***


Waktu itu, kalau tidak salah --berarti benar-- sekitar pertengahan bulan Oktober, saya dan sahabat saya, Ratih Tyas Arini memutuskan untuk melewati liburan penghujung bulan di Kabupaten Ponorogo. Awal dari perjalanan di Ponorogo tak lebih hanya ingin liburan dan sejak adanya kabar kalau Reyog diklaim oleh Malaysia, saya jadi bercita-cita ingin menonton pertunjukan Reyog di daerah asalnya. Selama seminggu lebih kami berdua mengumpulkan uang untuk membeli tiket kereta. Pada tanggal 28 oktober 2013, kami pergi ke stasiun Semarang Poncol untuk membeli dua tiket kereta ekonomi-ac tujuan Stasiun Madiun. Kami mendapatkan tiket dengan jadwal keberangkatan pada tanggal 1 Nopember 2013. Selama berada di Ponorogo, kami akan menginap di rumah Buliknya Ratih, di desa Mambil.

Saya dan Ratih berangkat ke Stasiun Semarang Poncol sekitar pukul sepuluh malam dari Gunungpati karena kami menumpang kereta pukul satu malam menuju Madiun. Sebelum ke Stasiun Poncol, saya dan Ratih bersama rombongan CLIC Unnes sempat menghadiri acara Pameran Fotografi oleh Prisma Undip di PKM Undip Pleburan. Sesampainya di Stasiun Poncol, Ratih menitipkan sepeda motornya pada petugas parkir stasiun yang menerima penitipan motor. Selama di stasiun, kami sempat tidur-tiduran di atas kursi dan dikerubungi nyamuk-nyamuk nakal. Badan saya bentol-bentol merah dan gatal. Hal yang paling melegakan adalah ketika pukul satu lebih beberapa menit, terdengar suara kereta datang dan ternyata itulah kereta yang akan kami tumpangi. Kami menaiki kereta dan memulai petualangan untuk mendapatkan pembelajaran yang baru dan segar dalam kehidupan kami. Saya tidak sabar untuk segera menonton pertunjukan Reyog Ponorogo di tanah kelahirannya langsung.
Melintasi jalur kereta api Semarang-Madiun-Kediri sudah dua kali saya lakukan. Spot favorit saya adalah persawahan hijau (kadang kekuningan) dan kabut-kabut pagi yang menyelimutinya di sepanjang rel kereta menuju stasiun Madiun. Saya merasa sedang berada di suatu tempat yang “Jawa bangeeettt meeen!!!” dan membuktikan cerita rakyat Dewi Sri itu benar adanya. Kami pun tiba di Stasiun Madiun kurang lebih pukul tujuh pagi. Kami berdua luntang-lantung di Stasiun Madiun karena bingung mau kemana dan harus bagaimana. Akhirnya kami pergi ke luar areal bangunan stasiun kemudian bertemu dengan tukang becak yang sibuk menawarkan jasanya pada kami. Di luar pagar stasiun, saya dan Ratih bertemu dengan seorang tukang becak yang sudah agak tua. Ia menawarkan harga jasa di bawah harga yang ditawarkan beberapa tukang becak yang sebelumnya. Kami minta diantarkan ke terminal, namun beliau bilang kalau mau ke Ponorogo tidak usah ke terminal, cukup menunggu di halte bus pinggir jalan depan SMA (saya lupa namanya). Bapak tukang becak tadi mengantarkan kami ke halte yang ia maksud. Ternyata halte itu cukup jauh juga. Lumayan juga, sekalian melihat-lihat sebagian kecil kota Madiun dan menikmati suasana pagi yang sejuk.


Tak begitu lama kemudian, saya dan Ratih sampai di halte depan SMA. Saat hendak membayar ongkos becak, bus tanggung tujuan Madiun-Ponorogo-Pacitan datang, jadi kami tidak perlu menunggu lama. Usai membayar ongkos becak sebesar Rp 10.000,-, kami bergegas naik ke dan duduk di dalam bus tanggung bergambar motor GP itu. Per satu orang membayar sejumlah Rp. 14.000,-. Kami sampai di Ponorogo sekitar satu jam kemudian, karena busnya berhenti-berhenti menaik-turunkan penumpang.




Dari jalan besar ke arah Pacitan, rumah bulik Ratih masih masuk ke dalam, persisnya saya tidak tahu. Yang saya tahu dengan jelas dan pasti, rumah bulik Ratih berada 100 meter dari Ponpes Gontor 1 (Putra). Hampir setiap sore saya dan Ratih bersepeda dan berkeliling komplek Ponpes Gontor tersebut, siapa tahu dapat jodoh ustad *hahaha…. *di‘amin’kan gak yaaa… JKalau saya justru berkeinginan, jika punya anak nanti, saya ingin menyekolahkannya di pondok pesantren atau masuk sekolah penghapal Qur’an. Keinginan yang agak muluk-muluk, tapi siapa tahu terwujud. In Shaa Allah….Setelah istirahat dan berkeliling desa, malam harinya, saya, Ratih, Sepupu Ratih (Mbak Nely yang kuliah di Malang) dan teman-temannya Mbak Nely pergi ke aloon-aloon Ponorogo. Di aloon-aloon itulah acara Festival Reyog Nasional XX digelar.

***

Tahun baru Islam Satu Muharram dikenal dalam kalender Jawa dengan nama Satu Suro. Satu Suro ini bagi banyak kalangan memiliki pemaknaannya sendiri. Umumnya yang terjadi dalam masyarakat Jawa, Satu Suro diperingati sebagai hari besar yang mereka rayakan dengan semarak. Di beberapa tempat, misalnya pada daerah pusat-pusat kebudayaan Jawa yaitu di Yogyakarta dan Surakarta sudah menjadi tempat teramai yang banyak dikunjungi turis lokal maupun turis mancanegara. Mereka datang berbondong-bondong untuk menyaksikan pesta rakyat dan sederet ritual-ritual yang mengandung unsur religi, mistis dan kental budaya Jawa. Sementara itu, daerah-daerah yang letaknya berada di luar pusat kebudayaan Jawa (daerah monconegoro) pun tak kalah ramainya. Sebelumnya mungkin ada teman-teman yang belum paham tentang bentang sosial budaya pada masyarakat Jawa. Oleh sebab itu, ada baiknya saya mengulas sedikit pengetahuan tentang struktur kekuasaan dalam masyarakat Jawa.


Struktur kekuasaan dalam masyarakat Jawa ini berkaitan dengan pembagian wilayah tempat tinggal antara raja dan rakyat Jawa secara keseluruhan. Gampangnya bisa disebut sebagai pemetaan wilayah permukiman pada masa kerajaan Jawa yang masih berpengaruh hingga kini. Ada pandangan Jawa yang konsepnya dipengaruhi mandala dalam istilah Hindu yang berarti arah mata angin, yaitu kiblat papat, limo pancer. Arah mata angin ada empat, yaitu utara, timur, selatan, dan barat. Namun, pada perpotongan keempat arah mata angin terdapat satu titik pusat (center, central) yang masyarakat Jawa menyebutnya dengan istilah pancer. Pancer atau titik pusat inilah yang melambangkan Raja atau Gusti. Sementara keempat arah mata angin melambangkan luasan wilayah Jawa yang berada dalam kekuasaan Raja. Wilayah kekuasaan raja dapat dibuat skema berbentuk lingkaran yang berlapis-lapis. Semakin jauh dari titik pusat lingkaran maka semakin jauh dan luas wilayahnya. Raja sebagai pusat kekuasaan secara politis dan kebudayaan letaknya berada di tengah-tengah lingkaran. Posisi Raja dikitari oleh kawasan Keraton sebagai kediaman Raja serta aktivitas pemerintahan kerajaan. Pada lingkaran kedua merupakan wilayah Kuthonegoro atau ibukota yang didiami oleh para bangsawan atau orang-orang kaya pada zaman kerajaan. Selanjutnya pada lapisan atau lingkaran ketiga merupakan wilayah Negorogung atau Negerigung yang berarti tanah kota yang lebih luas. Daerah ini meliputi daerah Kedu yaitu Magelang, Purworejo, Temanggung, Wonosobo, dst.

Di daerah Negorogung inilah tanah-tanah milik para bangsawan berada tetapi tanah-tanah tersebut tetap dikuasai oleh Raja. Bangsawan tetap harus tinggal di dalam wilayah Kuthonegoro. Wilayah letaknya jauh dari pusat pemerintahan Raja disebut wilayah Monconegoro. Wilayah Monconegoro diberikan hak otonom oleh Raja untuk mengurusi diri sendiri, namun para pemimpin wilayah ini harus tetap tunduk pada aturan Raja. Misalnya saja di Kabupaten Tegal terdapat seorang sunan yang memimpin rakyat Tegal, yaitu Sunan Amangkurat yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Tegal Arum. Sunan Tegal Arum meninggal ketika Sultan Trenggono dari Madura menyerang. Setiap tiga kali dalam setahun, para Bupati dari berbagai daerah Monconegoro harus sowan kepada Raja dengan cara melaksanakan tradisi suro, maulid Nabi (diperingati dengan acara Sekaten selama satu bulan) dan satu syawal. Jika Bupati Monconegoro tidak sowan kepada Raja, maka Bupati tersebut dianggap sedang menentang raja dengan ritual protes mbalelo. Pada lapisan lingkaran terakhir terdapat wilayah pesisir. Pesisir Jawa dibagi menjadi dua wilayah, yaitu wilayah pesisir wetan dan pesisir kulon (alus: kilen).


Dari pemaparan di atas, saya harap anda sudah mendapatkan gambaran mengenai wilayah kekuasaan Raja Jawa dengan Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa. Jadi, Kabupaten Ponorogo, Tulungagung, Kediri, dan sekitarnya termasuk wilayah Mancanegoro. Ritual-ritual kejawen yang dilaksanakan pun sudah tidak terlalu kental dan sudah banyak dimodifikasi. Modifikasi peringatan hari-hari besar dalam masyarakat Jawa dilakukan dalam motif ekonomi, misalnya agar banyak turis yang datang. Dalam memperingati Satu Suro atau Satu Muharram , tiap daerah memiliki ritual masing-masing. Misalnya saja di Surakarta dengan keberadaan Keraton Kasunanan Surakarta yang merupakan perpecahan dari kerajaan Mataram mengadakan ritual Kirab Kebo Bule dan memandikan pusaka keraton. Demikian pula halnya yang dilakukan oleh Keraton Kasepuhan Cirebon. Gunung Kawi yang berada di Kabupaten Malang pun sangat ramai dikunjungi masyarakat untuk berdoa. Namun lain halnya dengan pemerintah Kabupaten Ponorogo yang menyelenggarakan perhelatan akbar Festival Reyog Nasional XX. Festival Reyog Nasional XX berlangsung selama satu minggu, yakni mulai tanggal 29 Oktober hingga puncaknya pada malam Satu Suro tanggal 4 Nopember 2013.




Ponorogo memang terkenal dengan julukan “Bumi Reyog” karena disinilah sebuah tarian magis nan eksotis bernama Reyog awalnya tercipta. Kesenian Reyog Ponorogo ini telah dikenal luas hingga mancanegara dan memang sering dipentaskan di panggung Internasional. Ya, kesenian Reyog terus berkembang mengikuti zaman. Dulunya Reyog sebagai seni tradisi komunal sekarang telah berkembang menjadi kesenian kontemporer yang dapat dinikmati di luar lingkup Ponorogo. Faktanya dalam Festival Reyog Nasional ini, kelompok seni Reyog datang dari berbagai kota di Indonesia dan menunjukkan bahwa kesenian Reyog pun diminati dan dipelajari oleh orang luar Ponorogo. James T. Seagel (Cornell Univ.) membagi struktur berpikir masyarakat Jawa menjadi dua, yaitu halus (alus) dan kasar. Struktur halus-kasar ini tercermin dalam hampir setiap aspek kehidupan masyarakat Jawa, misalnya dalam struktur bahasa, komunikasi, musik hingga seni tari. Tari Reyog tergolong tarian yang “kasar” karena dipentaskan untuk hiburan rakyat dan gerakan-gerakan dalam tariannya terkesan “brutal”. Sementara tarian yang halus hanya dipentaskan dalam lingkup kerajaan atau keraton, contohnya tari Gambyong.


Menurut Badudu (1994: 1160), reog dikenal sebagai salah satu kesenian tradisional masyarakat dan merupakan tarian yang menghibur. Di pulau Jawa, reog termasuk seni tradisional rakyat untuk hiburan, dilakukan dalam bentuk tarian. Sifatnya hiburan dan mengandung sindiran -sindiran terhadap kejadian di masyarakat.


Reog Ponorogo  sudah ada sejak jaman Majapahit akhir, sekitar akhir abad XIV. Seni Reyog atau Barongan bermula dari Demang Ki Ageng Kutu Suryongalam di Wengker (Ponorogo waktu itu) yang ingin menyindir Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V. Sang Prabu pada waktu itu sering tidak memenuhi kewajibannya karena terlalu dipengaruhi dan dikendalikan oleh permaisuri. Oleh karena itu dibuatlah barongan yang terbuat dari kulit macan gembong (harimau Jawa) yang ditunggangi burung merak. Sang prabu dilambangkan sebagai harimau sedangkan  merak yang menungganginya melambangkan sang permaisuri. Di masa kekuasaan Adipati Batoro Katong yang memerintah Ponorogo sekitar 500 tahun lalu, reyog mulai berkembang menjadi kesenian rakyat.


Reyog mengacu pada beberapa babad. Salah satunya adalah babad Kelana Sewandana. Babad Klana Sewandana konon merupakan pakem asli seni pertunjukan reyog. Mirip kisah Bandung Bondowoso dalam legenda Lara Jongrang, Babad Klono Sewondono juga berkisah tentang cinta seorang raja, Sewondono dari Kerajaan Bantarangin, yang hampir ditolak oleh Dewi Sanggalangit dari Kerajaan Kediri. Sang putri meminta Sewondono untuk memboyong seluruh isi hutan ke istana sebagai mas kawin. Demi memenuhi permintaan sang putri, Sewandono harus mengalahkan penunggu hutan, Singa Barong. Namun hal tersebut tentu saja tidak mudah. Para warok, prajurit, dan patih dari Bantarangin-pun menjadi korban. Bersenjatakan pusaka cemeti Samandiman, Sewondono turun ke gelanggang dan mengalahkan Singobarong.

Versi lain dalam Reyog Ponorogo mengambil kisah Panji. Ceritanya berkisar tentang perjalanan Prabu Kelana Sewandana mencari gadis pujaannya, ditemani prajurit berkuda dan patihnya yang setia, Bujangganong. Ketika pilihan sang prabu jatuh pada putri Kediri, Dewi Sanggalangit, sang dewi memberi syarat bahwa ia akan menerima cintanya apabila sang prabu bersedia menciptakan sebuah kesenian baru. Dari situ terciptalah Reog Ponorogo dengan Singobarong sebagai tokoh utamanya. Singobarong dapat ditafsirkan sebagai simbol yang merepresentasikan sosok dua sosok binatang, yaitu harimau dan merak. Harimau melambangkan kekuatan, kekuasaan. Merak melambangkan kecantikan dan keanggunan. Merak di atas harimau menggambarkan kekuatan dan kekuasaan di bawah kendali kecantikan serta keanggunan.


***

Saat itu saya membawa dua kamera, kamera satu saya pinjamkan kepada Ratih dan kami mulai menjadi photo hunter seperti fotografer saja padahal bukan. Kami kehabisan tiket, namun saat kami melihat kesempatan di pintu masuk orang berdesak-desakan, kami pun ikut berdesakan untuk masuk dan akhirnya lolos masuk tanpa tiket. Suatu tindakan yang tidak terpuji dan jangan ditiru !


Di area pertunjukan, kami tidak mendapat tempat, kalau mau mengambil gambar pun terlalu jauh jaraknya. Saya dan Ratih berjalan ke depan, namun ternyata area penonton yang VIP dengan penonton biasa dipisahkan oleh pagar besi yang tingginya sepundak saya. Saya berinisiatif memanjat ke panggung lighting dan pengatur backsound yang agak tinggi. Penonton di barisan paling depan menyuruh kami untuk naik ke atas tempat pengarah lighting tersebut. Kami memanjat pagar dan naik ke panggung kecil tempat pengarah lampu pentas dan suara. Disana kami malah di bantu naik oleh seorang mas-mas crew dari acara festival reyog ini yang saya tidak tahu namanya dan bertugas di bagian apa. Ia menarik tangan  Setelah mengambil beberapa foto dari atas, kami memilih turun ke areal penonton VIP. Kami menerobos sampai ke barisan paling depan. Ternyata di sana banyak fotografer yang kelelahan atau sekedar ingin menikmati pertunjukan sedang duduk-duduk di tanah. Saya dan Ratih memberanikan diri maju mendekati panggung dari arah pojok kanan dan mengambil beberapa gambar di sana.Kami tidak tahan berlama-lama berada di pinggir panggung karena lampu sorot di belakang kaki terasa hangat-hangat panas. Akhirnya saya dan Ratih duduk-duduk di tanah dengan jarak beberapa puluh meter dari panggung utama Kami berkenalan dan membuat percakapan dengan orang lain sambil menyaksikan pertunjukan Reyog Ponorogo. 

  



Sumber bacaan:

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua,  Balai Pustaka, (1995). Jakarta.

Catatan kuliah Bentang Sosial Budaya Masyarakat Jawa (sem. 3) dan Struktur Masyarakat Jawa (sem. 4) yang diampu oleh Ibu Rini Iswari dan Bapak Nugroho Trisnu Brata.


***Ternyata menulis catatan saat kuliah berlangsung itu membawa manfaat sangat baik yaaa :D

****kalau ada yang tidak sesuai atau ada tambahan, dsb, silahkan mengisi kolom komentar. Diskusi akan sangat bermanfaat untuk memperluas wawasan :)

terimakasih...

salam,

Alfisyahr Izzati

SHARE 0 comments

Add your comment

© Alfizza Murdiyono · Designed by Sahabat Hosting