Showing posts with label Catatan Etnografi
Kisah ini merupakan catatan harian perjalananku selama mengikuti kegiatan Teknik Penelitian Lapangan bersama teman-teman Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada di Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah.
Perjalanan yang takkan terlupakan karena kesaannya yang begitu mendalam di dalam hati ini. Lapangan, masyarakat, menyajikan berbagai model kehidupan yang unik dan menarik. dengan berpartisipasi secara langsung, mengambil bagian dalam kehidupan orang lain, menyadarkanku ternyata banyak sekali pelajaran hidup yang dapat diambil hikmahnya dan bisa diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Saya dan rombongan, sekitar 110 orang (kalau tidak salah), berangkat dari FIB UGM pada hari Selasa tanggal 14 Januari 2014 pukul 22.00 WIB menuju Kec. Pulosari, Pemalang.
Kami sampai di Kec. Pulosari keesokan harinya .

"Secangkir teh pertama" menjadi awal hubungan kita, ibu, bapak, dan adik-adik baruku....
Dalam tegukan pertama mungkin kita masih malu-malu.
Dalam tegukan kedua, mungkin kita baru mulai membuka diri.
Dalam tegukan ketiga, percakapan hangat kian terbangun, sehingga menghasilkan tegukan selanjutnya dan bercangkir-cangkir teh hangat yang mengakrabkan kita.....

Minggu pertama di Gunungsari...

Rabu, 15 Januari 2014

            Sampai di kecamatan Pulosari, kabupaten Pemalang sekitar pukul 04.00 dini hari. Sepanjang perjalanan dari Jogja menuju Pemalang saya tertidur dan terbangun saat bus kami singgah di pom bensin di Banjarnegara. Karena di sepanjang perjalanan saya sudah istirahat cukup, jadi saat sampai di kantor kecamatan Pulosari, saya sudah tidak lagi mengantuk dan merasa lebih segar. Saya masih teringat akan tugas yang belum sempat saya kirimkan kepada dosen saya di Semarang. Saya menyelesaikan tugas tersebut dan rencananya mau mengirimkannya menggunakan wifi dari handphone saya, tetapi ketika wifi saya sambungkan tiba-tiba masuk sinyal wifi yang asalnya dari balai pertemuan kecamatan Pulosari yang kami tempati. Sejak saat itu saya meyadari kalau di gedung tersebut terdapat fasilitas wifi yang bisa saya manfaatkan untuk mengirim tugas. Saya menyadari kalau ternyata program internet masuk desa telah dijalankan dan sepertinya masyarakat kurang memanfaatkan fasilitas tersebut.
            Udara dingin Pulosari menembus sampai ke tulang. Saya melumuri tangan, kaki, pundak dan tengkuk kepala dengan minyak kayu putih agar terasa lebih hangat. Karena saya belum terbiasa berada di tempat yang lebih tinggi daripada tempat hidup saya biasanya, penyakit beser saya kambuh. Ketika hendak buang air kecil, saya kebingungan mencari kamar mandi. Sebuah kebetulan, disaat yang sama Kanita mengajak saya untuk mencuci muka dan sikat gigi ke masjid yang tak jauh dari kantor kecamatan. Pergilah saya, Kanita, Ratih dan Ummi menuju masjid Kecamatan Pulosari. Saat itu pukul setengah tujuh pagi, untuk pertama kalinya saya menyentuh air yang mengalir di Pulosari, rasanya dingin sekali, seperti air es. Ya, kecamatan Pulosari memang berada di ketinggian sekitar 850 hingga 1400 meter di atas permukaan laut. Saat kaki saya menyentuh lantai masjid tanpa menggunakan kaos kaki, rasanya seperti sedang berdiri di atas lantai yang dibawahnya ada es batunya. Terlebih saat saya sedang mencuci wajah, rasanya segar dan dingin. Saat sikat gigi, gigi saya terasa ngilu seperti gigi sensitive, padahal biasanya tidak begitu, bahkan saya suka sekai menggigit-gigit es batu  :D *sangar yooo

            Sepulang dari bersih-bersih diri di masjid, saya ingin sekali pergi ke pasar kecamatan Pulosari yang sangat dekat dengan kantor kecamatan. Iseng saja saya mengajak Ratih pergi ke pasar dan rupa-rupanya Ratih pun berniat mengajak saya pergi ke pasar untuk membeli sandal karena sandalnya putus. Kami pergi ke pasar. Di depan pasar telah ramai ibu-ibu yang tengah bersiap pulang. Mereka membawa keranjang-keranjang yang terbuat dari anayaman tali plastic berwarna-warni berisi penuh barang belanjaan. Tersedia pula angkutan umum yang menurut saya unik dan saya ingin sekali mencobanya. Angkutan tersebut sebenarnya mobil pick up yang di design menjadi angkutan massal untuk manusia dan juga hewan (seperti kambing dan sapi), penduduk setempat menamainya coak. Angkutan tersebut dilengkapi dengan besi-besi kokoh pada tepian angkutannya agar menjadi tempat pegangan dan penyangga berdiri penumpang.




***


Waktu itu, kalau tidak salah --berarti benar-- sekitar pertengahan bulan Oktober, saya dan sahabat saya, Ratih Tyas Arini memutuskan untuk melewati liburan penghujung bulan di Kabupaten Ponorogo. Awal dari perjalanan di Ponorogo tak lebih hanya ingin liburan dan sejak adanya kabar kalau Reyog diklaim oleh Malaysia, saya jadi bercita-cita ingin menonton pertunjukan Reyog di daerah asalnya. Selama seminggu lebih kami berdua mengumpulkan uang untuk membeli tiket kereta. Pada tanggal 28 oktober 2013, kami pergi ke stasiun Semarang Poncol untuk membeli dua tiket kereta ekonomi-ac tujuan Stasiun Madiun. Kami mendapatkan tiket dengan jadwal keberangkatan pada tanggal 1 Nopember 2013. Selama berada di Ponorogo, kami akan menginap di rumah Buliknya Ratih, di desa Mambil.

Saya dan Ratih berangkat ke Stasiun Semarang Poncol sekitar pukul sepuluh malam dari Gunungpati karena kami menumpang kereta pukul satu malam menuju Madiun. Sebelum ke Stasiun Poncol, saya dan Ratih bersama rombongan CLIC Unnes sempat menghadiri acara Pameran Fotografi oleh Prisma Undip di PKM Undip Pleburan. Sesampainya di Stasiun Poncol, Ratih menitipkan sepeda motornya pada petugas parkir stasiun yang menerima penitipan motor. Selama di stasiun, kami sempat tidur-tiduran di atas kursi dan dikerubungi nyamuk-nyamuk nakal. Badan saya bentol-bentol merah dan gatal. Hal yang paling melegakan adalah ketika pukul satu lebih beberapa menit, terdengar suara kereta datang dan ternyata itulah kereta yang akan kami tumpangi. Kami menaiki kereta dan memulai petualangan untuk mendapatkan pembelajaran yang baru dan segar dalam kehidupan kami. Saya tidak sabar untuk segera menonton pertunjukan Reyog Ponorogo di tanah kelahirannya langsung.

Hai, sudah cukup lama rasanya kita tidak bersua. Ya, mohon maaf, karena belakangan ini saya terlalu sibuk untuk hal-hal yang harus mendapat perhatian lebih dari saya. Saya harus memperhatikan materi perkuliahan saya, kemudian tugas yang datang seperti jerawat, hilang satu, eehhh tumbuhnya banyak yaa, sakit pula, hehehe dan saya harus melakukan observasi lapangan kesana-kemari.
Overall, saya harus harus wajib mencintai apa yang saya lakukan seperti wujud cinta dosen saya kepada mahasiswanya yang disimbolkan melalui tugas ;)
Pada kesempatan yang agak langka ini, saya ingin sekali berbagi cerita tentang pengalaman saya beberapa bulan yang lalu ketika saya harus masuk dan berbaur dalam suatu komunitas adat yang tak pernah saya ketahui sebelumnya.

Pengalaman ini benar-benar baru bagi saya dan mungkin juga sebagian teman saya lainnya.
Yap. Sebuah catatan etnografi yang saya tulis secara telaten selama berada di tempat nun jauh di pedalaman Kalimantan Barat.



Landau , merupakan yang tak pernah saya bayangkan bagaimana wujud tempatnya. Mendengar kata Landau saja baru saat saya dan teman-teman tim ekspedisi sungai Boyan duduk dalam satu ruangan pada salah satu ruang kelas jurusan antropologi budaya, UGM.
Dalam peta yang berskala 1 : 1.750.000 yang ayah belikan di Gramedia Bookstore sebagai hadiah karena saya akan mengikuti program ekspedisi tersebut, saya tidak menemukan tempat yang bernama Landau.
Namun, saya dapat menemukan nama Landau justru dari peta yang di buat oleh teman-teman antro budaya dari hasil foto satelit.
Landau merupakan sebuah nama kampung di kecamatan Melawi Makmur, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Lokasinya cukup jauh dari peradaban kota yang sibuk, berpolusi dan panas. Saya tidak tahu pasti berapa jarak antara kota kecamatan Meliau yang dilalui jalan trans Kalimantan Barat dengan pasarnya yang cukup ramai serta terletak tepat di pinggir sungai Kapuas. Jarak Landau menuju kota kecamatan Meliau kira-kira sekitar 3,5 sampai dengan 4 jam dengan menggunakan sepeda motor.

Nah, di Landau ini, saya punya serentetan cerita yang menarik bagi saya, mungkin juga bagi anda yang tertarik membaca.
Penasaran? Yuk mulai membaca. saya akan selalu menemani anda dalam setiap kalimat yang anda baca *hohoooow


PERJALAN PANJANG

Sabtu, 6 July 2013

            Saya bangun pagi pada hari sabtu tanggal enam Juli 2013 pukul empat dini hari. Saya bergegas mandi dan mempersiapkan packing terakhir hingga pukul lima pagi. Ketika saya sudah siap. Saya masih merasa mengantuk dan tertidur lagi di atas kasur empuk teman saya, Tessa. Pada pukul enam pagi, handphone saya bergetar heboh dan saya terbangun kemudian bergegas menjawab telepon.
“Assalammualaikum”, kataku
“Waalaikumsalam, izza. Za, mbak dan teman-teman on the way jemput kamu. Kamu dimana?” kata mbak niah dari seberang
“Oalah mbak, cepat ya… Izza di kos teman jalan Pringgodani 10, samping alfamart  dekat Universitas Sanatha Dharma”
“ok za, tunggu depan kos ya. Kami segera tiba.”
            Segera saya menutup telepon dan bersiap ke depan. Namun, belum ada lima menit, taxi yang menemput saya tiba. Kami menuju bandara.
            Sekitar pukul tujuh kurang dua puluh menit, kami telah sampai di bandara Adisutjipta, Yogyakarta. Sehari sebelumnya, kami dan tim dari UGM dan Jerman telah berjanji akan bertemu di depan KFC dalam bandara pada pukul tujuh. Namun, mereka datang terlambat. Saya dan Sembilan orang teman saya yang dari Unnes, yaitu ada Kak Tegar, Mbak Niah, Mas Marzuqo, Mbak Yurizka, Mas Zulfikar, Mbak Intan, Mas Imron, Mbak Dyah dan Kanita telah berkumpul sambil memakan roti yang kami bawa untuk sarapan pagi itu. Saya membeli beberapa barang, seperti buku ‘monyet’, bolpen, air mineral, dan roti-roti di minimarket bandara. Buku ‘monyet’ merupakan sebuah buku kecil atau buku note yang akan saya pergunakan untuk mencatat data-data lapangan yang saya dapat. Mas Pudjo sebenarnya menyarankan kepada saya dan kawan-kawan untuk menulis menggunakan pensil, tetapi saya memilih memakai bolpen saja agar tulisannya jelas di mata saya.
            Tidak lama kemudian, datanglah salah seorang teman kami, mahasiswa semester atas dari UGM yang bernama mas Azam. Saat itu, saya masih duduk di pinggi jalan untuk melanjutkan mengetik tugas teori antropologi saya yang belum selesai sambil makan roti. Namun, tak lama kemudian mas Azam mengajak saya dan teman-teman berpindah ke dekat pintu masuk ruang check in bandara. Tak jauh dari pintu masuk ruang check in itulah kami bertemu dengan sekelompok teman-teman dari UGM dan Jerman yang sudah ramai. Mereka membawa luggage atau carier bag yang tinggi-tinggi. Ada beberapa anak yang diantar oleh orang tuanya, ada juga yang diantar oleh kekasihnya, sementara yang lain diantar oleh teman-temannya. Sejenak sebelum check in saya menyempatkan diri untuk mengerjakan tugas teori antropologi saya yang harus segera saya selesaikan. Sekitar pukul tujuh lebih, saya dan teman-teman diajak masuk ke ruang check in. Di dalam ruang check in tersebut, saya dan teman-teman kembali berkumpul, kemudian saya melanjutkan mengetik tugas saya lagi. Untung saja saat itu pemikiran saya sedang bisa diandalkan meskipun dalam keadaan darurat. Di dalam ruang check in kami menunggu pendataan barang bagasi selama kurang lebih pukul setengah sembilan. Setelah mendapatkan airtax dan kartu nomor duduk dari bandara, kami dipersilahkan masuk ke dalam ruang tunggu keberangkatan. Saya duduk di salah satu kursi, kemudian kembali melanjutkan tugas sayayang belum selesai. Pukul setengah sebelas siang pesawat kami datang. Saya tetap menunggu di bangku ruang tunggu keberangkatan sambil mengerjakan tugas hingga datang panggilan untuk masuk ke pesawat. Pukul sebelas kurang, kami memasuki pesawat. Pesawat lepas landas pada pukul sebelas siang.
            Pesawat Express Air yang kami tumpangi terbang di langit atas Pulau Jawa, kemudian melintasi selat Jawa dan kemudian terbang di atas Pulau Kalimantan. Satu setengah jam kemudian sampailah kami di Bandara Supadio Pontianak. Begitu turun dari pesawat, saya bergegas jalan menuju bis yang mengangkut penumpang yang turun menuju terminal kedatangan bandara.
            Udara di luar pesawat sangatlah panas. Cahaya matahari yang silau di mata dan menyengat-nyengat kulit. Begitulah keadaan yang lumrah di daerah yang dilintasi oleh garis khayal khatulistiwa.
            Pukul setengah satu lebih lima menit, saya sudah berada di dalam bandara dan segera menuju tempat mengambil bagasi. Menunggu bagasi sangatlah lama. Oleh karena itu, saya memilih untuk pergi ke kamar kecil dan mencuci muka di wastafel. Toilet di bandara Supadio lumayan bersih dan terang. Ada lima pintu wc lengkap dengan wc duduknya yang bersih. Keramik toilet berwarna crème. Di ruang tersebut terdapat kaca besar yang menyatu dengan wastafel yang digunakan pengunjung untuk bercermin dan juga sangat bersih. Setelah buang air kecil, saya meninggalkan toilet menuju pengambilan bagasi dan mengantre disana. Tak lama, tas ransel saya yeng berisi pakaian sekitar lima potong, jilbab tiga lembar, celana bahan satu lembar, kopi Jawa empat bungkus, ada handuk juga, kemudian ada dalaman saya yang jumlahnya tidak banyak. Namun anehnya, tas ransel saya begitu berat sehingga saya memasukkan ransel tersebut ke bagasi.
            Setelah mendapati tas saya dan menggendongnya, saya keluar ruang kedatangan tersebut. Di luar, sudah ada satu truck berwarna biru milik TNI AU Bandara Supadio. Teman-teman saya yang laki-laki sibuk menaikkan luggage milik anggota yang lain. Saya pun meminta tolong teman saya untuk menaikkan tas r.ansel saya tadi yang sudah saya isikan laptop sehingga tas tersebut harus berada di atas agar tidak terhimpit tas lain. Setelah semua tas dinaikkan ke atas truck TNI tersebut, Mas Pudjo menawarkan kami untuk ikut naik truck dan sebagian lainnya jalan kaki menuju pelabuhan speedboat dan klotok. Saya lebih memilih ikut naik truck dari pada jalan kaki, karena kalau jalan kaki agak jauh dan capek, ditambah lagi panas yang melemahkan tubuh.
            Sepuluh menit kemudian kami yang menumpang truck sudah sampai di tepian sungai Kapuas. Di sana ada beberapa warung warga yang menjual makanan berat dan makanan ringan. Di warung yang paling pinggir (dekat sungai) menjual nasi lengkap dengan lauk-pauknya seperti gulai, semur, sayuran di oseng, di sop dan sebagainya. Turun dari truck, saya ikut membantu mas Zuqo, Mas Fikar, Ogir, Bang Ardan menurunkan barang-barang ke depan warung makan tadi. Setelah itu, saya duduk-duduk menunggu teman-teman yang lain di depan warung makan sambil menikmati sebotol air mineral. Tak lama kemudian, datanglah rombongan teman-teman saya yang berjalan kaki dari bandara tadi. Tak tampak raut lelah dari mereka, yang tampak adalah wajah-wajah ceria. Mas Pudjo sebagai pemimpin rombongan telah datang dan langsung menyuruh kami makan siang di warung atau menunggu nasi bungkus. Saya membeli sebotol air mineral lagi dan mengambil sebungkus nasi jatah makan siang saya. Saya makan di bawah terik matahari di tepi sungai Kapuas bersama partner saya, Vega, Asti, dan Gloria. Kami mengobrol dan bercanda sambil menyantap lahap suap demi suap nasi.
            Setelah makan siang, saya pergi ke masjid yang letaknya tak jauh dari tepi sungai. Masjid Desa Sungai Durian namanya. Masjid tersebut masih dalam tahap pembangunan. Dindingnya masih belum di cat, baru saja di plaster. Saat tiba disana, saya menjumpai dua orang bapak yang sedang duduk santai sambil merokok dan minum kopi di beranda masjid. Saya meminta izin untung men-charge laptop dan handphone. Kedua bapak tersebut mempersilahkan saya. Mereka sangat ramah. Saya dibantu untuk mencolokkan kabel laptop ke terminal atau stop kontak listrik disana. Di masjid itu saya kembali melanjutkan tugas teori antropologi saya yang belum selesai juga. Namun, karena kepala saya sudah pusing, saya mengerjakan tugas tidak terlalu konsentrasi dan hasilnya pekerjaan saya kurang baik. Akhirnya, saya membeli paket internet untuk handphone saya. Saya mengirimkan tugas teori antropologi dan kajian etnografi saya melalui email kepada Pak Bayu, dosen saya. Untung saja, Pak Bayu mau menerima tugas saya itu.
            Usai mengerjakan tugas, saya membawa sabun wajah ke kamar mandi di masjid. Disana saya mencuci muka dan kaki saya. Kemudian saya melakukan sholat dzuhur dan sholat ashar.
            Waktu itu pukul setengah tiga siang. Saya diajak teman saya kembali ke pinggir sungai dan bergabung dengan teman-teman. Saya pergi ke pinggir sungai bersama Mas Imron yang kebetulan saat itu baru selesai sholat.
© Alfizza Murdiyono · Designed by Sahabat Hosting