Kisah ini merupakan catatan harian perjalananku selama mengikuti kegiatan Teknik Penelitian Lapangan bersama teman-teman Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada di Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah.
Perjalanan yang takkan terlupakan karena kesaannya yang begitu mendalam di dalam hati ini. Lapangan, masyarakat, menyajikan berbagai model kehidupan yang unik dan menarik. dengan berpartisipasi secara langsung, mengambil bagian dalam kehidupan orang lain, menyadarkanku ternyata banyak sekali pelajaran hidup yang dapat diambil hikmahnya dan bisa diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Saya dan rombongan, sekitar 110 orang (kalau tidak salah), berangkat dari FIB UGM pada hari Selasa tanggal 14 Januari 2014 pukul 22.00 WIB menuju Kec. Pulosari, Pemalang.
Kami sampai di Kec. Pulosari keesokan harinya .
"Secangkir teh pertama" menjadi awal hubungan kita, ibu, bapak, dan adik-adik baruku....
Dalam tegukan pertama mungkin kita masih malu-malu.
Dalam tegukan kedua, mungkin kita baru mulai membuka diri.
Dalam tegukan kedua, mungkin kita baru mulai membuka diri.
Dalam tegukan ketiga, percakapan hangat kian terbangun, sehingga menghasilkan tegukan selanjutnya dan bercangkir-cangkir teh hangat yang mengakrabkan kita.....
Minggu pertama di Gunungsari...
Rabu,
15 Januari 2014
Sampai di kecamatan Pulosari,
kabupaten Pemalang sekitar pukul 04.00 dini hari. Sepanjang perjalanan dari
Jogja menuju Pemalang saya tertidur dan terbangun saat bus kami singgah di pom
bensin di Banjarnegara. Karena di sepanjang perjalanan saya sudah istirahat
cukup, jadi saat sampai di kantor kecamatan Pulosari, saya sudah tidak lagi
mengantuk dan merasa lebih segar. Saya masih teringat akan tugas yang belum
sempat saya kirimkan kepada dosen saya di Semarang. Saya menyelesaikan tugas
tersebut dan rencananya mau mengirimkannya menggunakan wifi dari handphone
saya, tetapi ketika wifi saya sambungkan tiba-tiba masuk sinyal wifi yang
asalnya dari balai pertemuan kecamatan Pulosari yang kami tempati. Sejak saat itu
saya meyadari kalau di gedung tersebut terdapat fasilitas wifi yang bisa saya
manfaatkan untuk mengirim tugas. Saya menyadari kalau ternyata program internet
masuk desa telah dijalankan dan sepertinya masyarakat kurang memanfaatkan
fasilitas tersebut.
Udara dingin Pulosari menembus
sampai ke tulang. Saya melumuri tangan, kaki, pundak dan tengkuk kepala dengan
minyak kayu putih agar terasa lebih hangat. Karena saya belum terbiasa berada
di tempat yang lebih tinggi daripada tempat hidup saya biasanya, penyakit beser
saya kambuh. Ketika hendak buang air kecil, saya kebingungan mencari kamar
mandi. Sebuah kebetulan, disaat yang sama Kanita mengajak saya untuk mencuci
muka dan sikat gigi ke masjid yang tak jauh dari kantor kecamatan. Pergilah
saya, Kanita, Ratih dan Ummi menuju masjid Kecamatan Pulosari. Saat itu pukul
setengah tujuh pagi, untuk pertama kalinya saya menyentuh air yang mengalir di
Pulosari, rasanya dingin sekali, seperti air es. Ya, kecamatan Pulosari memang
berada di ketinggian sekitar 850 hingga 1400 meter di atas permukaan laut. Saat
kaki saya menyentuh lantai masjid tanpa menggunakan kaos kaki, rasanya seperti
sedang berdiri di atas lantai yang dibawahnya ada es batunya. Terlebih saat
saya sedang mencuci wajah, rasanya segar dan dingin. Saat sikat gigi, gigi saya
terasa ngilu seperti gigi sensitive, padahal biasanya tidak begitu, bahkan saya
suka sekai menggigit-gigit es batu :D
*sangar yooo
Sepulang dari bersih-bersih diri di
masjid, saya ingin sekali pergi ke pasar kecamatan Pulosari yang sangat dekat
dengan kantor kecamatan. Iseng saja saya mengajak Ratih pergi ke pasar dan
rupa-rupanya Ratih pun berniat mengajak saya pergi ke pasar untuk membeli
sandal karena sandalnya putus. Kami pergi ke pasar. Di depan pasar telah ramai
ibu-ibu yang tengah bersiap pulang. Mereka membawa keranjang-keranjang yang
terbuat dari anayaman tali plastic berwarna-warni berisi penuh barang
belanjaan. Tersedia pula angkutan umum yang menurut saya unik dan saya ingin
sekali mencobanya. Angkutan tersebut sebenarnya mobil pick up yang di design menjadi angkutan massal untuk manusia dan
juga hewan (seperti kambing dan sapi), penduduk setempat menamainya coak. Angkutan tersebut dilengkapi
dengan besi-besi kokoh pada tepian angkutannya agar menjadi tempat pegangan dan
penyangga berdiri penumpang.
Setelah
memperhatikan coak cukup lama, saya
dan ratih melanjutkan perjalanan blusukan ke dalam pasar. Ratih menemukan toko
yang menjual berbagai jenis pakaian jadi, sandal, sepatu dan tas. Ia memilih
beberapa sandal dan ia membeli salah satu sandal yang ia pilih sesuai dengan
criteria yang ia tentukan. Misalnya kekuatan sandal, model dari sandal tersebut
dan yang jauh lebih penting adalah harga sandal tersebut. Ratih sempat
melakukan penawaran-penawaran harga demi mendapatkan sandal tersebut, yaah…
turun sepuluh ribu hingga dua puluh ribu rupiah lumayan sekali ya.
Setelah melakukan
transaksi jual beli sandal, Ratih dan saya blusukan masuk ke dalam pasar
kecamatan Pulosari. Di dalam pasar, saya menemukan berbagai pedagang yang
menjajakan dagangannya yang berupa hasil alam, olahan dari hasil alam, barang
pecah belah, bahan makanan, pakaian, alat-alat dapur hingga telepon genggam
bekas pun ada. Los-los di pasar tersebut benar-benar los, tidak bersekat-sekat.
Para pedagang selalu ribut menawarkan dagangannya kepada kami yang melewati los
mereka. Saya juga menyaksikan transaksi antara pedagang dan pembeli yang
terjadi di pasar ini. Semua sih masih terlihat biasa saja, namun mungkin ada
sesuatu yang berbeda jika saya memang benar-benar menelisiknya.
Puas
berkeliling pasar, saya dan Ratih kembali ke balai kecamatan mengingat kami
akan dipertemukan dengan perangkat atau pejabat kecamatan dan perangkat desa
tempat kami akan berburu informasi yang akan kami laporkan nanti. Sesampainya
di balai kecamatan, lagi-lagi makanan datang menghampiri kami. Sepertinya kali
ini kami hidup berkelimpahan makanan.
Saya dan sembilan orang teman satu
desa dijemput langsung oleh pak Kades kami, pak Teteg Winanteya. Kami diangkut
menggunakan mobil APV berwarna purple milik kerabat pak Kades. Jalur menuju
desa kami, desa Gunung sari adalah melalui desa Nyalembeng, kemudian masuk desa
Karangsari dan sampailah di desa Gunungsari. Jalanan yang kami lalui kurang
nyaman. Banyak lubang-lubang sehingga membuat mobil berjalan tidak stabil.
Perut saya terasa seperti terkocok-kocok. Sesampainya di gapura perbatasan
antara desa Karangsari dengan desa Gunungsari, jalan masih sama, masih penuh
lubang dari aspal yang rusak.
Pada
akhirnya kami menemukan jalan bagus di dekat tanjakan. Kami dibawa menuju rumah
Pak Kades di dusun Sipendil. Kami bertemu dengan bu Kades yang menurut saya
cantik dan ramah. Wajahnya bu Kades bersih dan pipinya kemerah-merahan. Di
rumah pak Kades kami dijamu makan.
Setelah berjam-jam mengobrol di
rumah Pak Kades, kami berlanjut mengantarkan Mas Imam dan Tejo di Sibedil, di
rumah Pak Edi. Giliran terakhir yaitu mengantarkan saya, Vita dan Mbak Hanna ke
rumahnya Pak Wanito di dusun Krajan.
Bapak
yang sedang bersantai di ruang tv, saya membuka percakapan dengan membahas
merantau. Kata bapak, merantau biasanya
dilakukan oleh berbagai kalangan, tetapi kebanyakan laki-laki yang merantau
sedang para istri lebih memilih untuk bertani dan berternak di rumah. Sebagian
lagi penduduk desa golongan muda merantau untuk mendapatkan pendidikan yang
lebih layak dan lebih tinggi, karena di desa Gunungsari hanya terdapat sekolah
dasar dan PAUD saja, sedangkan SMP dan SMA biasanya pergi ke Moga atau Pemalang. Umumnya,
anak-anak yang sekolah di Moga tidak sampai merantau atau tinggal terpisah
dengan orang tua mereka, tetapi mereka melaju naik sepeda motor. Saat SMA
biasanya anak-anak lebih memilih pergi ke Pemalang kota karena disana terdapat
banyak SMA yang diunggulkan, yang jauh lebih baik kualitasnya ketimbang di daerah
kecamatan. Bapak juga mengatakan bahwa desa Gunungsari merupakan salah satu
desa yang memiliki akses ke desa manapun dengan mudah. Mudahnya akses ini
membuat desa Gunungsari cukup berkembang dan masyarakat mudah untuk menentukan
pilihan baik dari segi kesehatan, hiburan, pendidikan, dan lain-lain. Bila di
desa tidak terpeuhi mereka akan pergi mencari ke desa yang lain yang mampu
memenuhi kebutuhan mereka.
Kamis, 16 januari 2014
Hari ini saya bangun tidur pukul
05.12 pagi. Seperti hari-hari biasanya, hari ini masih terasa dingin sekali.
Saya tetap memaksakan bangun dari tempat tidur, memakai rok dan jilbab saya
kemudian bergegas menuju kamar mandi dan mengambil air wudhu. Dalam keadaan
basah, saya merasa sedikit menggigil dan gigi-gigi saya gemerutuk. Saya
menunaikan kewajiban salat subuh. Setelah salat, saya kembali ke tempat tidur
dan melanjutkan tidur dalam kantong
tidur (sleeping bag) yang menghangatkan
tubuh saya. Pukul 07.18 pagi yang masih tetap dingin ini, saya bangun untuk
kedua kalinya dan sudah tidak bisa tidur lagi. Saya mendengar suara kemerisik
sapu lidi yang diayunkan berkali-kali di atas tanah. Ibu sedang menyapu halaman
samping rumah yang dipenuhi dedaunan kering yang jatuh di halaman dan basah
karena hujan.
Saya bergegas bangun dari tempat
tidur karena dalam jadwal harian saya mendapati catatan tentang kegiatan acara
musyawarah rencana pembangunan desa atau yang biasa disingkat Musrenbangdes
untuk tahun 2015 di balai desa Gunungsari. Sebenarnya saya bersemangat sekali
untuk mengikuti kegiatan tersebut, namun dari dalam tubuh saya ini yang kurang
mendukung. Saya merasa meriang, menggigil kedinginan. Hawa dingin desa
Gunungsari yang letaknya di kaki Gunung Slamet menusuk hingga ke tulang. Jaket
dan sleeping bag yang saya bawa dari
Semarang menjadi dewa penolong saya disaat-saat seperti ini. Tanpa menghiraukan
desakan dari dalam tubuh saya yang meminta untuk beristirahat lebih lama karena
tadi malam saya baru terlelap pada pukul 00.40 dini hari, saya langsung
berangkat ke balai desa yang letaknya di dusun Sipendil –lebih tinggi dari
dusun Krajan tempat saya tinggal-. Kami bertiga –saya, Vita dan Mbak Hanna-
ditawari bapak dan ibu sepeda motor mereka yang jarang terpakai, Honda Beat F1
model terbaru. Berhubung cuma ada satu sepeda motor, maka kami harus bergantian
memakainya dan saling mengantar-jemput.
Sesampainya di kantor balai desa,
saya disambut oleh beberapa bapak-bapak yang kemudian menyalami saya dan
sedikit berbincang mengenai asal saya. Setelah basa-basi sekitar lima menit,
saya diajak masuk ke dalam bangunan kantor balai desa yang menghadap ke arah
timur. Di dalam balai desa, saya diharuskan untuk mengisi daftar hadir kegiatan
Musrenbangdes untuk 2015 tersebut.
Adapun susunan acara pada
Musrenbangdes untuk tahun 2015 pada hari ini adalah sebagai berikut; pembukaan,
laporan ketua PPN, pembacaan hasil-hasil musyawarah dusun yang ternyata dari
masyarakat dusun sendiri banyak mengajukan usulan, serah terima PNPM 2013,
acara inti yaitu musyawarah masyarakat desa mengenai hal apa yang benar-benar
urgent untuk diajukan ke pemerintah. Perlu kita ketahui bahwa rencana pembangunan
desa terdiri dari tiga pembangunan fisik dan dua pembangunan non fisik, berupa peningkatan
sdm melalui pelatihan-pelatihan baik pelatihan pemberdayaan perempuan,
bapak-bapak atau campuran. Rencana pembangunan ini memang direncanakan satu tahun
sebelumnya. Jadi untuk tahun 2014 ini sudah direncanakan kemarin tahun 2013. Untuk
laporan pertanggungjawaban tahun 2013 dari tiga pembangunan fisik yang direncanakan
semuanya telah terlaksana dengan baik. Program desa tahun 2014 ini melanjutkan apa
yang menjadi kekurangan tahun 2013 seperti jalan yang baru 400 m dari balai desa
akan ditambah lagi atau dilanjutkan.
Ada
banyak laporan untuk hasil rapat hari ini. Sebenarnya 120 milyar dana APBD tidak
mungkin cukup untuk mendanai pembangunan desa di seluruh Kabupaten Pemalang.
Untuk desa gunung sari saja diperlukan sekitar 1,2 Milyar untuk membangun hanya
berupa fasilitas jalan dan belum sepenuhnya masih ada banyak
jalan yang harus diperbaiki dan ditambah sebagai sarana mempermudah untuk mencapai
desa yang berada pada ketinggian 1145 mdpl.
Sebenarnya
ada masalah yang bagi masyarakat sangat penting ialah sumber air. Masyarakat
selalu mengkhawatirkan akan terjadi lagi kesulitan air saat musim kemarau tiba.
Untuk tahun 2014 ini dari kecamatan
sudah mengsahakan bantuan dana sekitar 8,5 miliar untuk membuat sistem pengairan
yang mampu memenuhi kebutuhan air di 12 desanya, sehingga ketika musim kemarau
tiba, masyarakat tidak perlu susah-susah mengangkat air sejauh kurang lebi satu
kilometer di daerah Karangsari. Masyarakat hanya perlu membayar sebesar Rp 10.000,-
tiap bulannya untuk perawatan bulanan. Saya melihat potensi bagus dari desa
ini. Seperti desa-desa pada kaki gunung api yang tanahnya sangat subur,
sebenarnya jika diolah dengan manjemen perkebunan yang baik misalnya dalam satu
areal kebun hanya ditanaman sekurang-kurangnya satu atau dua jenis tanaman saja,
maka kebun tersebut akan lebih menghasilkan. Jadi antara tanaman satu dengan
tanaman lainnya tidak saling tumpang tindih di atas tanah dan saling berebut unsur
hara dalam tanah. Potensi ternak dan tanaman yang selama ini hanya digunakan atau
menjadi konsumsi masyarakat lokal saja. Padahal ya menurut saya, agrikultur di
desa tersebut bisa ditingkatkan lagi. Mungkin seharusnya kepala desa di
daerah-daerah subur perlu mendapat pembelajaran dari desa-desa kaki gunung yang
subur di daerah lain yang sudah maju. Hal ini diperlukan agar hasil kebun
masyarakat tidak melulu hanya menjadi konsumsi pribadi, namun juga bisa di
kirim ke daerah-daerah lain sehingga pendapatan masyarakat meningkat.
Saya merasa semakin tidak enak
badan. Meriang. Saya tidak mampu mengikuti seluruh rangkaian acara
Musrenbangdes hingga selesai. Akhirnya saya memutuskan untuk pulang dengan
diantarkan Mbak Hanna. Sesampainya di rumah,ibu sedang menonton televisi. Saya
berkata pada ibu, “Ibu, izza gak enak badan, kalau tukang pijet ada gak ya
bu?”, kemudian ibu menjawab, “ga ada mbak, adanya dukun bayi… mau dipijet dukun
bayi?”, dengan sumringah saya menimpali, “yo ndakpapa toh bu, yang penting
badannya izza cepat enakan, anginnya keluar semua…”, entah kenapa tiba-tiba ibu
tertawa, “kalo si mbak mau dipijet sama dukun anak ya gakpapa mbak, tapi nanti
dikira mau aborsi” …. SHOCK meeen !!! saya hanya bisa tertawa mendengar
celetukan ibu. Ahh… Ibu memang suka bercanda.
Saya
masuk kamar dan menenggelamkan diri di dalam sleepingbag yang kemudian dilapisi lagi dengan bedcover tebal. Saya mencoba menghangatkan diri agar keringat yang
terpendam dalam tubuh ini bisa keluar. Saya memaksakan diri untuk terlelap pada
sekitar pukul satu siang.
Saya
bangun dari tidur sekitar pukul setengah empat lebih. Di luar hujan deras. Saya
merasakan kepanasan dan badan saya lengket. Ternyata keringat dalam tubuh saya
telah keluar. Akhirnya… Saya optimis akan segera sembuh. Saat itu, vita duduk
di samping saya sedang mengetik sesuatu di notebooknya. Ia menawarkan diri
untuk menjemput ibu dukun anak yang saya bicarakan pada ibu tadi siang. Saya
menyambut baik tawarannya tersebut. Vita bergegas keluar rumah dan pergi
bersama dik Hanna menggunakan payung untuk memanggil ibu dukun anak yang rumahnya
tak jauh dari rumah kami. Sekitar beberapa menit kemudian, Mbak Hanna
membawakan saya segelas minuman jahe hangat. Saya menikmati aroma jahe yang
menyegarkan dan meringankan pusing yang saya derita. Saya meneguk minuman jahe
hangat tersebut perlahan. Rasanya sungguh nikmat dan menghangatkan tenggorokan
saya. Mabk Hanna bilang, ia dan ibu membuatkan minuman jahe ini special untuk
saya. Spesial resep dari ibu, jahe hangat ditambahi merica. Pantas saja rasanya
agak lebih hangat daripada minuman jahe biasa.
Bahagianya
saya punya partner seperti Vita dan Mbak Hanna serta keluarga ibu yang sangat
perhatian. Ibu dan bapak memperlakukan kami bertiga layaknya anak kandung
mereka sendiri. Sungguh rumah yang nyaman.
Lima belas menit kemudian
datanglah Vita dan Ibu dukun anak ke dalam kamar. Saya bersiap-siap untuk
dipijat.Sambil dipijat, saya berbincang-bincang tentang kebiasaan masyarakat
desa terkait perawatan pasca melahirkan. Jadi intinya, ibu-ibu yang baru
melahirkan di desa Gunungsari lebih percaya pada kemampuan dukun bayi untuk
membantu persalinan mereka. Mereka juga membutuhkan bantuan dari bidan yang di
setiap desa memang memiliki minimal satu bidan. Namun, tugasnya bidan hanya
sebatas memberikan racikan obat medis, sementara dukun bayi lah yang mengurus
persalinan. Dukun bayi harus mempersiapkan persalinan mulai dari persiapan
sebelum bersalin, membuat ramuan obat-obatan tradisional untuk ibu melahirkan
dan ibu menyusui, membantu saat persalinan, memotong tali pusar bayi, hingga
merawat bayi dan ibu hingga 40 hari pasca melahirkan. Dukun bayi mampu memijat
perut ibu yang baru melahirkan untuk membersihkan sisa-sisa melahirkan. Dukun
bayi juga mampu memijat bayi agar tumbuh sehat. Menurut ibu dukun bayi
tersebut, ia merasa mantap dalam pekerjaannya ini karena pada awalnya pekerjaan
ini merupakan keahlian yang diwariskan oleh ibunya ditambah lagi dengan
sertifikasi dukun bayi oleh pemerintah daerah. Sertifikasi ini dilakukan agar
para dukun bayi memiliki kemampuan yang mumpuni dalam bidang persalinan. Pada
tahun 2010, ibu dukun bayi mengikuti kegiatan pelatihan dukun bayi di balai
kecamatan demi mendapatkan sertifikat. Dalam pelatihan itu, ibu dukun bayi
mendapatkan banyak pengetahuan tentang obat-obatan medis seperti yang digunakan
bidan, kemudian ibu dukun bayi jadi lebih tahu tentang teknik-teknik membantu
melahirkan dan merawat ibu pasca melahirkan.
Setelah empat puluh hari membantu
persalinan, maka keluarga yang kelahiran putranya dibantu tersebut sudah
sepatutnya membalas kebaikan dukun bayi tersebut yaitu dengan mengadakan acara
balas bidan. Balas bidan atau balas dukun bayi itu bisa diselenggarakan secara
kecil-kecilan saja misalnya dengan mengantarkan makanan ke rumah dukun bayi
tersebut atau acara balas bidan digabungkan dengan acara selamatan besar.
Saya memberikan ucapan
terimakasih dan memberikan uang Rp 35.000,- kepada ibu dukun bayi.
Alhamdulillah, badan saya sudah agak ringan.
Jumat, 17 januari 2014
Hari ini saya bangun pukul tujuh
pagi. Terdengar alunan musik dangdut dari rumah tetangga. Tak lama setelah
bangun, saya beranjak dari tempat tidur langsung menuju dapur karena di dapur
terdengar suara ibu-ibu yang agak ramai. Ternyata di dapur sedang ada dua orang
ibu yang membeli sayur dan bumbu dapur di warung kecil-kecilan milik Ibu. Saya
bersalaman dengan keduanya dan tersenyum lebar sekali –padahal belum sikat gigi
dan cuci muka-. Keduanya membalas senyuman saya dengan sangat menyenangkan dan
ramah. Salah seorang ibu mengajaka saya untuk menghadiri acara pengajian rutin
ibu-ibu di dusun Krajan pada hari Jumat ini dengan tema special, yaitu
Memperingati Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW atau biasa disebut hari Maulid.
Sontak saya gembira mendengar ajakan ibu tersebut dan langsung bertanya pada
Ibu saya –Bu Iin, istri Pak Wanito-, “Ibu datang kan?”, kemudian ibu menjawab,
“iya datang, Izza mau ikut?”, kamudian dengan sumringah aku menjawab, “Iya bu,
ikut yaa, hehe”. Ntah apa yang saya pikirkan saat itu, padahal sebelumnya saya
belum pernah pergi atau ikut Mama datang ke pengajian di perumahan. Tetapi kali
ini saya sangat bersemangat, yang pasti semangat mencari kenalan ibu-ibu dan
mulai mencari informan.
Siang itu pengajian diadakan
mulai pukul 14.00, Saya, Mbak Hanna dan Ibu yang pergi ke masjid. Sementara itu
vita sedang pergi entah kemana. Suasana gerimis dan awan hitam menggantung
rendah. Ahh… sudah dua hari tidak terpapar sinar matahari, produksi vitamin D
dalam tubuhku mungkin sedikit terhambat, maakanya aku mudah sakit (hahaha, sok
tahu). Begitu memasuki masjid, kami bertiga harus menyalami para ibu yang
datang kali itu dan kegiatan salaman itu begitu melelahkan. You Know that, kita
harus menyalami hadirin sekitar 35-an orang, Oh my Goodness! Tapi tidak
masalah, toh ini awal dari perkenalan kami, ramah-tamah lah ya…. Saya dan Mbak
Hanna memilih duduk di deret paling belakang, di bagian kiri masjid. Sejenak
saya mengikuti pengajian dengan khusyuk. Beberapa saat kemudian, saya
mengeluarkan kamera dan mulai foto-foto.
Pada saat khataman Al-Barzanji, saya mengambil sedikit rekaman video.
Mungkin sikap saya yang seperti itu kurang sopan, namun sepetinya hadirin
mengerti, apalagi posisi saya sebagai orang baru, orang asing. Menariknya, para
ibu yang datang pengajian ini membawa serta anak-anak mereka. Ada beberapa ibu
yang memiliki bayi lantas menggendong dan mendekap anak mereka di depan dada
selama pengajian berlangsung, ada pula ibu-ibu yang menggeletakkan anak bayinya
di lantai yang dingin meskipun sang bayi telah di bedung memakai kain jarik dan
dialasi sajadah. Setelah bersholawat dan khataman Al-Barzanji, acara
dilanjutkan dengan kultum yang disampaikan oleh Bu Haji. Di awal ceramah beliau,
Bu Haji memanggil saya dan mbak Hanna untuk duduk disamping beliau. Ternyata,
bu Haji hendak memperkenalkan kami berdua kepada ibu-ibu pengajian agar mereka
tidak asing lagi dengan kami. Pengajian bersama ibu-ibu di dusun Krajan ini
sangat asik. Hal yang luar biasa bagi saya adalah di dalam kultumnya, Bu Haji
membahas tentang kesetaraan gender dan semua ibu tampak sudah mahfum dengan
kata-kata tersebut. Pada intinya ceramah yang Ibu Haji berikan adalah tentang
mengapa ibu-ibu yang lebih banyak antusias merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Jadi ternyata ada hubungan antara masa dimana pada saat itu Rasulullah belum
dilahirkan, perempuan derajatnya rendah dan anak-anak bayi yang lahir berjenis
kelamin perempuan harus di bunuh. Perempuan-perempuan muda di jual sebagai
pelampiasan nafsu. Namun setelah Nabi Muhammad lahir dan menjadi utusan Allah
SWT, beliaulah yang berusaha mati-matian untuk menyelamatkan kaum perempuan dan
menaikkan derajat kaum peremouan menjadi setara dengan kaum laki-laki. Hingga
pada saat ini berkembanglah suatu istilah “kesetaraan gender”. Pada saat bu
Haji menyebutkan kata “kesetaraan gender” ibu-ibu juga mengucapkan kata
tersebut hampir bersamaan, seolah kata itu sudah tak asing lagi bagi mereka.
Mulai dari sinilah titik ketertarikan saya terhadap kehidupan wanita khususnya
ibu-ibu yang ditinggal merantau oleh suaminya.
Pengajian ditutup dengan
makan-makan nasi bungkus yang telah dibawa oleh ibu-ibu dan kami diberikan nasi
yang bungkusnya menggunakan styrofoam
dengan lauk telur semur dan mie goreng. Mungkin nasi yang berwadahkan Styrofoam menunjukkan penghoramatan
mereka terhadap tamu, karena ibu-ibu yang lain membawa nasi bungkus yang
memakai kertas bungkus nasi biasan berwarna cokelat. Sepulang dari pengajian
sore ini, saya yang tertarik sekali dengan pembahasan gender bu Haji, langsung
mendekati bu Haji dan meminta ijin main ke rumah beliau. Ternyata rumah Bu Haji
tepat berada di depan masjid. Pukul setengah lima sore saya menuju rumah bu
Haji dan basa-basi. Saya bertemu dengan suami beliau yang bernama pak Haji
Agus. Pak Haji dan Bu Haji merupakan orang terpandang di desa Gunungsari ini.
Kalau saya lihat pada pandangan pertama saya saat berkunjung ke sana, mereka
adalah keluarga yang memang berkecukupan, memiliki rumah yang luas dan
permanen. Pada samping rumahnya yang menghadap ke arah barat –mungkin barat
laut- terdapat garasi yang di dalamnya ada satu unit mobil Avanza dan sepeda gunung juga sepeda motor.
Setelah berbincang, sekarang saya
tahu bahwa Pak Haji Agus adalah kepala sekolah di SDN Gambuhan dan Bu Haji juga
seorang guru SD. Mereka tidak pergi ke kebun seperti warga lainnya. Mereka
mempunyai dua orang anak lelaki yang sudah merantau sejak SMP di Pemalang
hingga sekarang kedua anak mereka menjadi dokter. Anak sulung mereka menjadi
dokter kecantikan atau aesthetic dan
anak bungsu mereka menjadi dokter di bidang radiologi dan rontgent yang kini
sudah menjadi Pegawai Negeri Sipil dan bertugas di R. S. Dr. Kariadi Semarang.
Anak bungsu mereka sudah berumur 30 tahun, namun belum juga menikah, malah
tahun 2013 ini melanjutkan studinya di Kedokteran Undip karena dapat beasiswa
dari pemerintah daerah untuk tugas belajar. Sementara putra sulung mereka telah
menikah dengan seorang gadis asal Semarang yang juga berprofesi sebagai dokter juga.
Pukul enam kurang beberapa menit,
kami pulang ke rumah. Di tengah jalan, kami bertemu dengan seorang bapak yang baru
saja pulang dari surau dan dua orang anak muda yang sedang mencuci sepeda motor
mereka cross mereka. Bapak tersebut sangat ramah. Hampir dalam setiap kalimat
yang beliau ucapkan diakhiri dengan sunyuman yang terlihat tulus. Sepertinya
beliau seorang ustad. Beliau bernama Tarsono. Pak Tarsono mengajak saya dan
Mbak Hanna untuk mampir sebentar di rumahnya, namun karena sudah terlalu sore
dan menjelang maghrib, kami memutuskan untuk menunda kunjungan kami dan
berjanji akan datang esok hari. Sesampainya di rumah, Vita belum juga sampai
rumah. Bapak dan Ibu terlihat mengkhawatirkannya. Ibu terlihat agak panik,
namun saya dan mbak Hanna berusaha menenangkan ibu dengan menyatakan
kemungkinan-kemungkinan yang melegakan. Akhirnya Vita pulang beberapa saat
setelah maghrib.
Usai maghrib, kami sekeluarga
berkumpul di ruang keluarga –depan tv-. Vita bercerita tentang kepala desanya kami
yang seorang penggila dangdut dan humoris. Ternyata besok malam akan ada orkes dangdut
beserta biduan dangdutnya di balai desa dalam acara perkenalan tim peneliti dari UGM dengan teman-teman KKN Univ. Jend. Soedirman (Unsoed) beserta warga desa Gunungsari, terutama pemuda yang tergabung dalam Karang
Taruna. Malam ini kami disuguhi bakso oleh bapak. Tadi sore saat saya
di rumah Pak H. Agus, ternyata bapak pergi keluar untuk membeli bakso.
Saya,
Vita, Mbak Hanna, Bapak, Ibu dan adik-adik berkumpul di depan televisi menonton
tayangan YKS yang sebenarnya saya tidak suka sama sekali. Namun, saya juga
harus berterima kasih pada YKS karena tayangan inilah yang membuat Bapak, Ibu
dan adik-adik serta teman-teman berkumpul dan bisa berbagi cerita J Kami membicarakan banyak hal, mulai dari dangdut,
tembakau, dan kebun. Mengenai tembakau, masyarakat Gunungsari ternyata juga
menanam tembakau, namun pada bulan februari saja dengan masa tanam selama 6
bulan dan sudah dapat di panen pada bulan agustus. Hasil tanaman tembakau
kebanyakan hanya di konsumsi sendiri atau untuk memenuhi konsumsi lokal tapi
juga ada yang dipanen dan di berikan pada agen untuk djual . orag sini
melakukan ngelinting rokok dan
meracik tembakau sendiri, katanya buat selingan rokok, selain Djarum juga ngelinting biar mantep katanya. Racikan
mereka berbeda, dimana ada satu proses yang proses tersebut jarang dilakukan
oleh pabrik rokok, yaitu tembakau yang di bakar atau di panas-panaskan dengan
bara api. Menurut masyarakat yang merokok, hasil dari proses itulah yang
menimbulkan kenikmatan tersendiri bagi mereka.
Hal lain yang kami bicarakan pada
malam itu ialah mengenai perbedaan karakter orang-orang atau masyarakat antar
desa. Karakter masyarakat Gunungsari dan Karangsari yang notabene wilayahnya
berdekatan saja sudah berbeda. Karakter orang Gambuhan dan Jurangmangu berbeda
juga, padahal dekat-dekat jarak mukimnya. Menurut cerita Vita yang sudah pernah
berkunjung ke desa-desa tetangga, di Karangsari banyak orang kayanya. Di balai
desanya ada papan dengan data berbentuk peta yang menunjukkan perbedaan ekonomi
penduduknya, antara keluarga kaya, sedang dan miskin. Sementara masyarakat yang
ada di desa Gunungsari tergolong masyarakat yang sederhana bentuk rumahnya
–sudah banyak rumah-rumah permanen dan semi permanen- tetapi orang-orangnya sangat
ramah. Kemudian, orang Gambuhan yang punya catatan criminal karena di Gambuhan
pernah terjadi pembunuhan. Desa Jurangmangu hanya terdiri dari dua dusun yang
luasnya sekitar satu dusun di Gunungsari dengan poopulasi 700 orang tapi
orangnya ramah dan tak beda jauh dengan orang-orang di desa Gunungsari. Jadi
menurut masyarakat desa Gunungsari, desa Karangsari sudah termasuk daerah kota
karena sudah terdapat pasar, rumah-rumah warganya sudah bagus-bagus dan pola
interaksi masyarakatnya sudah berbeda dengan masyarakat di pedesaan yang masih
menjunjung tinggi keramah-tamahan.
Karena sudah mengantuk berat,
akhirnya saya memilih untuk tidur lebih awal daripada Vita dan Mbak Hanna agar
besok pagi saya bisa bangun lebih awal pula.
Selamat istirahat :*
Selamat istirahat :*
Sabtu, 18 januari 2013
Hari ini saya bangun lebih awal,
jauh lebih awal dari biasanya. Saya mengerjakan salat subuh saat azan selesai
dan kembali ke kamar untuk tidur lagi. Namun entah karena waktu tidur saya
sudah cukup banyak, jadi saya tidak bisa terpejam dan melanjutkan tidur saya. Sudah setengah jam
saya mengetik-ngetik sesuatu di aplikasi notes handphone (saya suka curhat di
notes handphone. Hehehe… J). Di aplikasi notes juga saya
sering membuat suatu rancangan tentang apa yang ingin saya lakukan dalam waktu
dekat, dan semua pemikiran spontan saya hampir ada di notes. Pagi ini masih
seperti pagi-pagi kemarin, ya… hujan,dingin dan perasaan agak kecewa. Saya
pikir kecewa wajar ya, bukannya tidak mensyukuri nikmat Tuhan atas berkah yang
turun dari langit, namun lebih karena kecewa mengapa cuaca kali ini begitu
menjadi kendala bagi aktivitas meneliti dan berbaur bersama warga ini.
Hujan mereda, grimis turun
setitik-setitik. Kedua teman sekamar saya masih terlelap di peraduan
(hassseeekk J ). Saya pergi keluar kamar untuk
menggerak-gerakkan tubuh agar tidak kaku dan merasa kedinginan hebat seperti
kemarin-kemarin. Menghidupkan televisi, kemudian mematikannya kembali karena
saya bosan dengan tayangan televisi yang begitu-begitu saja. Kemudian saya
memutuskan untuk pergi keluar rumah dan loncat-loncat tidak jelas di teras
rumah yang lantainya membeku, dingin sekali. Saya mengambil handphone, berharap
menemukan sesuatu yang unik untuk difoto. Saya memotret buah kopi yang masih
hijau-hijau. Saya pergi ke pinggir jalan raya, menyapa satu persatuorang yang
lewat meskipun saya tidak mengenal mereka. Saya mendengar suara kambing yang
agak berisik, kemudian saya mencari sumber suara. Actually, saya sangat
menyukai kambing. You know what, sejak SMP saya bercita-cita menjadi juragan
kambing yang memiliki 1000 ekor kambing di kandang yang besar dan jauh dari
permukiman warga. Kambing itu binatang yang lucu, wajahnya sangat menghiburhatiku, cuma kadang baunya saja yang kurang bersahabat dengan hidung manusia -_-.
Saya kembali ke rumah, tapi
langsung menuju bagian belakang rumah yang kami tempati. Saya menemukan seorang
ibu yan sedang mencabuti, mengarit rumput-rumput liar di atas sepetak ladang
cabai atau cengis milik Ibu saya.
Kemudian saya berkenalan dengan ibu tersebut. Wajahnya keras dan agak gelap,
memakai jilbab dengan rambut yang keluar-keluar berantakan karena ia sedang
bekerja, sementara baju yang ia kenakan berlengan pendek dengan beberapa lubang
di bagian perut dan pundaknya. Saya lupa menanyakan nama ibu tersebut, yang
kemudian saya sebut Mamak Bagus agar lebih mudah karena beliau mempunyai
seorang anak laki-laki kecil bernama Bagus yang pada saat itu ikut menemani
ibunya ke ladang. Pada akhirnya, Mamak Bagus ini saya
jadikan informan saya karena suami beliau sedang pergi merantau ke Jakarta.
Tak lama kemudian, datanglah dua
orang ibu yang membawa arit di tangan mereka. Salah satu ibu tersebut adalah
neneknya Bagus. Ibu yang pertama datang memberi kabar bahwa sungai sedang
banjir, jadi mereka harus hati-hati saat menyebrangi sungai untuk mencapai
ladang mereka yang letaknya diseberang sungai tsb. Saya tertarik mendengar
cerita ibu tersebut, kemudian saya hendak pergi ke sana. Di tengah jalan menuju
sungai, saya membuka pesan singkat dari Vita yang mengajak saya untuk pergi ke
PAUD di dusun Sipendil. Saya hampir melupakan hal itu. Di tengah jalan pulang
–belum menemukan sungai yang saya cari- saya bertemu dengan ibu Jauriyah yang
hendak pergi ke ladang mengantarkan makan untuk suaminya dan ikut membantu
suaminya di ladang. Ibu Jauriyah mengajak saya ntuk ikut ke ladangnya, namun
saya harus segera pulang karena Vita menunggu saya untuk pergi ke PAUD. Sebelum
mengakhiri perbincangan singkat dengan ibu Jauriyah, beliau mengajak saya untuk
datang ke acara kumpul arisan ibu-ibu PKK Rt lima dan enam dusun Krajan. Saya
menjawab undangan tersebut dengan “In shaa Allah yaa Bu J” kemudian saya bergegas pulang.
Sesampainya di rumah, Vita yang
belum mandi sudah terlihat rapi dengan mengenakan kemeja putihnya dan ditimpali
dengan jaketnya yang berwarna cokelat. Ada perasaan tak enak karena telah
membuatnya menunggu. Saya hanya membasuh wajah dan menggosok gigi kemudian
mengganti kerudung dan disaat yang sama hujan turun begitu derasnya. Ahh… hujan
L dan akhirnya kami harus menunggu hujan sedikit
reda. Pukul 09.30 hujan sudah agak reda, saya dan Vita bergegas berangkat
menuju PAUD, namun sebelumnya kami menjemput Febda yang tinggal di rumah Pak
Kades di dusun Sipendil. Suasana memang kurang bersahabat, kabut tebal sudah
turun, hujan gerimis dan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Untung ada
jaket Rei –yang saya menyebutnya
sebagai jaket anti badai- hadiah ulang tahun ke-18 dari ayah tercinta sangat
membantu menjaga kestabilan suhu tubuh saya yang mulai bisa beradaptasi dengan
kondisi alam di desa Gunungsari.
Sesampainya di PAUD, kami
disambut para orangtua murid yang telah berjejer di depan kelas anaknya dengan
payung yang terbuka lebar. Ahh… mereka bukan hendak menyambut kami, tetapi
mereka sedang menunggu anak-anak mereka keluar ruangan kelas. Kami bertiga
menyalami satu-persatu para orangtua murid. Setelah bersalaman, kami masuk ke
dalam ruang kelas. Kami bertemu dengan tiga orang guru PAUD, seorang guru
sedang bicara di depan para murid dan dua orang lagi berdiri di belakang. Dalam
satu gedung PAUD ini hanya terdapat dua ruangan, yang satu dipergunakan sebagai
ruang guru dan kepala sekolah, sementara ruang satunya lagi merupakan ruang
kelas yang mampu menampung 35 orang anak didik. Wajah anak-anak PAUD
benar-benar lucu dengan pipi yang gembil dan tingkah polah yang khas anak-anak.
Menggemaskan. Saya duduk di bangku panjang di dalam kelas yang biasa diapakai
anak-anak duduk dan belajar menggambar atau menulis. Anak didik di PAUD ini
umurnya berkisar antara umur lima sampai dengan enam tahun dan beberapa
diantaranya ada yang berumur empat tahun. Kunjungan ini membuat saya teringat
akan materi pelajaran Psikologi Pendidikan yang saya dapatkan di bangku
perkuliahan semester dua kemarin.
Add your comment