Selamat datang di blog saya.
meskipun blog ini agak tidak jelas juntrungannya, tetapi saya selalu ingin berbagi kisah dan hikmah melalui cerita-cerita perjalanan saya yang tentunya yang pernah saya alami dan rasakan sendiri.
meskipun blog ini agak tidak jelas juntrungannya, tetapi saya selalu ingin berbagi kisah dan hikmah melalui cerita-cerita perjalanan saya yang tentunya yang pernah saya alami dan rasakan sendiri.
Saya selalu menyertakan dokumentasi berupa gambar. Hal ini saya sertakan agar
teman-teman pembaca yang budiman dapat melihat keadaan saat itu lebih riil
melalui foto. Disamping itu, saya juga senang mendokumentasikan apapun yang
saya lihat. Saya memang belum tahu foto yang baik dan cerita yang baik itu
seperti apa, tetapi saya akan mencoba terus menulis dan memotret untuk kepuasan
saya dan mungkin bermanfaat untuk anda J
Kali ini saya akan bercerita tentang perjalanan saya yang
sudah terlampau lama. Baru sekarang saya ingin menceritakannya pada anda…
Pada hari selasa tanggal 25 Desember 2012, saya sedang berada di Jogja. Saya tinggal di Jogja sekitar satu minggu. Dalam rangka melarikan diri dari Semarang, karena saat itu sedang libur natal dan pekan persiapan ujian akhir semester ganjil. Selama tiga hari, saya menginap di tempat sahabat saya tersayang, Vivi Rosalia yang kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Hari rabu tanggal 26 Desember 2012, kak Alfian dan saya, merealisasikan rencana kami yang sudah kami planning beberapa waktu lalu. Pada malam hari sebelum keberangkatan, kami menyusun rencana untuk jalan-jalan ke Pantai Pok Tunggal di Gunung Kidul. Malam itu juga saya nge-pack beberapa barang-barang yang akan saya bawa travelling esok hari. Barang-barang yang saya bawa dalam tas ialah kamera kesayangan saya yang wajib dibawa kemanapun, minyak kayu putih, setelan ganti, air minum dalam botol, peta Jogja, masker dan slayer, shampoo dan dompet. Tidak lupa pula saya membawa jaket parasut ungu kesayangan saya. Setelah semuanya siap dalam tas, saya bergegas tidur agar besok pagi dapat bangun lebih awal dan kondisi badan tetap fit.
Saat hari H, saya dan kak Alfian janjian bertemu di depan
Fakultas Peternakan UGM dan kami memulai perjalanan kami pada pukul delapan
pagi. Kami berangkat dari UGM menuju Wonosari.
Saya sangat menikmati perjalanan, apalagi pada saat saya yang dibonceng dan tidak akan bergantian membonceng karena kak Alfian pakai motor gedenya. *ahahahay
Saya sangat menikmati perjalanan, apalagi pada saat saya yang dibonceng dan tidak akan bergantian membonceng karena kak Alfian pakai motor gedenya. *ahahahay
Sebenarnya saya dan kak Alfian sama-sama tidak tahu jalan
menuju pantai Pok Tunggal, jadi kami hanya modal peta, gps handphone saya dan
bertanya pada warga setempat.
Di tengah perjalanan, saya melewati Candi Prambanan dan
Candi Ratu Boko. Ingin sekali rasanya mampir. Namun, rencana awal kami adalah
ke Pok Tunggal dan itu tidak dapat diganggu-gugat. Perjalanan dari UGM ke
Wonosari sangatlah lama dan jauh. Jalan menuju ke sana pun sangat berliku,
naik-turun perbukitan. Kami melewati beberapa desa dan kota-kota kecil seperti
piyungan, terus daerah patuk, Gading , dan sebagainya.
Sesampainya di daerah kota Wonosari, kami kebingungan
mencari jalan. Ternyata kami telah berjalan selama tiga jam. Kemudian kami
memutuskan untuk berhenti sejenak di pinggir jalan dan mendatangi seorang bapak
yang sedang berdiri di pinggir jalan di depan car wash. Saat itu saya kehilangan sinyal handphone dan saya merasa kesulitan ketika hendak membuka GPS dari smartphone saya. Membawa peta Jogja pun
kurang berarti karena Pantai Pok Tunggal merupakan pantai baru yang belum
terdaftar dalam peta.
Kak Alfian dan saya turun dari motor dan mendatangi bapak tersebut.
“Permisi pak… numpang Tanya ya pak…” kata kak Alfian dengan
ramah.
“Oh iya mas, monggo …” sahut Bapak tersebut dengan ramah
pula
“Kalau mau ke pantai Indrayanti bagaimana ya pak ?”
“oh itu, lurus terus mas, nanti gak jauh dari sini ada pos polisi setelah jembatan, masnya belok kanan setelah itu lurus terus. Nanti setelah itu ada petunjuk jalannya kok mas” jelas sang Bapak
“oh itu, lurus terus mas, nanti gak jauh dari sini ada pos polisi setelah jembatan, masnya belok kanan setelah itu lurus terus. Nanti setelah itu ada petunjuk jalannya kok mas” jelas sang Bapak
“dari sini, lurus, ada jembatan setelah itu pos polisi belok
kanan. Begitu ya pak …”
“iya mas…”
“Terimakasih banyak ya pak…”
“iya mas…”
“Terimakasih banyak ya pak…”
“nggih mas, monggo, monggo …”
“matur suwun ya pak…” kata saya sambil senyum-senyum
“matur suwun ya pak…” kata saya sambil senyum-senyum
“nggih mbak, monggo” sahut Bapak tersebut dengan ramah
Kemudian kami melanjutkan perjalanan sesuai dengan petunjuk
Bapak tadi. Kami berhenti sejenak di Alfamart untuk membeli jajanan untuk kami
makan di pantai agar lebih irit.
Kami memasuki daerah Gunung Kidul pada pukul 10:32.
Di perjalanan kami berpas-pasan dengan rombongan bikers yang sedang lintas alam dengan
sepeda. Saat itu gerimis turun dan kami khawatir akan kehujanan di tengah
perjalanan.
Namun, ternyata gerimisnya tidak lah lama. Matahari kembali bersinar sangat terik. Kami masih memacu roda dua untuk terus berputar manjat dan turun dari perbukitan karst di daerah Gunung Kidul.
Namun, ternyata gerimisnya tidak lah lama. Matahari kembali bersinar sangat terik. Kami masih memacu roda dua untuk terus berputar manjat dan turun dari perbukitan karst di daerah Gunung Kidul.
Saya sibuk memotret selama perjalanan.
“enak ya dek ?”
“enak bangeeeettt kak” jawabku sumringah kesenangan.
“enak bangeeeettt kak” jawabku sumringah kesenangan.
“iya lah, kamu kan bisa menikmati pemandangan. Kakak nyetir
dan konsen ke jalan. Huft” kata kak Alfian
“hehehe, capek ya kak ? nanti kakak lihat hasil-hasil
fotonya aja yaa”
“ya lumayan, pegel sih tangannya”
“sabar ya kakak, heemmm”
“ya lumayan, pegel sih tangannya”
“sabar ya kakak, heemmm”
Saat itu saya sempat berpikir, apakah benar ada laut di balik bukit-bukit karst yang tandus ini ?
kok masyarakat Gunung Kidul bisa bertahan hidup dalam kondisi daerah yang sepertinya sulit untuk diolah lahannya dan juga sepertinya sulit untuk medapatkan air.
Saya melihat batuan-batuan besar di sepanjang jalan. Batu-batu tersebut terpencar-pencar hingga memenuhi lahan yang ditanami singkong, pisang, ada ubi-ubian juga.
Saya masih terheran-heran, bagaimana cara warga mengolah lahan yang berbatu dan berkapur seperti itu.
Kemudian, darimana ya warga mendapatkan air ? Apakah di
bawah tanah kapur tersebut menyimpan air yang cukup?
(ayo anak geografi jelaskan pada saya *hehehe)
(ayo anak geografi jelaskan pada saya *hehehe)
Karena jalanan tampak sepi, kak Alfian memacu kendaraannya
dengan agak cepat. Sehingga tidak lama setelah itu, kami menemukan pertigaan.
Disinilah titik awal kesesatan-demi-kesesatan yang akan kami jalani bersama.
Kesesatan-kesesatan itu pula yang mengantarkan kami lebih mengetahui jalan
menuju pantai terjauh yang ada di Jogja, yaitu Pantai Sadeng yang berbatasan
dengan pantai di Wonogiri.
Dari pertigaan itu, jika
kami belok kanan, maka kami akan menemukan pantai Baron, Kukup, Krakal, dan
kawanannya. Sementara jika kami belok kiri, maka kami akan mendapati pantai
Siung, Wedi Ombo dan Sadeng ke arah Pacitan, Jawa Timur.
Kak Alfian dan saya memilih belok kiri karena kami kira pantai Pok Tunggal ada disana.
Kak Alfian dan saya memilih belok kiri karena kami kira pantai Pok Tunggal ada disana.
Kemudian kami terus
menyusuri jalan yang beraspal halus. Kami menemukan persimpangan lagi. Kami
memilih belok kanan karena kami tahu pantainya ada di sebelah kanan kami.
Dari yang tadinya jalan aspal, kami memasuki jalan kecil
yang hanya cukup dilalui oleh satu mobil dan satu motor berdampingan. Dari
persimpangan awal tadi, kami masuk sekitar dua kilometer hingga menemukan pos
penjaga yang menjual karcis masuk.
“Pak, ini pantai Pok Tunggal bukan ?”
“Loh, ya bukan toh mas. Ini Pantai Siung. Kalau ke Pok Tunggal masih enam kilometer lagi dari simpangan yang mas lewati tadi. Dari sini ke simpangan saja sudah dua kilo mas” kata Bapak penjual karcis masuk tersebut.
Bak disambar geledek, kami sangat shock mendengar penjelasan
Bapak tersebut.
“Kak, ternyata kita salah. Gimana dong nih?” tanyaku gusar
“Kalau kita balik lagi sama dengan jalan sepuluh kilo lagi.
Rugi juga udah sampai sini ya” kata kak Alfian dengan raut wajah aneh, lucu bin
unyuuu :D
“gimana kalau kita ke pantai aja kak ?”
“Pak, ke pantai Siung berapa kilo lagi ya?” Tanya kak Alfian pada Bapak penjual karcis
“Pak, ke pantai Siung berapa kilo lagi ya?” Tanya kak Alfian pada Bapak penjual karcis
“Ini lho mas, pantainya di balik bukit ini. Setengah kilo
aja kok… udah masuk aja lah mas, nanggung lho kalau balik lagi” kata Bapak
sambil tertawa
Akhirnya, kita lebih memilih untuk mampir di Pantai Siung
daripada putar balik dan mencari pantai Pok Tunggal.
Saat masih di atas bukit, kita berdua sudah teriak-teriak seperti orang kegirangan.
Saat masih di atas bukit, kita berdua sudah teriak-teriak seperti orang kegirangan.
“Pantaaaiiiiii….. Paaanntttaaaiiiii…. Suurgaaaa.”
“Surga di balik bukit”
“wuuhhuuuhhuuuwwuuuhhuuuwwhhuuuu… uhuhuhuhuuuuuhhaahhhauuuuu”
Kami bersahut-sahutan seperti orang utan saking senangnya melihat kilauan air laut yang diterpa sinar matahari yang sangat terik waktu itu.
“Surga di balik bukit”
“wuuhhuuuhhuuuwwuuuhhuuuwwhhuuuu… uhuhuhuhuuuuuhhaahhhauuuuu”
Kami bersahut-sahutan seperti orang utan saking senangnya melihat kilauan air laut yang diterpa sinar matahari yang sangat terik waktu itu.
“Dek, sampai pantai kakak mau langsung nyebur” kata kak
Alfian bersemangat
“jangan kak, ini kan bukan tujuan kita. Kita kan maunya
mandi di Pok Tunggal toh”
“oh iya ya dek … yaudah, kakak mau main air aja tapi gak mandi”
“yuuhhuuuu kakak”
“oh iya ya dek … yaudah, kakak mau main air aja tapi gak mandi”
“yuuhhuuuu kakak”
Finally, kami sampailah di tempat parkir, tidak jauh dari pantai. Ternyata pantai Siung masih belum dikunjungi banyak orang. Kami menemukan sekelompok orang yang sedang sibuk persiapan untuk pemotretan prewedding. Tampak juga beberapa keluarga yang sedang piknik dan ada anak-anak yang sedang mandi di laut memakai ban bebek dengan diawasi kedua orang tuanya.
Saya memandang sekeliling. Wajah saya terasa panas sekali.
Kak Alfian sudah melepas sepatunya dan memasukkannya ke dalam tas. Ia langsung
masuk ke dalam air.
Saya memilih untuk tetap berada di tepi pantai dan menyiapkan kamera untuk mengambil gambar.
Saya memilih untuk tetap berada di tepi pantai dan menyiapkan kamera untuk mengambil gambar.
Teriknya matahari siang itu membuat saya tidak dapat
berkonsentrasi dengan baik dalam setiap shoot.
Bidikan saya banyak yang meleset. Cakrawala tidak seimbang, warna juga
kacau…Duh !
Akhirnya saya jongkok di bawah nyiur.
Ngadem.
Kepala saya terasa pusing. Kemudian saya mengambil botol minum yang saya bawa dan saya meminum beberapa teguk air. Saat itu jam sebelas lebih enam menit.
Kak Alfian mendatangi saya. Ia tampak bersemangat sekali.
Kemudian, ia mengajak saya mendaki bukit kecil yang ada di bibir kiri pantai.
Saya mengikutinya. Kak Alfian mensupport saya untuk kuat dan terus memanjat
bukit.
Separuh perjalanan mendaki, saya sudah terkagum-kagum dengan pemandangan disana. SUBHANALLAH ! FANTASTIC !
Saya sempat mengabadikan moment-moment disana, lalu kami mendaki lagi.
Sesampainya di atas bukit kecil tersebut, jantung saya berdebar-debar karena saya takut ketinggian.
Bukit tersebut menjorok langsung ke laut yang airnya berwarna biru agak gelap.
Saya sangat hati-hati berdiri disana. Gemetaran.
“Dek, ayo foto-foto” kata kak Alfian yang sudah duduk mendekati ujung bukit tersebut.
“ya ampun kak, aku gemetaran”
“sudah tenang aja. Gakpapa asalkan kita hati-hati … Jalannya sambil jongkok aja kalau takut sambil berdiri”
“Iya kak. Aku duduk sini aja deh”
Aku duduk di atas tanah yang panas sekali dan menyiapkan
kamera, mengatur shutter, iso, dan
diafragma.
Setelah itu, kita berfoto-foto narsis.
Setelah itu, kita berfoto-foto narsis.
Kala itu, matahari
sedang berada di atas kepala. Pukul 11:30.
Panas ! Membara ! hiiiittttttaaaaaaammmmmmmm
huft.
Inilah beberapa foto-foto kami dari awal perjalanan hingga sampai di Pantai Siung.
Panas ! Membara ! hiiiittttttaaaaaaammmmmmmm
huft.
Inilah beberapa foto-foto kami dari awal perjalanan hingga sampai di Pantai Siung.
Setelah salat dzuhur dan makan nasi goreng di warung tepi pantai Siung, saya dan kak Alfian memutuskan untuk melanjutkan penjelajahan mencari Pantai Pok Tunggal. Kami berjalan ke arah timur. Terus ke timur. Melewati gunung-gunung karst, naik-turun dan melewati lembah yang saya perhatikan mirip dengan Ngarai Sianok di Sumatera Barat. Kami menyempatkan diri untuk beristirahat di tepi jalan yang ada lembahnya itu. Setelah mengambil beberapa foto dan duduk di tanah, saya dan kak Alfian melanjutkan perjalanan. hampir dua jam lamanya, akhirnya kami sampai di suatu persimpangan yang ada tulisan, "Pantai Sadeng belok kanan". saya tertegun sejenak dan menyadari bahwa kami sudah berada di jalan ke arah Pacitan.
Saya dan kak Alfian merasa panik. Saya sampai tidak sempat mengambil foto apapun saking paniknya saat itu. Kak Alfian bertanya pada bapak-bapak yang sedang duduk-duduk di gubuk yang terletak di tepi jalan simpang menuju ke Pantai Sadeng. Oh ternyata..... kami harus putar balik.Di perjalanan arah sebaliknya, kami juga sempat nyasar ke Pantai Wedi Ombo, namun tidak sampai masuk. Saat hendak membayar tiket masuk Pantai Wedi Ombo, kami baru bertanya kepada petugas tiket dan baru tau kalau pantai yang kami singgahi itu bukan Pok Tunggal.
Fix, kami harus putar balik lagi dan kembali ke arah Barat.
Perjalanan yang cukup panjang, melelahkan sekaligus membahagiakan.
Begitu melihat plang terbuat dari kayu lapuk tertancap miring di simpang jalan selebar satu badan mobil yang belum beraspal membuat saya merasa miris. Beginikah potret potensi pariwisata daerah di Indonesia? jalannya rusak dan berbatu, tentulah juga berdebu.
Setengah jam perjalanan dari persimpangan tadi, barulah kami terkesima melihat pantai Pok Tunggal yang biasa-biasa saja karena sudah sangat ramai dan ternyata posisinya sangat dekat dengan pantai Indrayanti. Saya sedikit menyesal karena tidak sempat mampir ke Pantai Sadeng, pantai terjauh ke arah timur Jogja.
Namun, ajakan kak Alfian untuk segera menceburkan diri di air membuat saya melupakan segala penyesalan dan menikmati betapa indahnya hari ini.
Sore itu, langit sangat menghibur hati ini. Diseberang sana, tepatnya di tengah laut sedang ada hujan dan otomatis air laut meningkat. Saya dan kak Alfian masih sempat menikmatinya, sekedar untuk tergolek di pasir dan menikmati temaram sinar sang surya. Pukul enam kurang beberapa menit, saat matahari sudah mulai meredup, kami dan rombongan lainnya pulang. Perjalanan menuju kota Jogja sangat dingin. Kami sempat mampir di bukit bintang namun saya ingin cepat pulang.
Sesampainya di kota, kak Alfian baru menyadari bahwa esok hari ia harus menyervis motornya dan menggandi kampas rem. Untung saja rem motornya kak Alfian belum benar-benar blong...
Ahh... Jogja benar-benar candu.
Aku ingin kembali dan pulang membawa cerita baru.
ah izaa. mau dong di ajak ke pantai Siung
BalasHapus