***


Waktu itu, kalau tidak salah --berarti benar-- sekitar pertengahan bulan Oktober, saya dan sahabat saya, Ratih Tyas Arini memutuskan untuk melewati liburan penghujung bulan di Kabupaten Ponorogo. Awal dari perjalanan di Ponorogo tak lebih hanya ingin liburan dan sejak adanya kabar kalau Reyog diklaim oleh Malaysia, saya jadi bercita-cita ingin menonton pertunjukan Reyog di daerah asalnya. Selama seminggu lebih kami berdua mengumpulkan uang untuk membeli tiket kereta. Pada tanggal 28 oktober 2013, kami pergi ke stasiun Semarang Poncol untuk membeli dua tiket kereta ekonomi-ac tujuan Stasiun Madiun. Kami mendapatkan tiket dengan jadwal keberangkatan pada tanggal 1 Nopember 2013. Selama berada di Ponorogo, kami akan menginap di rumah Buliknya Ratih, di desa Mambil.

Saya dan Ratih berangkat ke Stasiun Semarang Poncol sekitar pukul sepuluh malam dari Gunungpati karena kami menumpang kereta pukul satu malam menuju Madiun. Sebelum ke Stasiun Poncol, saya dan Ratih bersama rombongan CLIC Unnes sempat menghadiri acara Pameran Fotografi oleh Prisma Undip di PKM Undip Pleburan. Sesampainya di Stasiun Poncol, Ratih menitipkan sepeda motornya pada petugas parkir stasiun yang menerima penitipan motor. Selama di stasiun, kami sempat tidur-tiduran di atas kursi dan dikerubungi nyamuk-nyamuk nakal. Badan saya bentol-bentol merah dan gatal. Hal yang paling melegakan adalah ketika pukul satu lebih beberapa menit, terdengar suara kereta datang dan ternyata itulah kereta yang akan kami tumpangi. Kami menaiki kereta dan memulai petualangan untuk mendapatkan pembelajaran yang baru dan segar dalam kehidupan kami. Saya tidak sabar untuk segera menonton pertunjukan Reyog Ponorogo di tanah kelahirannya langsung.

Gerak dan Kedinamisan Hidup

by nyakizza.blogspot.com, 21.44


The Power of dance is movement. The motion or movement is a language of dance. Verbal language and the language of dance both have systems and conventions such as vocabulary, grammar and semantic meaning (Hanna, 2008: 491).
 






Saya begitu menyenangi tari-tarian, menonton pagelaran tari dan berusaha menonton pada daerah asal tari-tarian tersebut. Saya hanya ingin merasakan getaran-getaran magis dan kesakralan dari tari-tarian tradisional, namun sudah sangat sulit. Akhir-akhir ini, tari-tarian yang mulanya berfungsi sebagai unsur penting dalam ritual keagamaan, ritual adat dan memilki nilai estetika yang tinggi  telah bergeser menjadi suguhan pertunjukan bernilai ekonomis. Oleh sebab itu, setiap kali melihat pertunjukan tarian tradisional (maupun kontemporer, modifikasi) saya kurang mendapat esensinya, kurang mendapat feel-nya.
Maju Terus Tari-Tarian Indonesia. 



Dilema Wanita Teraniaya: Bertahan atau Meninggalkan

in , by nyakizza.blogspot.com, 16.18

Pengantar…

Pagi hari ini, saya terbangun dari tidur dalam kondisi tubuh yang agak memprihatinkan. Semalaman saya terjaga untuk mengerjakan abstraksi penelitian yang akan saya ajukan pada seleksi penelitian antropologi. Matahari belum juga tampak jelas di ufuk. Saya ingin kembali tertidur, namun sulit sekali.

Saya memandang ke sekeliling kamar. Mata saya terhenti pada buku “Sosiologi dengan Pendekatan Membumi Jilid I dan II” karya James M. Henslin. Saya mengambil buku Jilid II dan membuka-buka halaman demi halaman.  Buku Sosiologi Membumi ini merupakan buku kesukaan saya karena isinya sangat mudah dipahami dan atraktif, sangat cocok untuk pembelajar tipe audio-visual seperti saya.

Semua materi sangat menarik, factual dan rasional. Saya terhenti begitu lama pada halaman 141 sampai dengan halaman 144. Pada halaman tersebut membahas tentang “dua sisi kehidupan keluarga” yang didalamnya terdapat sub-sub tema seperti “sisi gelap kehidupan keluarga: penganiayaan, kekerasan terhadap anak, dan hubungan sedarah”, “sisi cerah kehidupan keluarga: pernikahan yang berhasil”, dan “masa depan pernikahan dan keluarga”. Secara keseluruhan, saya mempunyai ketertarikan yang kuat terhadap apapun tentang kehidupan keluarga, peran istri dan pengasuhan anak. Saya bukan seorang feminis ataupun penggiat kesetaraan gender. Berdasarkan rasa suka, tertarik dan keinginan untuk menjadi seorang ibu (guru) yang baik, yang ideal bagi anak-anak saya kelak saya mencoba mempelajari, memahami dan merefleksikan pengetahuan berkaitan dengan “keluarga”.

 Imajinasi Saya tentang Cinta dan Pernikahan…

Saya memang belum pernah melakukan studi mendalam kepada korban kekerasan dalam ikatan keluarga. Pendapat-pendapat yang saya kemukakan berikut merupakan imajinasi saya ketika mendengar cerita-cerita dari beberapa teman saya mengenai praktik kekerasan yang terjadi pada tetangga di desanya. Selain imajinasi, saya pun akan mengaitkan kasus tersebut dengan pandangan yang dikemukakan sosiolog.

Saya percaya, suatu pernikahan itu tidak murni berlandaskan cinta semata. Pernikahan juga dibangun karena adanya dorongan dari anjuran agama, dorongan secara sosial dan kebudayaan serta dorongan biologis dari dalam diri individu. Oleh sebab itu, saya senang berpendapat jika cinta itu tidak buta. Cinta tidak membabi buta, menenggelamkan diri dalam kehendak-kehendak dan perilaku irrasional. Cinta tidak datang pada seseorang secara tiba-tiba, seolah dewa asmara melesatkan anak panahnya ke sembarang arah, acak. Jika memang deikian, maka pola-pola pernikahan tidak dapat diramalkan. Studi tentang siapa menikah dengan siapa mengungkapkan bahwa cinta disalurkan secara sosial.
© Alfizza Murdiyono · Designed by Sahabat Hosting