Konsumsi yang boros pada hari-hari menjelang hari raya Idul Fitri ...
Pendahuluan
Hari-hari dalam bulan Ramadhan menjadi hari-hari yang
paling istimewa bagi umat Islam seantero dunia.
Selama bulan Ramadhan, umat Islam diwajibkan menjalankan ibadah puasa.
Ibadah puasa merupakan simbol dari laku prihatin seorang manusia, dimana
seseorang dilatih untuk mampu menahan segala hawa nafsu keduniawiannya dan
lebih banyak mendekatkan diri pada Sang Khalik. Sehingga, pada akhirnya, Idul
Fitri menjadi puncak perayaan kemenangan seorang muslim dalam memerangi hawa
nafsunya sendiri dan menjadi pribadi yang fitrah
atau suci kembali.
Hari
raya Idul Fitri dirayakan umat
Islam dalam satu tahun sekali setelah
berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan. Untuk menyambut
hari raya Idul Fitri, umat Islam berusaha menyediakan dana khusus yang tak
jarang jumlahnya sangat banyak. Umat
Islam pada kenyataannya sering alpa akan tujuan utamanya di bulan Ramadhan ini.
Hari-hari istimewa yang penuh berkah yang seharusnya dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk beribadah, justru digunakan untuk memenuhi berbagai
tuntutan diri, menuruti hawa nafsu. Kegiatan mengkonsumsi merupakan hal yang
wajar dalam kehidupan ini, bahkan bisa saya katakana suatu kebutuhan untuk
mempertahankan hidup. Namun, masyarakat sudah tidak lagi mengkonsumsi kebutuhan
hidup, melainkan terjebak dalam perilaku konsumsi yang boros. Konsumsi lebih
mencirikan adanya usaha manusia menemukan konsepsi dirinya atau identitas diri.
Tak jarang, masyarakat mengkonsumsi merek dagang, gaya hidup dan prestise
ketimbang nilai guna.
Orang-orang akan mengumpulkan uang sebanyak mungkin
dan uang yang terkumpul sebagian besar akan dialokasikan sebagai dana hari
raya. Dana hari raya tersebut akan dialokasikan sebagian besar untuk membeli pakaian yang baru dan bagus,
sajian hari raya berupa makanan ringan (kue-kue kering dan basah, softdrink atau sirup) hingga makanan
berat (nasi dan lauk-pauk). Belum
lagi orang tua harus menyisihkan sebagian uangnya untuk dimasukkan ke dalam
amplop sebagai salam tempel bagi anak-anak saudaranya.
Kebutuhan
akan pakaian bagus dan sajian lebaran ini dilihat oleh para kapitalis sebagai
kesempatan yang sangat tepat untuk meraup keuntungan besar. Pada pasar-pasar
tradisional, menjelang hari raya pasti akan penuh sesak oleh ibu-ibu yang
berbelanja berbagai kebutuhan konsumsi di hari raya. Permintaan akan daging
sapi dan ayam akan meningkat tajam. Kebiasaan para ibu menyajikan rendang sapi
atau opor ayam sudah dipahami semua pedagang daging dan bumbu dapur. Para
pedagang daging dan bumbu dapur (tomat, cabe, kunyit, dst) memanfaatkan keadaan
ini untuk memperoleh laba yang banyak.
Mereka akan menaikkan harga jual hingga mencapai 50%.
Bahkan parahnya lagi, untuk daerah-daerah di luar Jawa, pedagang berani
menaikkan harga jual sebanyak 100% dari harga jual pada hari biasa. Umumnya
mereka beralasan harga barang kebutuhan naik dan ongkos kirim menggunakan kapal
laut juga naik, jadi mau tidak mau mereka ikut menaikkan harga penjualan.
Peningkatan harga yang signifikan ini, memang menuai banyak keluhan dari para
ibu, namun kebutuhan tetap saja kebutuhan, mereka tetap membeli barang
tersebut. Kenaikan harga barang
justru sudah dianggap wajar.
Pada pusat-pusat perbelanjaan
seperti mall atau plaza, sudah menjadi kebiasaan di setiap mendekati hari raya
Idul Fitri mengadakan bazar atau diskon atau disebut juga great sale. Hampir semua produk yang ditawarkan mendapatkan
potongan harga (diskon) 10% hingga 70%, ada pula penawaran diskon bertingkat,
yaitu misalnya 20%+20% hingga diskon tertinggi mencapai 50%+50% off. Penawaran potongan
harga begitu gencar dilaksanakan.
Spanduk-spanduk informasi diskon dipajang
dimana-mana, membuat orang tertarik untuk datang ke pusat perbelanjaan,
berbondong-bondong.
Melihat
berbagai fenomena ekonomi, sosial dan budaya yang terjadi pada hari-hari
menjelang hari raya Idul Fitri, ada hal
yang sebenarnya sangat penting untuk dipahami masyarakat sebagai sebuah masalah
yang harus segera dicarikan solusinya. Bagaimana bentuk-bentuk tradisi konsumsi
pada hari-hari menjelang perayaan hari raya Idul Fitri? Mengapa setiap menjelang Ramadhan dan hari
raya Idul Fitri harga barang meroket? Mengapa pula masyarakat ‘dibuai’ dengan
berbagai penawaran diskon yang menyebabkan masyarakat ‘jor-joran’ mengeluaran
uangnya sehingga menciptakan suatu perilaku konsumsi yang boros?
Produksi dan konsumsi merupakan dua kegiatan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam sosiologi sudah banyak yang mengkaji masalah produksi, namun baru sedikit yang mempunyai ketertarikan pada masalah konsumsi. Baru-baru ini masalah konsumsi semakin banyak dilirik oleh para sosiolog. Pada teori sosial posmodern, masyarakat era posmodernis digambarkan sebagai masyarakat konsumen. Intinya, teori posmodern memiliki penekanan bahwa konsumsi memainkan suatu peran penting (sentral) pada teori tersebut.Perilaku konsumsi dipandang bukan lagi sekadar untuk memenuhi berbagai kebutuhan primer yang bersifat fisik dan biologi seseorang tetapi berkaitan erat dengan berbagai aspek sosial budaya. Pada setiap perilaku konsumsi selalu terdapat unsur selera, simbol identitas dan gaya hidup. Ketiga unsur tersebut dapat berubah sesuai dengan persepsi orang terhadap suatu barang dan dipengaruhi oleh persepsi orang lain disekitarnya. Selera menjadi hal yang sangat labil karena begitu mudah berubah ketika seseorang mendapat pengaruh dari orang lain. Barang yang dikonsumsi pun menjadi suatu simbol identitas yang menunjukkan dimana posisi seseorang berada. Pada akhirnya, konsumsi menjadi sebuah gaya hidup yang tak terelakkan bahkan selalu dibutuhkan.Sosiolog yang pemikirannya tentang konsumsi selalu dipakai sebagai referensi adalah Thorstein Veblen dan B. F Skinner dengan teori behavioristik untuk mengkaji fenomena diskon.Veblen (1899/1994) mengenalkan konsep “konsumsi yang boros” dan memandang selera sebagai senjata dalam berkompetisi. Kompetisi yang dimaksud disini adalah pertunjukan keperkasaan seseorang yang sangat dihargai dalam wujud keperkasaan fisik (pada masyarakat tradisional) dan keperkasaan atas simbol-simbol pemilikan kesejahteraan (pada masyarakat industi/modern).Sementara itu, B. F. Skinner dalam teori behavioristiknya , menyebutkan bahwa semakin meningkatnya keuntungan perusahaan menjadikan suatu penguatan (reinforcement) bagi perusahaan sehingga mempengaruhi perilaku perusahaan (respon). Respon dari perusahaan tersebut adalah dengan diberikannya hadiah dan diskon kepada konsumen sehingga konsumen tetap mengkonsumsi barang-barang yang ditawarkan oleh perusahaan tersebut. Logikanya, semakin banyak diskon (misalnya dengan promosi “buy two pieces, get one, free”) dapat meningkatkan permintaan dari konsumen dan perusahaan memperoleh keuntungan.
-
Seluruh
umat Islam di dunia merayakan hari raya Idul Fitri sebagai wujud kemenangan
mereka atas perlawanan terhadap berbagai hawa nafsu keduniawian. Pada hari raya Idul
Fitri ini, umat Islam akan merayakannya dengan meriah. Semua orang
bersenang-senang. Perayaan hari raya Idul Fitri tak dapat dipisahkan dari unsur sosial, budaya dan tentunya
ekonomi. Perilaku-perilaku ekonomi yang mengarah pada perilaku konsumsi yang
boros tampak jelas, terutama pada hari-hari menjelang perayaan hari raya Idul Fitri.
“Dan diceritakan dari Ibnu Umar r.a. bahwa dia memakai pakaiannya yang paling indah pada dua hari raya (Sunan Al-Baihaqi: 3/281) Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: “Dan Nabi saw memakai pakaian yang paling indah pada dua hari raya, maka beliau memiliki pakaian khusus yang dipakainya pada dua hari raya dan hari Jum’at” (Zadul Ma’ad: 1/441)”
Hadist yang menganjurkan umat Islam untuk mengenakan pakaian yang terbaik pada hari raya Idul Fitri telah dipahami secara keliru oleh umat Islam itu sendiri. Pakaian yang terbaik dipahami secara polos sebagai pakaian baru yang menjadi keharusan dan menimbulkan sikap konsumtif dalam masyarakat. Terkadang, orang tua merasa gagal ketika tak mampu memberikan anak-anaknya pakaian baru di hari raya. Demi mendapatkan barang-barang yang mereka inginkan, orang berkerja keras dan rela jor-joran mengeluarkan uang yang telah mereka kumpulkan. Padahal dalam hadist lain disebutkan bahwa berlebih-lebihan adalah perbuatan yang sangat dibenci Allah SWT.
Untuk
memenuhi kebutuhan primer maupun sekundernya menjelang hari raya, masyarakat
umumnya akan pergi berbelanja ke pasar tradisional dan pasar modern. Namun,
belakangan ini, terdapat
modifikasi bentuk pasar yang menyesuaikan dengan perkembangan teknologi
informasi yaitu ditandai dengan munculnya pasar-pasar maya atau
pasar online. Di pasar online, calon pembeli tidak dapat
melihat dan meraba barang yang akan ia beli secara langsung. Pada setiap jenis
pasar akan menunjukkan perilaku-perilaku konsumsi yang sama yaitu konsumsi yang
boros. Bahkan demi memilki sesuatu yang baru di hari
‘kemenangan’ ini, tak jarang mereka menahan malu untuk meminjam sejumlah uang
pada kerabat maupun melakukan pembelian dengan sistem pembayaran kredit.
Konsumsi yang
Boros
Jauh-jauh
hari sebelum perayaan hari raya Idul Fitri berlangsung, sekitar sebulan
sebelumnya, baik pasar tradisional maupun pasar modern sudah dibanjiri
pengunjung. Pengunjung datang dengan motif dan tujuannya masing-masing. Di
pasar tradisional, kebanyakan pengunjung yang datang membeli sembako yang
jumlahnya banyak atau grosir.
Sebagian besar pembeli barang dalam jumlah banyak (grosir) ini
bertujuan untuk menyetok bahan makanan pokok sebelum harganya lebih tinggi
lagi, ada yang berencana menjual makanan, dan adapula yang akan menjualnya lagi
secara eceran.
Memanfaatkan
momentum hari raya Idul Fitri, pusat-pusat perbelanjaan atau mall mulai
menggelar pesta diskon. Pusat-pusat perbelanjaan itu menawarkan potongan harga
yang sangat menggiurkan, mulai dari potongan terendah 10% hingga 70%, bahkan
ada pula potongan harga bertingkat misalnya 20%+20% hingga 50%+50% dari harga
normal. Penawaran yang sangat menarik bagi masyarakat untuk memiliki barang
yang lebih murah dari harga normal di hari biasa. Oleh sebab itu, pusat-pusat
perbelanjaan yang penuh sesak oleh pengunjung pada bulan Ramadhan maupun di
hari-hari menjelang hari raya sudah menjadi pemandangan yang lumrah. Mereka
datang dengan berbagai motif. Ada yang memang datang untuk berbelanja karena
riil demi memenuhi kebutuhan hari raya, ada yang sekadar ingin memenuhi hasrat
untuk memiliki suatu barang yang diidam-idamkan sejak lama, ada pula yang
sekadar ingin memuaskan imajinasi semata. Mall
memfasilitasi imajinasi konsumsi manusia. Semua orang bisa datang ke mall
dengan berbagai tujuan, tidak hanya untuk
berbelanja.
Mall menjadi sarana rekreasi pribadi hingga keluarga. Tidak harus membeli
apapun, kita bisa mencoba-coba barang yang dijajakan di mall. Mall terlihat
layaknya rimba, rimba produk kapital yang jika tersesat di dalamnya, maka
seseorang bisa menjadi lupa diri. Lupa diri disini dalam hal membelanjakan uang sehingga menimbulkan perilaku konsumsi yang boros.
Penawaran diskon dan hadiah pada sebagian besar barang
di mall menjadi daya tarik yang begitu dahsyat bagi para konsumen. Diskon dan
hadiah bagi B. F. Skinner merupakan wujud respon dari perusahaan kapital kepada
para konsumen setianya. Berkat kesetiaan konsumen produk mereka, perusahaan
yang memproduksi barang tersebut meraup untung besar. Tentu perusahaan tak
ingin kehilangan konsumen mereka, alih-alih dibuatkanlah diskon-diskon dan
hadia menarik. Dengan alih-alih diskon dan hadiah ini, konsumen terus
berbelanja, terus mengkonsumsi. Konsumen kadang merasa perusahaan kapital ini
tampak sangat berbaik hati, padahal pada kenyataannya justru mereka semakin
untung.
Harga diskon dan hadiah (buy one, get one free misalnya) memiliki keterkaitan yang membentuk
perilaku konsumsi yang boros dalam masyarakat. Perusahaan kapital telah
mempermainkan emosional konsumen dengan strategi dagangnya ini. Sehingga harga
diskon dan hadiah menjadi salah satu faktor yang dapat memotivasi konsumen
untuk melakukan belanja hedonic. Didukung pula oleh suasana mall yang
menyenangkan karena diiringi musik yang membangun mood serta suara pramuniaga di microphone
yang sedang memberikan informasi terkait harga barang begitu menggairahkan. Fenomena
yang paling mencolok adalah dimana rata-rata penawaran diskon ditujukan bagi
kaum perempuan. Kebanyakan penawaran diskon diberlakukan pada pakaian-pakaian
maupun aksesoris perempuan. Kapitalis cerdas menilai bahwa pengunjung pusat
perbelanjaan kebanyakan dari kaum hawa dan secara psikologis, perempuan lebih
mudah terhanyut dalam penawaran. Pusat perbelanjaan dianggap sebagai area
kekuasaan para kaum perempuan. Konsepsi dalam masyarakat memposisikan perempuan
sebagai manajer keuangan rumah tangga dan berbelanja menjadi keahlian seorang
perempuan. Bagi sebagian konsumen dengan penghasilan dan daya beli tinggi,
membeli produk atau barang dengan harga mahal tanpa diskon sekalipun dapat
memberikan suatu pengalaman belanja yang menyenangkan. Namun, bagi sebagian
orang lagi yang berdaya beli menengah ke bawah, mendapatkan barang yang banyak
dengan harga yang relatif murah menjadi suatu prestasi yang membanggakan.
Tak mau kalah dari pusat-pusat perbelanjaan modern,
pedagang di pasar tradisional pun akan menawarkan kebahagiaan tersendiri bagi konsumennya. Pedagang di
pasar tradisional biasanya akan membuat penawaran
cuci gudang atau obral barang dengan
harga murah. Tujuan
utama adanya cuci gudang ini adalah
untuk menghabiskan stok-stok barang lama di gudang dengan
menjual barang-barang tersebut dengan harga yang cukup murah. Mereka tidak
mengambil untung terlalu banyak seperti pada hari-hari biasanya. Yang utama adalah
barang mereka cepat laku dan pedagang dapat
keuntungan dan dapat mengisi toko dengan barang-barang
baru dengan gaya yang lebih up to date.
Kesenangan yang dirasakan oleh konsumen pada saat
mencari-cari produk dengan harga obral, melalui prosesi tawar-menawar harga
dengan penjual, memilih-milih barang sesuai selera dan akhirnya berhasil
menemukan produk sesuai dengan keinginan serta mendapatkan harga termurah
tampaknya menjadi suatu tantangan dan sumber kebahagiaan tersendiri bagi
konsumen di pasar tradisional. Barang yang sebenarnya tidak perlu, menjadi
perlu karena konsumen diliputi perasaan ‘lapar mata’. Tanpa berpikir panjang,
konsumen mengeluarkan sejumlah uang dan segera ia memiliki barang yang menarik
di mata, namun belum tentu berguna di kemudian hari.
Masyarakat
sangat difasilitasi untuk berbelanja,
yang berarti mengonsumsi terus menerus.
Munculnya tuntutan baru dari pegawai kepada pimpinannya karena gaji bulanan
dianggap hanya memenuhi kebutuhan harian, sementara ada kebutuhan lain yang
lebih besar di hari raya memunculkan adanya dana Tunjangan Hari Raya (THR). THR
dalam hal ini menjadi suatu tanggung jawab sosial yang harus ditunaikan oleh
para pemimpin kepada para karyawannya. THR ini pulalah yang dimanfaatkan
sebagian besar masyarakat yang bekerja sebagai karyawan baik negeri maupun
swasta untuk berbelanja.
Selain dukungan dana THR, adanya kesempatan yang
begitu luas di waktu libur membuat konsumsi terus berlanjut. Leissure class sebagaimana yang
dikemukakan Veblen dalam bukunya yang tersohor, The Theory of the Leissure Class (1899/1994) dipahami sebagaimana
para pemimpin bisnis yang mendiami struktur kelas tertinggi yang memiliki waktu
luang dan melakukan konsumsi yang boros. Pada era ini, waktu luang tak hanya
dimiliki oleh para pemimpin bisnis. Waktu luang adalah milik semua orang dari
semua kalangan. Waktu liburan atau cuti menjelang hari raya (bagi pegawai
negeri sipil) menunjukkan adanya waktu luang dimana seseorang sedang tidak
produktif. Waktu libur menjelang hari
raya Idul Fitri ini kebanyakan digunakan
untuk mempersiapkan hari raya yaitu dengan berbelanja berbagai keperluan
perayaan. Keperluan perayaan Idul Fitri
yang paling mencolok berupa jamuan hari
raya seperti aneka kue kering, sirup, dan lauk-pauk khas hari raya Idul Fitri.
Selain itu yang tak kalah pentingnya adalah pakaian baru yang digunakan pada
saat hari raya dan dikenakan pada saat bersilaturahmi ke tempat sanak saudara
juga tetangga-tetangga sekitar.
Konsumsi
meningkat, Harga melambung tinggi
Fenomena melambungnya harga barang kebutuhan pokok di
bulan Ramadhan dan hari-hari menjelang perayaan hari raya Idul Fitri rutin
terjadi di setiap tahun. Inflasi pun tak terelakkan lagi. Namun, masyarakat
seolah tak ambil pusing dan terus berbelanja. Mereka membeli barang-barang
baru, mulai dari pakaian berstel-stel, alas kaki (sandal, sepatu), telepon
seluler atau gadget teranyar hingga
kendaraan baru.
Kenaikan harga barang terutama sembako di pasar
tradisional karena adanya permintaan yang tinggi dari konsumen. Terkadang
pedagang mengkondisikan keadaan serba langka yang dibuat-buat agar konsumen
panik dan menjadi ‘latah’ untuk berbelanja banyak barang menjelang hari raya.
Lagi-lagi, pedagang mempermainkan emosional konsumen. Mengetahui permainan
pasar yang tak sehat ini, pemerintah di beberapa daerah terutama daerah-daerah
kota besar kerap mengadakan operasi pasar demi meminimalisir permainan harga
pasar yang dibuat-buat.
Pemerintah terutama Dinas Perindustrian dan
Perdagangan (Disperindag) di tiap daerah (terutama daerah yang berpenduduk
muslim banyak) ‘kocar-kacir’ berusaha menenangkan masyarakat agar tidak belanja
berlebihan. Bank Indonesia sampai-sampai menggandeng Majelis Ulama Indonesia
(MUI) di Jawa Barat, untuk mengajak masyarakatnya agar tidak berbelanja secara
berlebihan selama bulan Ramadhan hingga Idul Fitri 1435 Hijriah1.
Ajakan itu disampaikan untuk mengurangi tingginya laju inflasi yang biasa
terjadi di bulan Ramadhan. Inflasi sudah menjadi tradisi tambahan setiap bulan
Ramadhan akibat adanya persepsi masyarakat yang takut kehabisan kebutuhan
pokok, terutama kebutuhan daging, minyak dan gas (migas). Hal ini memicu
masyarakat untuk melakukan aksi borong dan menumpuk sumber daya (men-stock).
Ketika itu, bulan Ramadhan kurang sebulan
lagi, berarti hari raya Idul Fitri masih kurang dua bulan lagi. Rentang waktu
yang masih begitu lama seolah kurang diperdulikan orang. Orang-orang terus
berdatangan ke pasar tradisional untuk membeli berbagai kebutuhan puasa dan
hari raya nanti. Toko tirai jendela, toko toples dan barang pecah belah, toko
sembako dan bahan roti, ramai sekali dikunjungi calon pembeli. Menurut mereka,
datang pada hari-hari jauh sebelum puasa dan hari raya menjedi strategi
tersendiri demi menghindari lonjakan harga barang, terutama daging, sembako, minyak dan gas, serta bumbu dapur. Fenomena ke‘latah’an pedagang yang menaikkan harga
barang-barang sudah terjadi berulang-ulang, sehingga menjadi kebiasaan dan
masyarakat sudah lumrah. Oleh sebab itu, masyarakat juga ikut-ikutan latah
dengan berbelanja kebutuhan dapur jauh-jauh hari sebelum bulan Ramadhan atau
hari raya.
Perdagangan
di pasar tradisional yang masih menganut sistem tawar-menawar sehingga
terjadilah interaksi antara pedagang dengan pengunjung atau calon pembeli.
Tawar-menawar ini yang nantinya akan membangun hubungan kedekatan antara
pembeli dengan penjual. Pada akhirnya, jika pembeli atau konsumen sudah merasa
nyaman atau cocok dengan seorang pedagang, maka pembeli pasti akan kembali lagi
kepada pedagang tersebut dan membentuk pola berlanggan. Pola berlangganan ini
memiliki manfaaat yang cukup besar. Bagi pedagang, jika ia sudah memiliki
pelanggan tetap, maka ia akan semakin percaya diri dengan kelangsungan
usahanya. Setidaknya pedagang sudah mempunyai pengunjung tetap yang secara
rutin akan membeli barang dagangannya. Pedagang pun sudah mengetahui pangsa
pasar bagi dagangannya dan mengetahui dengan baik selera konsumsi konsumennya.
Bagi pembeli, memiliki toko atau pedagang langganan juga memiliki manfaat,
diantaranya yaitu pembeli dapat memesan barang yang ia inginkan kepada
pedagang. Dalam tawar-menawar, pembeli sudah paham berapa perkiraan keuntungan
yang akan diperoleh pedagang dan pembeli akan mengandalkan hubungan langganan
tersebut untuk mendapatkan harga yang cocok. Manfaat lain yang dirasakan pelanggan
adalah diberikannya tawaran-tawaran kredit barang dari pedagang karena pedagang
sudah percaya kepada langganannya. Jika langganannya belum memiliki uang yang
cukup untuk membeli barang dagangannya, maka pedagang akan menawarkan kredit
atau hutang pada langganannya tersebut. Kredit yang mereka lakukan berasaskan
rasa saling percaya. Dengan adanya sistem pembayaran kredit, konsumsi akan
terus berlangsung.
Tradisi turut mendukung pola-pola perilaku konsumsi
yang boros menjelang hari raya. Di Kota Semarang, ada
sebuah tradisi tahunan yang diselenggarakan selama kurang lebih dua minggu
sebelum puasa (hari terakhir bulan
Sya’ban), yaitu tradisi Dugder. Tradisi Dugder
ini dilaksanakan di kawasan Pasar tradisional Johar dan Yaik Semarang dan dan pusat perayaan tradisi ada di Masjid Agung
Kauman Semarang. Perayaan tradisi Dugder diisi oleh
pasar yang buka dari pagi hingga tengah malam. Pasar Dugder ini menjual berbagai
perlengkapan menjelang Ramadhan
dan hari raya serta menyajikan beragam
hiburan rakyat. Barang-barang yang di jual di pasar Dugder sebenarnya sama saja
dengan barang dagangan yang ada di pasar Johar. Namun, bedanya pasar Johar tutup lebih cepat
yaitu pukul empat sore dan belum mulai membuka penawaran diskon atau obral
barang. Pasar Dugder tidak pernah sepi pengunjung, terlebih
bertepatan dengan masa liburan semester anak sekolah. Di
pasar Dugder juga menghadirkan deretan warung tenda yang menjual makanan khas
bulan Ramadhan dan hari raya,
seperti kurma, lontong sayur, opor ayam, rendang dan warung es teler hingga
warung susu instan.
Pada
puncak perayaan tradisi Dugder (sehari sebelum puasa pertama di bulan Ramadhan)
akan diadakan karnaval Dugder dengan arak-arakan anak-anak sekolah berpakaian
adat maupun pakaian-pakaian tertentu dan menggotong ikon khas Dugder. Ikon khas
Dugder disebut warak
ngendog. Warak ngendog berwujud
binatang yang berkepala naga, berbadan menyerupai kambing, bulunya terbuat dari
bulu ayam yang arahnya terbalik. Bulu warak
ngendog yang terbalik ini merupakan simbol dari titik walik atau titik balik yang bermakna melawan hawa nafsu.
Secara inplisit, warak ngendog ini merupakan
perwujudan harapan-harapan masyarakat pada bulan Ramadhan agar mereka bisa menahan
ganasnya pengaruh hawa nafsu manusiawi.
Namun, pada praktiknya, dalam ritual Dugder yang
didalamnya menawarkan berbagai arena konsumsi mulai dari entertainment (hiburan), wisata kuliner, dan tentunya pasar yang
didominasi oleh pedagang pakaian. Pasar ini tentu menjadi sarana pemuasan hawa
nafsu duniawi manusia melalui konsumsi. Misalnya saja, jika ingin mengkonsumsi
hiburan (ada Tong Setan, Kora-kora, Bianglala, Kicir-kicir dst…) maka seseorang
harus membeli (tiket atau karcis) dengan uang untuk mendapatkannya. Sehingga harapan yang disimbolisasikan melalui
Warak ngendog ini agaknya menjadi
sesuatu yang berlawanan dengan keadaan riilnya di lapangan. Entah tradisi
ritual ini sekarang sekadar menjadi tontonan ritual tradisi demi menarik
wisatawan, namun nilai-nilai yang terkandung didalamnya tidak lagi dipraktikkan
dalam kehidupan manusia itu sendiri.
Spirit
Manusia Baru
Perayaan Idul Fitri menjadi symbol kemenangan umat
Islam dalam memerangi hawa nafsunya sendiri melalui berpuasa selama satu bulan
lamanya. Idul Fitri bukan diidentikkan dengan baju baru, perhiasan baru,
kendaraan baru, fisik dan wajah yang baru, melainkan spirit dan jiwa-jiwa yang
baru. Idul Fitri merupakan momentum dimana jiwa kita kembali ke fitrah,
jiwa-jiwa yang suci yang menghasilkan manusia baru dengan kualitas jauh lebih
baik dari sebelumnya.
Tidak ada yang salah dari aktivitas berbelanja,
mengkonsumsi, dan menghadirkan suasana baru dalam menyambut hari raya Idul
Fitri. Kalau memang sanggup dan dana
memadai silakan saja, namun jangan sampai hasrat ingin sesuatu yang baru justru
membelit diri pada hutang-piutang yang menyulitkan dalam proses
pengembaliannya.
“Baju baru… Alhamdulillah
Tuk dipakai di hari raya
Tak punya pun… tak apa-apa
Masih ada baju yang lama…
Sepatu baru… Alhamdulillah
Tuk dipakai di hari raya
Tak punya pun… tak apa-apa
Masih ada sepatu yang lama …”
Masih ingatkah dengan lagu anak-anak tahun 90’an yang
dinyanyikan penyanyi cilik Dhea Ananda? Lagu ini setidaknya telah menyebarkan
nilai-nilai sikap untuk selalu bersyukur dalam keadaan apapun, terutama saat
hari raya. Tidak harus memaksakan diri membeli baju dan sepatu baru pada hari
raya, jika baju dan sepatu yang lama masih bagus dan bisa dipakai.
DAFTAR BACAAN
Damsar. 2002. Sosiologi Ekonomi. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
Duncan, Hugh Dalziel. 1997. Sosiologi Uang. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik
Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern Edisi Kedelapan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
*tulisan ini dikerjakan dalam waktu sekejap mata, mohon dikoreksi kalau ada yang tidak sesuai... makasiiihhh :)) *