir dan mengenakan baju
tidur tanpa lengan duduk mendekati saya.
“kapan
datang?” tanya ibu tersebut yang kemudian setelah berkenalan, saya ketahui
biasa orang kampung memanggilnya Mamak Weni.
“tadi
sore, Bu (senyum)” jawab saya ramah
“kau
nih adik kelasnya Lintang keh?” tanyanya lagi
“Lintang
siapa ya, Bu?” Tanya saya bingung karena tidak tahu siapa Lintang itu
“itu
mahasiswa juga, anak angkat saya dia tuh. Dulu tinggal di Landau nih juga lah.”
Kemudian
Vega datang dan masuk dalam percakapan kami,
“saya
Bu yang adik kelasnya mas Lintang. Dia sedang ada kerjaan di semarang, Bu” kata
Vega
Kemudian
Mamak Weni bercerita panjang lebar mengenai Mas Lintang, Bang Ardan, Mas Oby
dan Ko Rudy. Dari semua cerita Mamak Weni tentang mereka semua mengisyaratkan
bahwa orang-orang yang saya sebutkan di atas sudah sangat akrab dengan warga
kampung Landau. Bahkan sampai kebiasaan dari mereka masing-masing pun warga
sudah hapal.
Mamak
Weni juga bercerita tentang mitos-mitos yang ada di kampung tersebut, misalnya
saja tentang keberadaan panglima perang Dayak yang bertapa di bukit, keberadaan
tuyul di kampung Landau sehingga banyak warga yang sering kehilangan uang,
praktek santet, dan sebagainya. Sebenarnya saya tidak bisa percaya seratus
persen pada cerita tersebut, namun saya menganggap cerita-cerita itu sebagai
peringatan agar saya tidak berbuat hal-hal yang salah di tempat mereka. Saya
juga tidak boleh berucap yang dapat menyakiti hati warga kampung atau bertindak
yang dilarang oleh mereka atau jalan-jalan tanpa ditemani salah satu warga kampung
yang lebih paham seluk-beluk kampung tersebut.
Pukul
sepuluh kurang beberapa detik, setelah mengobrol panjang lebar bersama Mamak,
Mamak Weni dan Vega di teras rumah, akhirnya Mamak Weni pulang dengan membawa
anak-anaknya pulang. Oh ternyata tujuan awal Mamak Weni ke rumah kami adalah
untuk menjemput Akuang dan Asiung, tetapi malah mengobrol dengan kami sampai
hampir satu jam lamanya.
Pukul
sepuluh lewat lima menit, setelah saya dan Vega bersiap tidur, listrik
dipadamkan. Kami tidur ditemani satu pelita kecil yang berbahan bakar minyak
tanah.
AWAL PETUALANGAN
AWAL PETUALANGAN
Senin, 8 July 2013
Pagi ini pukul enam lebih lima belas menit
saya dan Vega
(kemudian saya sebut Ve), baru saja bangun tidur. Saya sedikit kaget ketika
melihat Bang Jo sudah tidur tengkurap tak jauh dari pembaringan kami.
Semalam kami tidur di ruang tengah yang berlantaikan keramik. Saya dan Ve tidur di dalam
“kantong tidur kepompong” atau sleeping
bag kami masing-masing, sementara Bang Jo
tidur tengkurap tak beralas. Ruang tengah keluarga Pak Sugimon
berisikan seperangkat peralatan penghibur ruangan. Di sudut depan-kiri ruangan terdapat
meja agak tinggi yang diatasnya
terdapat satu televisi
merk Sharp berukuran 16 inc,
dua buah speaker berukuran sedang yang sepertinya sudah tidak dipergunakan lagi
karena rusak. Di bagian samping meja tv
terdapat satu speaker berukuran cukup besar berwarna
hitam yang digunakan untuk
memperjelas suara televisi karena audio dari tv tidak terdengar jelas. Pada bagian bawah rak meja tv terdapat
dua set VCD yang masih tampak baru. Tepat disebelah meja tv itu terdapat sebuah
fentilasi. Di fentilasi
tersebut ada satu
stop kontak dengan lima lubang colokan. Di salah satu pojok ruang ditempatkan satu meja kayu yang agak
kusam disertai dua buah kursi plastik berwarna merah keabu-abuan karena sudah lama. Kami tidur di
tengah-tengah ruangan tersebut, di
antara meja televisi dan meja kayu tadi menggunakan dua lembar matras berwarna orange dan abu-abu muda dan sleeping
bag yang kami bawa dari Jogja. Pukul enam lewat sepuluh menit, saya dan
Vega terbangun, kemudian kami merapihkan perlengkapan
tidur kami. Setelah rapi, kami beranjak
menuju ruang makan yang
bersebelahan langsung dengan dapur.
Di rumah yang kami tempati ini memiliki dua ruang
dapur, satu dapur milik Mamak dan satu dapur lagi milik ibu mertua mamak
(ibunya bapak). Saat itu, mamak yang sedang
memasak nasi menyediakan kami teh manis. Vega
yang ternyata membawa satu kotak coklat serbuk dari Jogja meracik coklat tersebut
menjadi beberapa gelas coklat hangat yang lezat di pagi hari. Vega membagikan
coklat hangat tersebut kepada Mamak, saya, Bang Jo dan adik-adik. saya
membaginya kepada anak-anak mamak dan keluarga. Kami menikmati pagi dengan
secangkir teh dan cokelat hangat sambil
berbincang dengan Mamak,
Bungsu dan Nenek
(mertua Mamak).
Setelah
santai sejenak di pagi hari,
kami pergi ke sungai
Melawi untuk menyegarkan tubuh. Kami mandi dan
mencuci di Sungai Melawi.
Beberapa warga terlihat melakukan hal yang sama dengan
kami pagi itu. Sebenarnya di dalam benak saya, saya merasa sedih karena sungai
yang jernih ini dijadikan tempat mandi dan mencuci warga. Saya khawatir dengan
keadaan tersebut. Jika manusia terus-menerus menggunakan detergen (pasta gigi,
sabun mandi, sabun cuci) dan buang air besar di sungai, maka bukan tidak
mungkin suatu saat nanti sungai Melawi akan tercemar dan manusia akan
kehilangan sumber air bersih.
Setelah mandi dan mencuci, kami kembali ke rumah dan
menjemur pakaian di tiang jemuran yang berada di sebelah kiri rumah. Begitu
selesai menjemur dan mengganti pakaian, saya mengajak Bungsu dan Vega pergi
beli celana pendek untuk dipakai di rumah. Bungsu sebagai guide kami di Landau selalu mau menemani kami pergi kemana saja. Ia
mengarahkan saya beli celana pendek ke Tanjung Iman. Di Tanjung Iman terdapat
satu toko kelontong milik warga keturunan Cina Pontianak (biasa disebut Cina
Ponti) yang menjual bermacam dagangan, seperti bahan-bahan makanan hingga
pakaian . Pemilik toko tersebut biasa dipanggil Mamak Mey. Di toko tersebut
saya membeli satu celana kain agak tipis seharga Rp 45.000,- setelah ditawar
dari harga awal Rp 55.000,-. Mamak Mey menyuruh saya untuk maklum dengan harga
barang yang lumayan mahal di daerah itu karena pedagang mengambil barang dari
tempat yang jauh, yaitu dari Meliau, Sanggau atau juga dari Pontianak. Menurut
Bungsu, warung Mamak Mey akan ramai pada tanggal-tanggal muda ketika orang
kampung sedang gajian. Selain itu, barang yang dijual di toko Mamak Mey
bagus-bagus.
Setelah beli celana di toko Mamak Mey, saya mengajak
Bungsu dan Ve mencari sinyal handphone karena
saya ingin mengabari keadaan saya kepada orang tua. Bungsu membawa kami menuju
bukit yang letaknya tak jauh dari jalan besar di Tanjung Iman. Sekitar pukul
delapan lewat lima puluh satu menit, hp saya
menangkap sinyal dari salah satu operator, kemudian saya langsung menelepon
ayah. Ternyata ayah saya sedang di rawat di salah satu rumah sakit swasta di
Yogyakarta. Pada tanggal tujuh kemarin kaki ayah sudah dibedah karena sewaktu
masuk hutan di Putussibau beberapa waktu lalu, kaki ayah digigit lintah.
Barangkali lintah yang menggigit kaki ayah adalah lintah beracun sehingga
menyebabkan bagian kaki yang digigit lintah tersebut melepuh dan bengkak. Pada
waktu menelepon ayah itu, Mama sedang menghadiri pertemuan orang tua siswa baru
di Sekolah Menengah Musik (SMM) di Bantul. Puji syukur, adik saya lolos seleksi
masuk SMM bidang seni suara (vocal).
Usai menelepon ayah, saya, Bungsu dan Ve kembali ke
rumah. Sesampainya di rumah, Mamak sudah memasakkan kami ikan asin, ikan sungai
goreng, oseng-oseng sayur daun cangkok, dan sambal cabe ulek ditambah lagi ada
kering tempe dan kentang masakan Mama Ve yang dibawa dari Jogja. Makan pagi
kami lakukan pada pukul setengah sepuluh pagi menjelang siang.
Sehabis makan, datang bapak-bapak dan pemuda kampung
untuk mengajak Bang Jo minum lotub atau
me-lotub. Lotub merupakan sebutan untuk kegiatan minum-minuman beralkohol
sejenis arak, tuak dan tajuk. Seorang
bapak berperawakan sangat kurus dan tidak memakai baju bernama Pak Alui,
seorang bapak lagi bertubuh gemuk dan berperut agak buncit saya tidak tahu
namanya dan seorang pemuda yang bertubuh kurus bernama Alex (Bang Alex) duduk
berkumpul di tepi pintu ruang makan. Bang Jo mendatangi mereka dan mengobrol
entah apa. Saya memilih pergi ke depan dan bermain dengan anak-anak, begitupun
Ve dan Mamak. Kami bermain di ruang tamu yang sekaligus berfungsi sebagai ruang
keluarga.
Tiba-tiba Ve ingin ke belakang dan ingin mencoba melotub (meminum minuman beralkohol
seperti arak, tuak atau taju’). Ia
pergi ke belakang. Saya masih tetap di ruang tamu bersama anak-anak, Mamak,
Mamak Rangga yang sedang mengandung usia sembilan bulan dan Mamak Weni. Tak
lama kemudian (sekitar sepuluh menit kemudian) Ve datang menemui kami. Ia
mengaku sudah mencicipi arak. Berselang lima belas menit kedatangan Ve, Nenek
(mertua Mamak) datang ke ruang tamu bergabung dengan kami. Nenek selalu
memabawa rokok racikannya sendiri. Rokok nenek dibuat hanya dengan menggunakan
serbuk kasar daun tembakau yang dilinting menggunakan kertas putih. Setelah
dilinting, kemudian ujung lintingan yang agak lebar di bakar menggunakan korek
mancis, sementara ujung lintingan yang lebih kecil diselipkan di bibir untuk
menghisap rokok tersebut.
Banyak hal yang kami bicarakan, diselingi dengan canda
dan tawa. Nenek terus mentertawakan Ve karena ia telah berani mencicipi arak.
Tanpa sengaja saya bertanya pada Ve,
“Ve, arak tadi gimana rasanya? (sambil tertawa-tawa)”
“penasaran ya? Enak kok, lu cobain aja” jawab Ve sambil
tertawa juga.
Mendengar itu Nenek langsung menawarkan saya mencicipi
arak juga.
“Mau coba? Sikit jak gakpapa” kata Nenek
Kemudian Mamak Weni menyambung, “arak tuh kalo’ kau
minum sedikit gakpapa, malah jadi obat. Bikin badan pegal-pegal tuh jadi ringan.
Khasiatnya macam obat tuh bah. Nah kalau kau minum tuak tuh bikin pusing, kalo’
di bawa mandi makinnya kerasa pusing bah”.
Tanpa ba-bi-bu Nenek langsung pergi ke belakang
mengambil secawan (segelas kecil) penuh air arak. Warnanya seperti teh,
aromanya seperti aroma tape, namun lebih tajam lagi. Arak terbuat dari tape
ketan yang difermentasikan dalam waktu lama sehingga mengeluarkan cairan
beralkohol. Saya meminum seteguk arak dari cawan tersebut dan langsung
menelannya. Saat itu saya ingin muntah. Bibir terasa panas dan kering,
tenggorokan hangat, perut saya juga terasa hangat. Mulut saya tidak karuan
baunya. Kemudian saya minum dua gelas air putih dan kumur-kumur. Nenek tertawa
melihat wajah saya yang sedang kesusahan menahan rasa ingin muntah.
Jam dua belas, tengah hari. Bungsu mengajak saya dan
Ve pergi ke Sungai Melawi untuk mandi. Ve mengiyakan, namun saya berpikir ulang
untuk mandi siang bolong, khawatir badan saya meriang dan kepala jadi pusing.
Ibu-ibu juga sebenarnya melarang mandi siang bolong, tetapi mereka tetap pergi
mandi. Sementara mereka pergi, saya mengobrol macam hal dengan ibu-ibu sambil
tiduran di lantai hingga Ve dan Bungsu selesai mandi.
Pukul satu kurang lima belas menit, Ve dan Bungsu baru
pulang mandi. Tiba-tiba datang abang tetangga di sebelah kanan rumah Mamak
mengabarkan kondisi Bang Jo yang sedang teler dan tertidur di rumahnya. Kami
pergi ke sebelah rumah untuk melihat Bang Jo. Sesampainya di rumah tetangga
tersebut, saya dan Ve tertawa melihat Bang Jo yang sedang pulas, kemudian kami
kembali ke rumah.
Siang hari sekitar pukul setengah dua, anak-anak
kampung mengajak kami mencari ikan di sungai. Kami pergi mencari ikan di
sepanjang sungai Melawi. Saya tidak mampu menangkap ikan atau udang, begitupun
dengan Ve. Bungsu dan anak-anak kampung Landau sangat pandai menangkap udang
dan ikan. Hasil tangkapan kami lumayan banyak. Dapat setengah kantong plastik
bening ikan dan udang sungai yang entah apa jenisnya. Ikannya bermacam-macam.
Ada ikan yang tubuhnya mirip ular, ada juga ikan yang mirip ikan sidat, dan
sebagainya lah.
Pukul tiga sore kami kembali ke rumah dan menyerahkan
hasil berburu kami tadi kepada Mamak. Ve dan Bungsu menyiangi sisik ikan. Saya
cukup menontonnya saja karena tidak mau ikan itu rusak karena saya yang tidak
benar menyiangi sisiknya. Setelah selesai disiangi sisiknya dan dibersihkan isi
perutnya, ikan-ikan tadi di cuci, kemudian Mamak membuat bumbu masaknya. Mamak
mengiris bawang merah, bawang putih, batang serei, daun salam kering, dan yang
terakhir adalah sambal tempoyak.
Sambal tempoyak Mamak sudah lama
tersimpan dan baru sekarang di olah. Mamak ingin menunjukkan kepada kami cara
mengolah sambal tempoyak menjadi makanan
yang lezat bagi Mamak dan keluarga.
Saya tidak mau makan tempoyak karena aromanya sangat tajam. Saya suka durian, tetapi
tidak yang sudah di fermentasi sekian lama, apalagi dicampur dengan ikan. Mamak
menyajikan semua masakannya kepada kami di atas meja makan kayu. Saya makan
oseng-oseng sayur cangkok dan ikan asin serta sambal cabe tumbuk. Saya, Mamak,
Pinsen, Joni dan Bungsu makan bersama-sama dengan lahap. Kami tak ubahnya
seperti keluarga yang bahagia dan harmonis.
Setelah makan, saya, Ve dan Bungsu mencuci piring di
belakang rumah bersama-sama, kemudian kami mandi sore. Anak-anak di kampung ini
sudah biasa mandi hingga tiga kali sehari, atau mandi kapanpun mereka mau.
Saya mencari-cari anak gadis di kampung ini. Hampir
tak satu pun anak gadis yang melintas di depan mataku selain Jum, anak Pak RT.
Lalu saya bertanya kepada Bang Alex,
“Bang, anak-anak gadis kok gak keliatan ya disini,
pada kemana ya?” tanya saya penasaran
“ahh… sudah habis” jawab bang Alex
“maksudnya kek mana, Bang?”
“ya sudah habis. Sudah di bawa lakinya masing-masing
lah” jawab Bang Alex lagi dengan wajah yang seperti menyayangkan keadaan.
“ehhh, udah pada nikah ya Bang… jadi gadis-gadisnya
sudah pada keluar kampung”
“iya tuh. Masih kecil-kecil udah pada nikah. Biasa
disini”
Oh, ternyata para remaja perempuan di Landau sudah
pada pindah ke daerah lain mengikuti suaminya masing-masing. Adapun beberapa
dari mereka yang belum menikah, cenderung pemalu dan kurang mau bergaul dengan
pendatang baru seperti kami.
Usai
mandi, saya dan Ve kembali ke rumah. Kami berkumpul bersama para tetangga di
ruang tamu keluarga Pak Gimon hingga maghrib menjelang. Selesai sholat maghrib,
saya keluar kamar dan menemui anak-anak yang sedang menonton televisi di ruang
tamu. Tetangga yang ingin menonton televisi atau sekedar mengobrol dengan
tetangga-tetangga lainnya acapkali berkumpul di rumah yang kami tempati ini.
Saya pikir lokasi rumah keluarha Pak Gimon ini berada pada posisi yang
strategis dan rumahnya pun nyaman, oleh sebab itu, tetangga senang bertandang
di rumah ini.
Saya bercengkrama dengan anak-anak
kecil dan mencoba mengakrabkan diri dengan mereka. Saya membuka laptop saya,
anak-anak mendekat kepada saya. Mereka meminta saya menyalakan film anak-anak.
Mereka menonton film Thailand yang berjudul “Cool Gel Attack” di laptop saya.
Ve dan Bang Jo menghilang.
“Mak,
Vega dan Bang Jo kemana ya?” tanya saya kepada mamak yang sedang menonton
televisi
“Mereka
pergi ke rumah sebelah tuh, diajak minum sama sida’ tu ” jawab Mamak
sambil menonton tayangan televisi
Saya pergi menyusul Vega dan Bang Jo
ke rumah tetangga sebelah kanan rumah. Di rumah tersebut saya bertemu dengan
seorang ibu muda yang sedang mengipas-ngipas anak balitanya dengan kain untuk
menghalau nyamuk. Di lorong dalam rumah, saya melihat sekelompok bapak-bapak
dan pemuda yang berjumlah enam orang ditambah Bang Jo dan Vega tengah duduk
bersama sambil berbincang-bincang. Mereka duduk membentuk lingkar oval,
ditengah-tengah mereka terdapat jerigen-jerigen (ken sebut orang kampung) dan botol-botol seukuran botol cola besar yang berisi air arak.
Kedatangan
saya disambut dengan sangat ramah oleh bapak-bapak dan pemuda yang sedang duduk
di sana. Mereka berbicara banyak tentang hal-hal konyol yang menggelitik perut
saya, kemudian kami tertawa bersamaan. Ada seorang bapak yang berperawakan
sangat kurus, jika ia sedang dalam keadaan setengah sadar, ia akan sangat
lancar bicaranya. Beliau bernama Pak Alui “Orang Baik”. Setiap kali ia
bercerita, ia selalu bercerita hal yang sama, berulang-ulang.
“Seluruh
desa sudah tahu, saya ini Pak Alui orang baik. Tanya saja, mereka pasti bilang,
Oh… Pak Alui orang baik” ujarnya dalam setiap mengawali cerita.
Pak Alui sebenarnya bukan penduduk
dusun Landau, melainkan orang dari Kualan. Ia selalu mengajari kami bahasa
Kualan yang katanya terdengan seperti bahasa Jepang karena banyak menggunakan
huruf “o”. Tidak banyak yang kami perbincangkan malam ini.
Pukul sembilan kurang sepuluh menit, Joni datang menemui kami dan mengajak kami pulang karena lampu akan segera dipadamkan.
Pukul sembilan kurang sepuluh menit, Joni datang menemui kami dan mengajak kami pulang karena lampu akan segera dipadamkan.
“Kakak,
Mamak nyuruh pulang, lampu nak padam jam sembilan” ujar Joni.
Saya
dan Vega segera pamit pulang, tetapi Bang Jo tetap tinggal di rumah tersebut
untuk ikut minum-minum bersama dan mengambil informasi dari percakapan dalam
setengah sadar tentunya.
Tak
lama setelah kami pulang, cuci muka, buang air kecil dan meringkuk dalam sleeping bag, lampu dipadamkan. Mamak
menyalakan pelita yang terbuat dari botol M150 (salah satu produk minuman
penambah energi) yang pada tutup botolnya dibolongi kemudian disumbatkan sumbu
dan kemudian diisi minyak tanah. Tak lama setelah itu, saya dan Vega terlelap
dalam tidur yang nyenyak.
Selasa,
9 July 2013
Hari
ini saya bangun pagi pada pukul setengah enam dan langsung menuju dapur untuk
membasuh wajah saya yang kucel. Setelah membasuh wajah, saya membersihkan
tempat saya tidur dan melipat sleeping
bag. Vega masih tampak lelap, saya membiarkan ia tidur karena tidak berani
mengganggunya, mungkin dia capek. Saya pergi ke dapur, mengambil sapu dan
menyapu seluruh ruangan yang ada di rumah, kecuali tempat kami tidur karena
Vega masih tidur. Setelah menyapu, saya mengepel ruang tamu dan teras rumah
yang basah akibat hujan deras tadi malam.
Pukul setengah tujuh Vega bangun
dari tidurnya, sementara Bang Jo masih terlelap di atas tempat tidur kapuk yang
dulu ditempati Ko Rudy. Saya dan Vega bersama-sama mendatangi Mamak yang sedang
masak. Pagi itu Mamak memasak daging celeng yang dibeli bapak kemarin seharga
Rp 60.000,- per satu kilogram. Mamak menawari daging celeng tersebut kepada
kami dengan rasa sungkan. Saya pikir itu hanya basa-basi yang jelas saya
menolaknya (dengan halus).
Kami duduk-duduk dan mengobrol di
dapur sambil menemani Mamak masak gulai celeng. Pinsen meminta kami untuk segera
memasak spaghetti yang di bawa Vega
dari Jogja. Akhirnya Vega memasak spaghetti
tersebut untuk kami semua. Bang Jo baru bangun tidur langsung mendatangi
kami di dapur.
Saya memperhatikan Joni yang sedari
tadi merakit alat tombakan ikan tradisional di teras samping rumah dan saya
membuat video aktivitasnya tersebut. Tak berapa lama setelah Joni selesai
merakit tembakannya, spaghetti telah
masak dan dihidangkan ke dalam piring-piring plastik. Mamak sangat senang
melihat kami rajin ke dapur dan ikut memasak. Pinsen suka makan spaghetti, ia tampak sangat bersemangat.
Pinsen belum tahu cara yang benar ketika menyantap spaghetti, ia mengambil satu persatu spaghetti dengan tangan, namun Bang Jo segera mengajarinya cara
yang benar dan Pinsen tertantang untuk melakukanhal tersebut dengan benar.
Setelah makan spaghetti, Mamak pergi ke dapur dan mengeluarkan pisang satu kipas
lebih sedikit. Saya menawarkan diri untuk mengolah pisang tersebut menjadi
pisang goreng. Bang Jo dengan inisiatif membeli satu kaleng susu coklat kental
manis untuk dimakan bersamaan pisang goreng yang akan saya masak. Saya mengupasi
kulit pisang dan memotong-motong pisang menjadi dua sampai tiga bagian. Saya
membuat adonan dari tepung terigu yang dicampur air dan ditambahkan garam
secukupnya sembari menunggu minyak goreng menjadi panas. Setelah minyak goreng
dirasa cukup panas, saya mencemplungkan pisang-pisang yang sudah dibalur adonan
tepung. Saya sibuk memasak pisang goreng, sementara itu Vega dan Bang Jo diajak
anak-anak kampung menonton film “Cool Gel Attack” lagi dari laptop saya.
Saat sedang asik memasak pisang
goreng, Pak Alui, Bapak dan rombongannya (Bang Alex, Pak Gendut, Abang
tetangga) datang ke ruang makan kami dan melihat saya masak. Saya menyuguhkan
mereka sepiring pisang goreng hangat yang sudah saya tiriskan. Awalnya mereka
mengata-ngatai masakan saya, tetapi ketika saya melihat piring yang tadi saya
berikan, ternyata sudah kosong. Rombongan bapak-bapak tadi duduk di ruang makan
kami sambil berbagi cerita, minum-minum dan merokok.
Sekitar pukul sebelas siang, saya
pergi ke sungai untuk mandi dengan ditemani Bungsu. Bungsu mengajakku untuk
ikut pergi menyebrang ke kampung tetangga, Suak Mansi. Awalnya saya menolak
karena saya pikir itu merupakan perjalanan jauh yang melelahkan, namun dengan
sedikit pakasaan Bungsu terus mengajak saya dan saya iyakan saja.
Vega baru saja pulang dari hutan
menemani Mamak Rangga mencari rebung. Mamak Rangga yang tengah mengandung
Sembilan bulan kurang masih sangat kuat berjalan jauh, mencari bahan makanan di
hutan. Belum sempat Vega mandi, datanglah Mamak Weny dan Bungsu mengajak kami
segera berangkat ke kampung Suak Mansi. Saat itu kami berangkat pukul satu
siang kurang beberapa menit. Saya, Vega, Bang Jo, Mamak Weny, Bungsu, Akuang,
Asiung, berjalan beriringan menembus hutan dan ladang, juga menyebrangi sungai
Melawi dan masuk-keluar semak belukar
hingga beberapa kali. Saat mendekati desa Suak mansi, di dalam hutan kami
berpas-pasan dengan rombongan dari desa lain. Rombongan tersebut berada di dalam
hutan di seberang sungai. Saya tak mampu melihat mereka. Tiba tiba saja
anak-anak yang berjalan bersama rombongan saya tadi membunyikan suara seperti
suara orang utan atau burung, ah entahlah, “Uuuuukkkkk…...Uuuuuukkkk….”,
“Ooooooiiiiiikkkkk…..Ooooooiiiiikkkk…..” bersahutan berkali-kali. Ternyata
bunyi-bunyian ini merupakan sebuah tanda bahwa kami sedang menyapa mereka dan
kemudian mereka akan membalas sapaan kami tersebut dengan cara yang sama. Cara
komunikasi dan bersosialisasi di dalam hutan meski dalam jarak yang jauh. Satu
setengah jam kemudian sampailah kami di tepi desa Suak Mansi. Kami bertemu
dengan serombongan ibu-ibu yang kami sapa di dalam hutan tadi. Rombongan
ibu-ibu tersebut datang ke kampung Suak Mansi dengan tujuan yang sama, yaitu
melihat keramaian dan menonton pertandingan bola.
Selama perjalanan ke Suak Mansi,
saya sangat kehausan, jadi ketika melihat ada warung yang menjual aneka minuman
bungkus, saya langsung menyerbunya dan memesan satu bungkus es. Setelah lepas
dari dahaga, saya melanjutkan perjalanan menuju lapangan sepak bola yang berada
di seberang sungai Melawi. Dari kejauhan saya melihat Mbak Niah sedang
duduk-duduk di teras sebuah rumah bertingkat. Saya bergegas mendatangi mbak
Niah dengan sumringah. Di teras rumah yang membuka warung kecil-kecilan
tersebut saya duduk dan bercerita banyak tentang pengalaman baru saya di
Landau. Mbak Niah mengenalkan saya kepada seorang bapak dan ibu berwajah Jaawa
yang ternyata benar orang keturunan Jawa bernama Pak Sutarmin (atau biasa
dipanggil Pak Tulo) dan Bu Sugiharti.
Mbak
Niah menceritakan keluh kesah saya kepada kedua orang tua barunya ini. Mbak
Niah mendadak mengajak saya untuk pindah ke kampung Suak Mansi dan tiggal
bersamanya. Setali tiga uang, hal yang sama pun diutarakan Pak Tulo. Beliau
meminta saya untuk tinggal di rumahnya saja sambil menemani Mbak Niah dan berpuasa
bersama-sama. Saat itu saya tidak langsung mengiyakan penawaran Bapak. Saya
masih berpikir ulang, bagaimana cara saya pindah dari kampung Landau, bagaimana
perizinan dengan Pak Gimon dan keluarga, bagaimana dengan tema riset yang saya
ambil. Saya sangat kebingungan. Akhirnya saya
memutuskan untuk membicarakan hal ini dengan Mbak Niah dan mas Ardan
terlebih dahulu.
Saya
pergi ke seberang untuk menonton pertandingan bola. Ternyata di lapangan
seberang tidak hanya ada pertandingan bola, tetapi sudah seperti pasar pindah
atau pasar dadakan. Ada sederetan warung-warung tenda biru yang menjual aneka
makanan dan jajanan serta berbagai jenis minum-minuman, mulai dari yang soft hingga yang keras (minuman keras).
Di
seberang, saya memasuki suatu tempat yang letaknya terpisah dari deretan
warung-warung, ia tepat berada di dekat gawang lapangan sepak bola. Tempat itu
dinaungi oleh tenda terpal berwarna biru. Rangka bangunan dibuat menggunakan
kayu yang masih bulat-bulat. Sebagai tempat duduk dan mejanya, dibuat dari bilah-bilah
papan kayu dan disusun rapi. Ketika saya memasuki tempat itu, saya langsung
tertarik duduk di atas meja di belakang seorang pria berambut gondrong yang
awalnya saya kira seorang wanita. Saya
duduk di sebelah sederetan gambar-gambar yang menarik perhatian saya. Saya
hanya diam mengamati. Ketika mengeluarkan kamera, orang-orang memelototi saya.
Ada seorang pemuda ber-singlet dan
menggenggam uang sepuluh ribuan di tangannya yang menegur saya dengan suara
agak besar, “jangan poto kame’! Nanti datang polisi”. Lantas saya langsung
membalas pernyataan dari abang tadi, “saya cuma pengen poto buat
kenang-kenangan kok Bang, gak akan saya laporkan ke polisi”. Abang ber-singlet tadi terus ngotot sambil melihat
tajam ke arah saya dan berkata, “nanti kau poto, kau bawa ke Jawa keh? Nak
liatin orang Jawa kalo kame’ neh main kolok-kolok.
Macam-macam jak hei”. Pengunjung tempat it uterus memperhatikan gerak-gerik
saya.
“Abang
percaya jak, saya gak akan melaporkan abang-abang ini main. Foto-foto Cuma jadi
kenang-kenangan saya di kampung sini bang. Gakpapa ya saya foto?” ujarku
meyakinkan dan meminta izin mengambil gambar. Kemudian seorang pria yang
kerjanya hanya menggulingkan dadu-dadu yang berada dalam ember menyahut
saya, “iya poto jak, gakpapa mah”. Saya
berterima kasih kepada bapak tadi, yang kemudian saya ketahui bernama Waluyo,
seorang bandar kolok-kolok dari
kampung Melawi. Saya langsung mengambil beberapa foto secara cepat dan membuat
rekaman video tanpa mereka ketahui.
Saya memfokuskan arah rekaman video yang
saya buat kepada anak-anak yang tengah asik bermain.
Di
lingkungan sekitar meja kolok-kolok memang
sangat mudah ditemukan anak-anak, mulai dari anak balita, anak usia sekolah SD
hingga anak remaja. Saya menaksir umur mereka mulai dari 4 hingga 16 tahun.
Saya tertarik dengan seorang anak perempuan yang berada di arah 45 derajat dari
arah saya duduk. Ia sedang memegang uang seribuan sebanyak tujuh lembar. Setiap
kali dadu dalam ember selesai digoncang, ia melipat uang seribuannya melintang
di beberapa gambar. Kali itu ia memasang tiga ribu rupiah di atas kombinasi
enam gambar. Saat ember dibuka, semua uang yang diletakkan pada beberapa gambar
yang meleset atau tidak keluar, ditarik dan di letakkan ke samping bandar.
Sementara anak perempuan yang saya amati tadi, hanya satu saja tebakannya yang
meleset. Dari uang dua ribu rupiah, ia mendapatkan kelipatan sebanyak sepuluh
ribu rupiah. Itu artinya, dalam permainan judi ini, jika memasang kombinasi dua
gambar akan mendapatkan keuntungan 500 persen dari nilai uang yang ia taruhkan.
Ketika anak perempuan tersebut mendapatkan uangnya, seorang ibu yang saya
pastikan adalah ibu dari anak tersebut meminta sebagian uang si anak. Sang ibu
telah kehabisan uangnya karena ia kalah terus. Anak perempuan cantik tersebut
bernama Anjela. Ia bermain kolok-kolok didampingi
ayah dan ibunya. Anjela dapat bermain dengan baik, karena uangnya terus
bertambah meskipun tak jarang, bandar mengambil uangnya karena salah menebak.
Sementara itu, kedua orang Anjela selalu kehabisan uang mereka karena salah
terus dalam menebak gambar apa yang keluar.
Sekumpulan orang yang sedang bermain kolok-kolok |
Saya
melihat permainan judi kolok-kolok ini
merupakan permainan judi yang lumayan sederhana, oleh sebab itu, tidak
dipungkiri bahwa anak-anak pun sangat memungkinkan ikut berpartisipasi. Saat
itu saya belum berpikir banyak tentang permainan judi ini. Saya melihat-lihat
ke sekeliling lapangan bola, ah… banyak sekali anak-anak babi, ada babi besar
juga dan anjing-anjing besar dan tinggi seperti seekor serigala. Agak menyeramkan
bagi mereka yang takut pada hewan-hewan tersebut, untungnya saya berani. Saya
melihat salah satu rekan saya yang bernama Afro. Ia sedang berdiri di dekat
panggung hiburan. Saya mendatanginya dan berbincang dengannya. Tiba-tiba saja,
tak berapa lama berbincang dengan Afro, tiga orang anak perempuan mendatangi
saya dan mengajak saya berkenalan,
“hai
kakak” kata salah satu anak yang memakai baju pink menyapa saya
“hai
adek (nyengir kuda)” balasku ramah
“kakak,
nama kakak siape keh? Kame’ nih dari tadi tengok kakak nak kenalan bah kak”
katanya lagi dengan wajah polos
“oalah,
iya boleh-boleh. Nama kakak, Izza. Nama kamu siapa dek?”
“aku
memey” kata anak berbaju pink tadi
“kalau
kamu siapa dek?” tanyaku sambil membelai kepala anak perempuan berbaju merah
“aku
Susan, kak” jawabnya sambil senyum-senyum sendiri
“kalo
kamu siapa dek?” tanyaku pada seorang anak perempuan berbaju kuning
“aku
Devi” jawabnya malu-malu
“Kak,
kalo abang yang rambutnya besar itu siape keh namanya?” Tanya Memey penasaran
“ahh…
itu teman kakak, namanya Bang Afro. Kenape? Kau suka keh sama rambutnya?”
tanyaku menggoda adik-adik tadi
“rambutnya
aneh kak, lucu. Asli keh?” Tanya Memey lagi
“mau
kau pegangnye?” tanyaku iseng
“mau
.. mau… mau” jawab mereka bertiga serempak
“sebentar
ya, kakak bilang ke Bang Afro dulu”
Aku
mendatangi Afro, meminta izin supaya anak-anak bisa memegang rambutnya. Wajah
Afro langsung berubah, sepertinya ia tidak mau. Tetapi, anak-anak tidak
kehabisan akal. Saat itu Afro sedang jongkonk, anak-anak langsung saja memegang-megang
rambutnya dan berkata “kame’ dah megang rambutnya abang, kak”. Tampak suatu
keceriaan dari wajah mereka setelah memegang rambut Afro. Ah… dasar anak-anak,
ada-ada saja tingkahnya yang mengundang tawa.
Memey menggelayuti tangan kiriku. Ia
seperti manja kepadaku, padahal kami baru saja bertemu dan berkenalan. Saya
melihat ada seorang penjual sosis bakar di dekat tempat kolok-kolok. Saya berinisiatif membelikan anak-anak itu sosis
bakar. Satu tusuk sosis bakar dihargai dua ribu rupiah. Mereka sangat senang
dan menyantap sosis tersebut dengan lahapnya.
Pukul lima sore, saya mengajak
anak-anak mengantarkan saya menyebrangi sungai untuk pulang. Mereka menemani
saya menyebrang sungai dan mengantar saya ke rumah Pak Tulo, bapaknya Mbak
Niah. Sesampainya di depan rumah, saya melihat Pak Tulo dan Pak Gimon sedang
berbincang. Ternyata mereka saling kenal dan akrab. Tiba-tiba saja, Pak Tulo
menawarkan saya kembali untuk menginap di rumahnya saja. Pak Tulo bilang ia
telah meminta saya kepada Pak Gimon. Saya masih berpikir ulang. Anak-anak kecil
tadi mendorong saya untuk pindah saja ke Suak Mansi. Namun, ada rasa takut dan
tidak enak yang melanda hati dan pikiran saya. Saya takut tema riset saya
melenceng. Saya takut apa yang saya cari tidak saya temukan. Saya tidak enak
hati juga dengan keluarga Pak Gimon atas kepindahan saya yang begitu mendadak.
Disisi lain, saya juga sudah merasa sayang dan menganggap mamak di Landau itu
seperti mamak saya sendiri. Saya sayang dengan mamak Enes. Besok sudah memasuki
hari puasa pertama. Saya bingung siapa yang akan memasakkan saya makanan untuk
sahur. Saya juga tidak enak hati dengan masyarakat Landau atas kepindahan saya
yang mendadak ini, nantinya.
Pak Tulo terus meyakinkan saya bahwa
tidak akan terjadi apa-apa kalau saya pindah. Bapak Tulo juga meyakinkan saya
bahwa ia yang menginginkan saya berada disana, masuk dan tinggal bersama
keluarganya. Mbak Niah pun mengajak saya untuk pindah. Akhirnya, setelah
berkutat dengan pertempuran batin selama kurang lebih setengah jam, saya
memutuskan untuk pindah ke Suak Mansi sore itu. Dengan perasaan yang senang
sekaligus sedih, saya dibonceng Pak Tulo menembus hutan sawit dan karet menuju
Landau.
Sesampainya
di rumah, saya bertemu Mamak Enes, saya meminta izin kepada mamak untuk merelakan
saya pindah kampung. Mamak bingung dengan kepindahan saya yang mendadak. Ya,
saya mengerti itu. Saya pun merasa tak enak hati. Namun, keputusan sudah saya
ambil dan jalani.
Saya
membenahi seluruh barang bawaan saya. Saya meninggalkan tiga bungkus kopi dan
satu kalender cetakan Jurusan Antroplog Budaya UGM kepada mamak untuk dibagikan ke siapa saja yang mau. Sebelum
berangkat, mamak menyuruh saya makan terlebih dahulu. Saya menyantap sayur
cangkok, ikan asin dan sambal mamak dengan lahap bersama Pinsen. Setelah itu,
saya membawa barang-barang keluar rumah. Di depan rumah, ibu-ibu dan anak-anak
sudah berkumpul untuk melihat saya. Saya memeluk dan mencium mamak
berkali-kali. Saya dan mamak menangis. Entah mengapa saat itu ada rasa tidak
rela berpisah dengan keluarga Dayak yang sangat baik hati dan penuh kasih
sayang. Mamak Enes merupakan sosok yang membuat saya nyaman tinggal di rumah
mereka. Sorot mata mamak menyiratkan keikhlasan. Namun aku pergi ke kampung
lain dengan segudang harapan. Harapan akan menjalankan ibadah puasa dengan baik.
Harapan agar bisa sahur dan berbuka bersama-sama. Harapan agar saya dapat
menyelesaikan tugas saya dengan sangat baik.
Pak
Tulo masuk ke rumah Pak Gimon. Di atas meja sudut ruang tamu, serah-terima
dilakukan. Bapak meminta saya tinggal di rumahnya, kemudian pak Gimon
menyerahkan saya tinggal di rumah Pak Tulo. Pada akhirnya Bapak menerima
tanggung jawab untuk menjaga saya dan menampung saya di rumahnya. Selesai serah
terima, saya mencium tangan Pak Gimon. Saya memeluk dan mencium pipi mamak
untuk terakhir kalinya. Saya mencium nenek, Pinsen dan Joni sebagai salam
perpisahan.
Malam
pertama di Suak Mansi, saya langsung ikut shalat tarawih berjamaah di mushola.
Setelah shalat tarawih, tiba-tiba saja ibu-ibu jemaah shalat berhamburan keluar
menuju rumah yang ada di samping kiri mushola. Tak lama kemudian, rombongan
ibu-ibu yang keluar tadi kembali masuk mushola dengan membawa nampan yang terbuat dari aluminium tebal dan lebar berisi makanan. Ada ayam utuh yang sudah direbus atau di-ungkep, kue apem, nasi dalam
bakul yang terbuat dari anyaman rotan, iwak peyek, tempe goreng, opor, kerupuk, bihun goreng dan kue-kue basah. Semua bekerja sangat cepat, saya secara reflek ikut berlari menuju rumah yang kemudian saya ketahui merupakan milik keluarga pak imam mushola. Saya pun turut mengangkut nampan berisi nasi dan kedua kalinya saya membawa termos air putih berukuran sedang dan lumayan berat.
Ketika semua jemaah telah berkumpul dan duduk dengan manis (mungkin juga duduk dengan perut keroncongan), Pak imam mushola memimpin shalawat dan doa-doa yang cukup panjang. Diantara doa-doa yang menggunakan bahasa Arab, juga diseligi doa-doa yang berbahasa Jawa. Saya merekam acara tersebut pada telepin genggam saya sebagai kenang-kenangan.
Setelah memanjatkan doa-doa yag cukup panjang, pak imam mempersilakan kami menyantap makanan yang mereka sebut "berkat".
Semua jemaah menyantap makanan dengan penuh sukacita, begitu pun saya yang merasa sedang mendapat rezeki nomplok :D
**bersambuuuuuung yaaa........
Ketika semua jemaah telah berkumpul dan duduk dengan manis (mungkin juga duduk dengan perut keroncongan), Pak imam mushola memimpin shalawat dan doa-doa yang cukup panjang. Diantara doa-doa yang menggunakan bahasa Arab, juga diseligi doa-doa yang berbahasa Jawa. Saya merekam acara tersebut pada telepin genggam saya sebagai kenang-kenangan.
Setelah memanjatkan doa-doa yag cukup panjang, pak imam mempersilakan kami menyantap makanan yang mereka sebut "berkat".
Semua jemaah menyantap makanan dengan penuh sukacita, begitu pun saya yang merasa sedang mendapat rezeki nomplok :D
**bersambuuuuuung yaaa........
mantapp. salam kenal.. saya dulu sekolah dui sdn 26 suak mansi. sering jalan kakai dengan almahrum mamak waktu kecil jualan cabe ke landau, skrg saya menetap di pontianak, sejak kuliah hingga sekarang,, semoga sukses ya
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Hapus