Showing posts with label TRAVELADDICT
Selamat datang di blog saya.
meskipun blog ini agak tidak jelas juntrungannya, tetapi saya selalu ingin berbagi kisah dan hikmah melalui cerita-cerita perjalanan saya yang tentunya yang pernah saya alami dan rasakan sendiri.
Saya selalu menyertakan dokumentasi  berupa gambar. Hal ini saya sertakan agar teman-teman pembaca yang budiman dapat melihat keadaan saat itu lebih riil melalui foto. Disamping itu, saya juga senang mendokumentasikan apapun yang saya lihat. Saya memang belum tahu foto yang baik dan cerita yang baik itu seperti apa, tetapi saya akan mencoba terus menulis dan memotret untuk kepuasan saya dan mungkin bermanfaat untuk anda J

Kali ini saya akan bercerita tentang perjalanan saya yang sudah terlampau lama. Baru sekarang saya ingin menceritakannya pada anda…

Pada hari selasa tanggal 25 Desember 2012, saya sedang berada di Jogja. Saya tinggal di Jogja sekitar satu minggu. Dalam rangka melarikan diri dari Semarang, karena saat itu sedang libur natal dan pekan persiapan ujian akhir semester ganjil. Selama tiga hari, saya menginap di tempat sahabat saya tersayang, Vivi Rosalia yang kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

Hari rabu tanggal 26 Desember 2012, kak Alfian dan saya, merealisasikan rencana kami yang sudah kami planning beberapa waktu lalu. Pada malam hari sebelum keberangkatan, kami menyusun rencana untuk jalan-jalan ke Pantai Pok Tunggal di Gunung Kidul. Malam itu juga saya nge-pack beberapa barang-barang yang akan saya bawa travelling esok hari. Barang-barang yang saya bawa dalam tas ialah kamera kesayangan saya yang wajib dibawa kemanapun, minyak  kayu putih, setelan ganti, air minum dalam botol, peta Jogja, masker dan slayer, shampoo dan dompet. Tidak lupa pula saya membawa jaket  parasut ungu kesayangan saya. Setelah semuanya siap dalam tas, saya bergegas tidur agar besok pagi dapat bangun lebih awal dan kondisi badan tetap fit.

Saat hari H, saya dan kak Alfian janjian bertemu di depan Fakultas Peternakan UGM dan kami memulai perjalanan kami pada pukul delapan pagi. Kami berangkat dari UGM menuju Wonosari.
Saya sangat menikmati perjalanan, apalagi pada saat saya yang dibonceng dan tidak akan bergantian membonceng karena kak Alfian pakai motor gedenya. *ahahahay
Sebenarnya saya dan kak Alfian sama-sama tidak tahu jalan menuju pantai Pok Tunggal, jadi kami hanya modal peta, gps handphone saya dan bertanya pada warga setempat.
Di tengah perjalanan, saya melewati Candi Prambanan dan Candi Ratu Boko. Ingin sekali rasanya mampir. Namun, rencana awal kami adalah ke Pok Tunggal dan itu tidak dapat diganggu-gugat. Perjalanan dari UGM ke Wonosari sangatlah lama dan jauh. Jalan menuju ke sana pun sangat berliku, naik-turun perbukitan. Kami melewati beberapa desa dan kota-kota kecil seperti piyungan, terus daerah patuk, Gading , dan sebagainya.
HARMONISASI KEHIDUPAN DALAM KONSEP TATA RUANG RUMAH BALI
Alfisyahr Izzati
Jurusan Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Semarang

Pulau Bali terkenal dengan sebutan Pulau Dewata atau Pulau Seribu Pura. Sebutan ini muncul karena  di Pulau Bali terdapat banyak pura yang digunakan untuk menyembah Dewata. Sebagian besar masyarakat Bali beragama Hindu Dharma, sehingga kehidupan, adat dan budaya masyarakat Bali sangat dipengaruhi falsafah-falsafah yang diajarkan didalamnya. Budaya tradisional Bali merupakan perwujudan pengaturan tingkah laku umat yang dilandasi agama Hindu dengan 3 (tiga) unsur kerangka dasar, yaitu; 1). Tatwa atau filsafat; 2). Susila atau etika; 3). Upacara atau ritual (Parisada Hindu Dharma, 1978:16 dalam Dwijendra, 2003). Tiga kerangka dasar berperilaku tersebut sudah tertanam kuat di dalam diri setiap individu dalam masyarakat Bali.
Dalam kitab suci Weda, ada beberapa konsep ilmu spesifik yang diaplikasikan dalam kehidupan para penganutnya, yaitu; Ayurweda (Ilmu pengobatan), Dhanurweda (Seni bela diri dan persenjataan), Ayurveda dan Dhanurveda (konsep ini juga dikenal dalam ilmu pengetahuan di Cina, dalam akupuntur dan seni beladirinya, Gandharv Veda (Seni musik, sajak dan tari), Jyotisha (Ilmu Astrologi), Tantra, Shiksha dan Vyakara (Ilmu tata bahasa) juga Stahapatya Veda (Ilmu arsitekturseni pahat dan ilmu geomansi). Semua konsep-konsep ilmu ini bertujuan untuk membuat kehidupan manusia berlangsung harmonis. Hubungan harmonis tersebut terangkum dalam tiga unsur kehidupan, yaitu Tri Hita Karana yang berarti tiga sebab kebahagiaan. Tri Hita Karana yang menjiwai setiap sendi kehidupan manusia, merupakan konsep yang menjelaskan keharmonisan kosmologis. Konsep Tri Hita Karana telah menunjukkan berbagai keunggulan dan nilai-nilai luhur yang bersifat universal dan relevan dengan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Tri Hita Karana secara implisit mengandung pesan agar dalam mengelola sumberdaya alam termasuk sumberdaya air secara arif untuk menjaga kelestariannya, senantiasa bersyukur kehadapan Tuhan dan selalu mengedepankan keharmonisan hubungan antar sesama manusia, sehingga timbulnya konflik dapat diantisipasi. (Sutawan, 2004 dalam Wesnawa, 2010)
Konsepsi keharmonisan hidup juga tercermin pada tata ruang rumah Bali. Rumah Bali seperti pada umumnya berfungsi sebagai tempat tinggal manusia sekaligus tempat beraktivitas seperti masak, makan, tidur, mencuci, juga sebagai tempat berlindung manusia dari kondisi alam atau cuaca (hujan, panas, malam, dsb). Selain itu, rumah Bali juga digunakan sebagai tempat beribadah manusia untuk mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa, Sang Hyang Widhi.

























Suasana Pagi jam 08.00 di sepanjang Gapura Pecinan dan Jalan Gang Warung

Deretan ruko di Jalan Gang Warung yang masih tutup

Seorang pria tengah berdoa sebelum berkegiatan
Kegiatan ekonomi di sepanjang jalan Gang Warung (distribusi barang dan  jasa)
Pengamen yang beroperasi di sepanjang jalan Gang Baru
Transaksi antara penjual dan pembeli
Pedagang ikan segar di dalam Pasar Gang Baru

Pedagang hasil laut yang dikeringkan
Pedagang Tahu di Pasar Gang Baru
Potret Pasar Tradisional di Pasar Gang Baru

Kebiasaan membaca di pasar
Pedagang Cabai dan Bawang di salah satu sisi Pasar Gang Baru

GELIAT PERMUKIMAN PECINAN DI KOTA SEMARANG

in , , by nyakizza.blogspot.com, 14.00




Permukiman “pecinan” dipastikan  bisa ditemukan pada setiap kota-kota di Indonesia. Bahkan, pecinan kerap kali terlihat seperti sebuah  kota dalam kota. Edmund Scott pemimpin loji Inggris di Banten pada tahun 1603-1604, melukiskan kesannya pada daerah Pecinan di Jawa (Lombard, 1996, jilid 2:275 dalam Handinoto, 1999):
“Sejak  tiba di pelabuhan-pelabuhan pesisir, kita dengan mudah melihat kekhasan daerah Pecinan. Daerah pecinan seolah-olah  merupakan sebuah  kota di dalam kota. Letaknya di sebelah barat  kota dan dipisahkan oleh sebuah sungai.  Rumah-rumahnya  dibangun dengan pola bujur sangkar dan terbuat  dari bata. Wilayah  ini mempunyai pasar sendiri yang dicapai melalui sungai”.

Kawasan Pecinan  selain dihuni oleh sebagian besar warga keturunan Cina, juga dihuni oleh warga pribumi atau etnis Jawa. Pecinan kerap dianggap sebagai “pusat perkembangan” sebab kawasan pecinan  merupakan kawasan perdagangan yang sangat ramai.
Emigrasi  orang Cina ke Jawa mulai terjadi secara besar-besaran  pada abad ke 14. Awal terjadinya pemukiman Cina di sepanjang  pantai Utara  Jawa tersebut sebagai akibat dari aktivitas  perdagangan antara India dan Cina melalui laut.  Perdagangan  lewat laut tersebut memanfaatkan angin musim Utara antara bulan Januari-Pebruari untuk pergi ke Selatan. Sementara angin musim  Selatan  antara bulan Juni-Agustus dimanfaatkan untuk kembali ke Utara. Selama periode badai  (Cylone) atau perubahan musim, para pedagang tinggal di pelabuhan-pelabuhan Asia Tenggara, disamping mereka menunggu rekan dagang dari daerah atau  negeri lainnya. Pedagang-pedagang Cina bermukim  di daerah yang disinggahinya dan ada pula yang menikah  dengan  penduduk  pribumi. Maka, proses akulturasi budaya terjadi pada masa  itu. Daerah yang ditinggali oleh pedagang Cina tersebut kemudian menjadi Entrepot (kota pelabuhan sebagai pusat dari tukar-menukar barang). Di Jawa, kota-kota tersebut  misalnya: Tuban, Gresik, Surabaya, Demak, Jepara, Lasem, Semarang,  Cirebon, Banten dan Sunda Kelapa (Handinoto, 2010).
Salah  satu  daerah  permukiman Cina dengan jumlah  penduduk terbanyak di Jawa adalah di Semarang. Pecinan  Semarang merupakan bagian dari wilayah kelurahan Kranggan, Kecamatan Semarang Tengah. Berdasarkan ciri fisik dan masyarakatnya, kawasan pecinan Semarang dapat dibedakan menjadi daerah core (inti) dan daerah pinggiran (periphery) yaitu daerah  yang berbatasan langsung dengan daerah inti dan masih termasuk dalam kawasan Pecinan. Daerah  inti (core) merupakan  lokasi perkampungan Cina  lama, tempat bangsa Cina di Semarang ditempatkan pertama kali sejak perpindahan dari daerah Simongan. Adapun batas-batas wilayah tersebut adalah sebagai berikut ;
·         Batas Utara                        : Jalan Gang Warung, Pekojan
·         Batas Selatan         : Kali Semarang
·         Batas Timur            : Kali Semarang
·         Batas Barat                        : Jalan Beteng dan Pedamaran
Jalan utamanya sekarang adalah :
·         Jalan Gang Pinggir yang merupakan penerusan dari Jalan Pekojan
·         Jalan Gang Warung yang menerus ke Jalan Wahid Hasyim (Kranggan)
·         Jalan Beteng yang sekaligus merupakan batas sebelah Barat kawasan Inti Pecinan sejak dulu.

Jalan-jalan  lain seperti Gang Besen, Gang tengah, Gang Gambiran, Gang Belakang, Gang Baru, dan gang Cilik berada di kawasan ini. Di daerah  inilah dulu terdapat empat Benteng yang dibangun  untuk melindungi keamanan penduduk didalamnya. Banyaknya Klenteng yang tersebar di kawasan ini menjadi ciri mencolok dan sangat menarik untuk dikunjungi oleh wisatawan domestik maupun  wisatawan  asing. Hal  ini ditunjang dengan adanya sebutan yang menyatakan bahwa Semarang merupakan daerah “1001 Klenteng”.
Pertokoan di sepanjang jalan Gang Warung  akan buka pada siang hari sekitar jam sebelas dan rata-rata merupakan toko tekstil dan toko obat Cina maupun apotek. Jika diamati lebih lanjut, tata letak kawasan pecinan Semarang dapat dipetakan sebagai berikut;
a.       Jalan K.H. Wahid Hasyim :  Pertokoan tekstil dan emas (perhiasan)
b.      Jalan Pedamaran                 : Pedagang hasil bumi di Pasar Johar termasuk pemukiman kumuh di dalam gang-gang sempit yang dihuni penduduk pribumi.
c.       Jalan Gang Baru                 : Tempat penjualan hasil bumi (pasar tradisional pecinan)
d.      Jalan Gang Pinggir             : Perdagangan emas dan perhiasan serta warung makan.
e.          Jalan Gang Besen, Gang Belakang, Gang Gambiran: Pemukiman warga pecinan dan perkantoran.
f.          Jalan Gang Tengah                                         :   Pusat perkantoran Bank.
g.         Jalan Gang Pinggir dan Gang Baru           : Toko perlengkapan sembahyang dan pernak-pernik khas Cina.
h.      Gang Beteng, Gang Warung, Gang Pinggir   : Pertokoan. Toko grosir, toko kelontong, dan toko.
 Di sepanjang Gang Warung pada pagi hari sekitar pukul delapan  memang tidak tampak adanya  pertokoan yang sudah  buka. Tetapi, jalan utama pecinan ini tampak ramai oleh lalu-lalang  kendaraan  bermotor, becak, dan  sepeda onthel.  Lahan  depan  pertokoan dijadikan  lahan  parkir untuk mobil dan  sepeda  motor juga becak-becak. Ketika berdiri di depan gapura pecinan  Semarang, yang tampak hanyalah sebuah warung  makan tenda di kanan dan kiri jalan serta tukang pangkas rambut yang sudah  mulai beraktivitas.  Namun,  jika dilihat lebih jauh, ada salah satu  gang sempit yang  sangat padat pengunjung pada setiap paginya, yaitu Gang Baru.

Gang Baru yang hanya sebuah lorong sempit, sepi dan  menyeram kan  pada malam  hari, mendadak  berubah  menjadi  tempat yang sangat ramai. Hal ini dikarenakan warga pecinan menjadikan  gang tersebut sebagai lahan  dagang atau pasar tradisional pecinan. Setiap pukul empat dini hari, para pedagang mulai membuka  lapak mereka dan menata barang dagangan.

Pedagang di pasar tradisional Gang Baru ini, tidak hanya berasal dari etnis Cina, melainkan  juga dari etnis Jawa dan Melayu. Salah satu aspek yang  mutlak dalam interaksi sosial adalah  bahasa yang digunakan  sebagai alat untuk menyampaikan pesan dan makna. Di Pasar Gang Baru ini, baik antara pedagang dengan pedagang, maupun  pedagang dengan pembeli, sering terdengar berkomunikasi dalam  bahasa Jawa dan Bahasa Mandarin (Tionghoa). Etnis Cina akan lebih sering berbahasa Tionghoa dengan sesamanya. Sementara itu, orang yang berasal dari etnis lain tidak mampu berbahasa Tionghoa, sehingga mereka menggunakan bahasa Jawa. Sebaliknya, mayoritas etnis Tionghoa lancar berbahasa Jawa dengan dialek aksen Mandarin.

KAMPUS MERAH FIS SMART

in , , , , by nyakizza.blogspot.com, 22.45





in , , by nyakizza.blogspot.com, 22.33
Curug Sewu - Kabupaten Kendal di Musim Kemarau
memory 15 September 2012

Selamat datang di blog saya.

Meskipun blog ini agak tidak jelas juntrungannya, tetapi saya selalu ingin berbagi kisah dan hikmah melalui cerita-cerita perjalanan saya yang tentunya yang pernah saya alami dan rasakan sendiri.
Saya selalu menyertakan dokumentasi  berupa gambar. Hal ini saya sertakan agar teman-teman pembaca yang budiman dapat melihat keadaan saat itu lebih riil melalui foto. Disamping itu, saya juga senang mendokumentasikan apapun yang saya lihat. Saya memang belum tahu foto yang baik dan cerita yang baik itu seperti apa, tetapi saya akan mencoba terus menulis dan memotret untuk kepuasan saya dan mungkin bermanfaat untuk anda :)

Kali ini saya akan bercerita tentang perjalanan saya yang sudah terlampau lama. Baru sekarang saya ingin menceritakannya pada anda…

Pada hari selasa tanggal 25 Desember 2012, saya sedang berada di Jogja. Saya tinggal di Jogja sekitar satu minggu. Dalam rangka melarikan diri dari Semarang, karena saat itu sedang libur natal dan pekan persiapan ujian akhir semester ganjil. Agak aneh ya, libur minggu tenang kok malah dipakai untuk jalan-jalan bukannya belajar... *hehehe
Selama tiga hari, saya menginap di tempat sahabat saya tersayang, Vivi Rosalia yang kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Sisanya, saya menginap di rumah saudara saya di dekat UGM.

Hari rabu tanggal 26 Desember 2012, kak Alfian dan saya, merealisasikan rencana kami yang sudah kami planning beberapa waktu lalu. Pada malam hari sebelum keberangkatan, kami menyusun rencana untuk jalan-jalan ke Pantai Pok Tunggal di Gunung Kidul. Malam itu juga saya nge-pack beberapa barang-barang yang akan saya bawa travelling esok hari. Barang-barang yang saya bawa dalam tas ialah kamera kesayangan saya yang wajib dibawa kemanapun, minyak  kayu putih, setelan ganti, air minum dalam botol, peta Jogja, masker dan slayer, shampoo dan dompet. Tidak lupa pula saya membawa jaket  parasut ungu kesayangan saya. Setelah semuanya siap dalam tas, saya bergegas tidur agar besok pagi dapat bangun lebih awal dan kondisi badan tetap fit.

Saat hari H, saya dan kak Alfian janjian bertemu di depan Fakultas Peternakan UGM dan kami memulai perjalanan kami pada pukul delapan pagi. Kami berangkat dari UGM menuju Wonosari.
Saya sangat menikmati perjalanan, apalagi pada saat saya yang dibonceng dan tidak akan bergantian membonceng karena kak Alfian pakai motor gedenya. *ahahahay

Sebenarnya saya dan kak Alfian sama-sama tidak tahu jalan menuju pantai Pok Tunggal, jadi kami hanya modal peta, gps handphone saya dan bertanya pada warga setempat.

Di tengah perjalanan, saya melewati Candi Prambanan dan Candi Ratu Boko. Ingin sekali rasanya mampir. Namun, rencana awal kami adalah ke Pok Tunggal dan itu tidak dapat diganggu-gugat. Perjalanan dari UGM ke Wonosari sangatlah lama dan jauh. Jalan menuju ke sana pun sangat berliku, naik-turun perbukitan. Kami melewati beberapa desa dan kota-kota kecil seperti piyungan, terus daerah patuk, Gading , dan sebagainya.

Sesampainya di daerah kota Wonosari, kami kebingungan mencari jalan. Ternyata kami telah berjalan selama tiga jam. Kemudian kami memutuskan untuk berhenti sejenak di pinggir jalan dan mendatangi seorang bapak yang sedang berdiri di pinggir jalan di depan car wash. Saat itu saya kehilangan sinyal handphone dan saya merasa kesulitan ketika hendak membuka GPS dari smartphone saya. Membawa peta Jogja pun kurang berarti karena Pantai Pok Tunggal merupakan pantai baru yang belum terdaftar dalam peta.
Kak Alfian dan saya turun dari motor dan mendatangi bapak tersebut.

“Permisi pak… numpang Tanya ya pak…” kata kak Alfian dengan ramah.
“Oh iya mas, monggo …” sahut Bapak tersebut dengan ramah pula
“Kalau mau ke pantai Indrayanti bagaimana ya pak ?”
“oh itu, lurus terus mas, nanti gak jauh dari sini ada pos polisi setelah jembatan, masnya belok kanan setelah itu lurus terus. Nanti setelah itu ada petunjuk jalannya kok mas” jelas sang Bapak
“dari sini, lurus, ada jembatan setelah itu pos polisi belok kanan. Begitu ya pak …”
“iya mas…”
“Terimakasih banyak ya pak…”
“nggih mas, monggo, monggo …”
“matur suwun ya pak…” kata saya sambil senyum-senyum
“nggih mbak, monggo” sahut Bapak tersebut dengan ramah

Kemudian kami melanjutkan perjalanan sesuai dengan petunjuk Bapak tadi. Kami berhenti sejenak di Alfamart untuk membeli jajanan untuk kami makan di pantai agar lebih irit.
Kami memasuki daerah Gunung Kidul pada pukul 10:32.
Di perjalanan kami berpas-pasan dengan rombongan bikers yang sedang lintas alam dengan sepeda. Saat itu gerimis turun dan kami khawatir akan kehujanan di tengah perjalanan.
Namun, ternyata gerimisnya tidak lah lama. Matahari kembali bersinar sangat terik. Kami masih memacu roda dua untuk terus berputar manjat dan turun dari perbukitan karst di daerah Gunung Kidul.
Saya sibuk memotret selama perjalanan.

“enak ya dek ?”
“enak bangeeeettt kak” jawabku sumringah kesenangan.
“iya lah, kamu kan bisa menikmati pemandangan. Kakak nyetir dan konsen ke jalan. Huft” kata kak Alfian
“hehehe, capek ya kak ? nanti kakak lihat hasil-hasil fotonya aja yaa”
“ya lumayan, pegel sih tangannya”
“sabar ya kakak, heemmm”

Saat itu saya sempat berpikir, apakah benar ada laut di balik bukit-bukit karst yang tandus ini ?
kok masyarakat Gunung Kidul bisa bertahan hidup dalam kondisi daerah yang sepertinya sulit untuk diolah lahannya dan juga sepertinya sulit untuk medapatkan air.
Saya melihat batuan-batuan besar di sepanjang jalan. Batu-batu tersebut terpencar-pencar hingga memenuhi lahan yang ditanami singkong, pisang, ada ubi-ubian juga.
Saya masih terheran-heran, bagaimana cara warga mengolah lahan yang berbatu dan berkapur seperti itu.
Kemudian, darimana ya warga mendapatkan air ? Apakah di bawah tanah kapur tersebut menyimpan air yang cukup?
(ayo anak geografi jelaskan pada saya *hehehe)
Karena jalanan tampak sepi, kak Alfian memacu kendaraannya dengan agak cepat. Sehingga tidak lama setelah itu, kami menemukan pertigaan. Disinilah titik awal kesesatan-demi-kesesatan yang akan kami jalani bersama. Kesesatan-kesesatan itu pula yang mengantarkan kami lebih mengetahui jalan menuju pantai terjauh yang ada di Jogja, yaitu Pantai Sadeng yang berbatasan dengan pantai di Wonogiri.
Dari pertigaan itu,  jika kami belok kanan, maka kami akan menemukan pantai Baron, Kukup, Krakal, dan kawanannya. Sementara jika kami belok kiri, maka kami akan mendapati pantai Siung, Wedi Ombo dan Sadeng ke arah Pacitan, Jawa Timur.
Kak Alfian dan saya memilih belok kiri karena kami kira pantai Pok Tunggal ada disana.
Kemudian kami  terus menyusuri jalan yang beraspal halus. Kami menemukan persimpangan lagi. Kami memilih belok kanan karena kami tahu pantainya ada di sebelah kanan  kami.
Dari yang tadinya jalan aspal, kami memasuki jalan kecil yang hanya cukup dilalui oleh satu mobil dan satu motor berdampingan. Dari persimpangan awal tadi, kami masuk sekitar dua kilometer hingga menemukan pos penjaga yang menjual karcis masuk.

“Pak, ini pantai Pok Tunggal bukan ?”
“Loh, ya bukan toh mas. Ini Pantai Siung. Kalau ke Pok Tunggal masih enam kilometer lagi dari simpangan yang mas lewati tadi. Dari sini ke simpangan saja sudah dua kilo mas” kata Bapak penjual karcis masuk tersebut.
Bak disambar geledek, kami sangat shock mendengar penjelasan Bapak tersebut.
“Kak, ternyata kita salah. Gimana dong nih?” tanyaku gusar
“Kalau kita balik lagi sama dengan jalan sepuluh kilo lagi. Rugi juga udah sampai sini ya” kata kak Alfian dengan raut wajah aneh, lucu bin unyuuu :D
“gimana kalau kita ke pantai aja kak ?”
“Pak, ke pantai Siung berapa kilo lagi ya?” Tanya kak Alfian pada Bapak penjual karcis
“Ini lho mas, pantainya di balik bukit ini. Setengah kilo aja kok… udah masuk aja lah mas, nanggung lho kalau balik lagi” kata Bapak sambil tertawa

Akhirnya, kita lebih memilih untuk mampir di Pantai Siung daripada putar balik dan mencari pantai Pok Tunggal.

Saat masih di atas bukit, kita berdua sudah teriak-teriak seperti orang kegirangan.
“Pantaaaiiiiii….. Paaanntttaaaiiiii…. Suurgaaaa.”
“Surga di balik bukit”
“wuuhhuuuhhuuuwwuuuhhuuuwwhhuuuu… uhuhuhuhuuuuuhhaahhhauuuuu”
Kami bersahut-sahutan seperti orang utan saking senangnya melihat kilauan air laut yang diterpa sinar matahari yang sangat terik waktu itu.
“Dek, sampai pantai kakak mau langsung nyebur” kata kak Alfian bersemangat
“jangan kak, ini kan bukan tujuan kita. Kita kan maunya mandi di Pok Tunggal toh”
“oh iya ya dek … yaudah, kakak mau main air aja tapi gak mandi”
“yuuhhuuuu kakak”
Finally, kami sampailah di tempat parkir, tidak jauh dari pantai. Ternyata pantai Siung masih belum dikunjungi banyak orang. Kami menemukan sekelompok orang  yang sedang sibuk persiapan untuk pemotretan prewedding. Tampak juga beberapa keluarga yang sedang piknik dan ada anak-anak yang sedang mandi di laut memakai ban bebek dengan diawasi kedua orang tuanya.
Saya memandang sekeliling. Wajah saya terasa panas sekali. Kak Alfian sudah melepas sepatunya dan memasukkannya ke dalam tas. Ia langsung masuk ke dalam air.
Saya memilih untuk tetap berada di tepi pantai dan menyiapkan kamera untuk mengambil gambar.

Teriknya matahari siang itu membuat saya tidak dapat berkonsentrasi dengan baik dalam setiap shoot. Bidikan saya banyak yang meleset. Cakrawala tidak seimbang, warna juga kacau…Duh !
Akhirnya saya jongkok di bawah nyiur.
Ngadem.
Kepala saya terasa pusing. Kemudian saya mengambil botol minum yang saya bawa dan saya meminum beberapa teguk air. Saat itu jam sebelas lebih enam menit.

Kak Alfian mendatangi saya. Ia tampak bersemangat sekali. Kemudian, ia mengajak saya mendaki bukit kecil yang ada di bibir kiri pantai. Saya mengikutinya. Kak Alfian mensupport saya untuk kuat dan terus memanjat bukit.
Separuh perjalanan mendaki, saya sudah terkagum-kagum dengan pemandangan disana. SUBHANALLAH ! FANTASTIC !

Saya sempat mengabadikan moment-moment disana, lalu kami mendaki lagi.
Sesampainya di atas bukit kecil tersebut, jantung saya berdebar-debar karena saya takut ketinggian.
Bukit tersebut menjorok langsung ke laut yang airnya berwarna biru agak gelap.
Saya sangat hati-hati berdiri disana. Gemetaran.

“Dek, ayo foto-foto” kata kak Alfian yang sudah duduk mendekati ujung bukit tersebut.
“ya ampun kak, aku gemetaran”
“sudah tenang aja. Gakpapa asalkan kita hati-hati … Jalannya sambil jongkok aja kalau takut sambil berdiri”
“Iya kak. Aku duduk sini aja deh”
Aku duduk di atas tanah yang panas sekali dan menyiapkan kamera, mengatur shutter, iso, dan diafragma.
Setelah itu, kita berfoto-foto narsis.

Kala  itu, matahari sedang berada di atas kepala. Pukul 11:30.
Panas ! Membara ! hiiiittttttaaaaaaammmmmmmm terpanggang sinar matahari di siang bolong.
huft.

Inilah beberapa foto-foto kami dari awal perjalanan hingga sampai di Pantai Siung.
© Alfizza Murdiyono · Designed by Sahabat Hosting