Showing posts with label cerita pendek

BERFOYA-FOYA MENJELANG HARI RAYA

in , , by nyakizza.blogspot.com, 11.52

Konsumsi yang boros pada hari-hari menjelang hari raya Idul Fitri ...

Pendahuluan

Hari-hari dalam bulan Ramadhan menjadi hari-hari yang paling istimewa bagi umat Islam seantero dunia.  Selama bulan Ramadhan, umat Islam diwajibkan menjalankan ibadah puasa. Ibadah puasa merupakan simbol dari laku prihatin seorang manusia, dimana seseorang dilatih untuk mampu menahan segala hawa nafsu keduniawiannya dan lebih banyak mendekatkan diri pada Sang Khalik. Sehingga, pada akhirnya, Idul Fitri menjadi puncak perayaan kemenangan seorang muslim dalam memerangi hawa nafsunya sendiri dan menjadi pribadi yang fitrah atau suci kembali.
Hari raya Idul Fitri dirayakan umat Islam dalam satu tahun sekali setelah berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan. Untuk menyambut hari raya Idul Fitri, umat Islam berusaha menyediakan dana khusus yang tak jarang jumlahnya sangat banyak. Umat Islam pada kenyataannya sering alpa akan tujuan utamanya di bulan Ramadhan ini. Hari-hari istimewa yang penuh berkah yang seharusnya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk beribadah, justru digunakan untuk memenuhi berbagai tuntutan diri, menuruti hawa nafsu. Kegiatan mengkonsumsi merupakan hal yang wajar dalam kehidupan ini, bahkan bisa saya katakana suatu kebutuhan untuk mempertahankan hidup. Namun, masyarakat sudah tidak lagi mengkonsumsi kebutuhan hidup, melainkan terjebak dalam perilaku konsumsi yang boros. Konsumsi lebih mencirikan adanya usaha manusia menemukan konsepsi dirinya atau identitas diri. Tak jarang, masyarakat mengkonsumsi merek dagang, gaya hidup dan prestise ketimbang nilai guna.
Orang-orang akan mengumpulkan uang sebanyak mungkin dan uang yang terkumpul sebagian besar akan dialokasikan sebagai dana hari raya. Dana hari raya tersebut akan  dialokasikan sebagian besar untuk membeli pakaian yang baru dan bagus, sajian hari raya berupa makanan ringan (kue-kue kering dan basah, softdrink atau sirup) hingga makanan berat (nasi dan lauk-pauk). Belum lagi orang tua harus menyisihkan sebagian uangnya untuk dimasukkan ke dalam amplop sebagai salam tempel bagi anak-anak saudaranya.
Kebutuhan akan pakaian bagus dan sajian lebaran ini dilihat oleh para kapitalis sebagai kesempatan yang sangat tepat untuk meraup keuntungan besar. Pada pasar-pasar tradisional, menjelang hari raya pasti akan penuh sesak oleh ibu-ibu yang berbelanja berbagai kebutuhan konsumsi di hari raya. Permintaan akan daging sapi dan ayam akan meningkat tajam. Kebiasaan para ibu menyajikan rendang sapi atau opor ayam sudah dipahami semua pedagang daging dan bumbu dapur. Para pedagang daging dan bumbu dapur (tomat, cabe, kunyit, dst) memanfaatkan keadaan ini untuk memperoleh laba yang banyak. Mereka akan menaikkan harga jual hingga mencapai 50%. Bahkan parahnya lagi, untuk daerah-daerah di luar Jawa, pedagang berani menaikkan harga jual sebanyak 100% dari harga jual pada hari biasa. Umumnya mereka beralasan harga barang kebutuhan naik dan ongkos kirim menggunakan kapal laut juga naik, jadi mau tidak mau mereka ikut menaikkan harga penjualan. Peningkatan harga yang signifikan ini, memang menuai banyak keluhan dari para ibu, namun kebutuhan tetap saja kebutuhan, mereka tetap membeli barang tersebut. Kenaikan harga barang justru sudah dianggap wajar.
            Pada pusat-pusat perbelanjaan seperti mall atau plaza, sudah menjadi kebiasaan di setiap mendekati hari raya Idul Fitri mengadakan bazar atau diskon atau disebut juga great sale. Hampir semua produk yang ditawarkan mendapatkan potongan harga (diskon) 10% hingga 70%, ada pula penawaran diskon bertingkat, yaitu misalnya 20%+20% hingga diskon tertinggi mencapai 50%+50% off. Penawaran potongan harga begitu gencar dilaksanakan. Spanduk-spanduk informasi diskon dipajang dimana-mana, membuat orang tertarik untuk datang ke pusat perbelanjaan, berbondong-bondong.

            Melihat berbagai fenomena ekonomi, sosial dan budaya yang terjadi pada hari-hari menjelang hari raya Idul Fitri, ada hal yang sebenarnya sangat penting untuk dipahami masyarakat sebagai sebuah masalah yang harus segera dicarikan solusinya. Bagaimana bentuk-bentuk tradisi konsumsi pada hari-hari menjelang perayaan hari raya Idul Fitri?  Mengapa setiap menjelang Ramadhan dan hari raya Idul Fitri harga barang meroket? Mengapa pula masyarakat ‘dibuai’ dengan berbagai penawaran diskon yang menyebabkan masyarakat ‘jor-joran’ mengeluaran uangnya sehingga menciptakan suatu perilaku konsumsi yang boros?

Produksi dan konsumsi merupakan dua kegiatan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam sosiologi sudah banyak yang mengkaji masalah produksi, namun baru sedikit yang mempunyai ketertarikan pada masalah konsumsi. Baru-baru ini masalah konsumsi semakin banyak dilirik oleh para sosiolog. Pada teori sosial posmodern, masyarakat era posmodernis digambarkan sebagai masyarakat konsumen. Intinya, teori posmodern memiliki penekanan bahwa konsumsi memainkan suatu peran penting (sentral) pada teori tersebut.
Perilaku konsumsi dipandang bukan lagi sekadar untuk memenuhi berbagai kebutuhan primer yang bersifat fisik dan biologi seseorang tetapi berkaitan erat dengan berbagai aspek sosial budaya. Pada setiap perilaku konsumsi selalu terdapat unsur selera, simbol identitas dan gaya hidup. Ketiga unsur tersebut dapat berubah sesuai dengan persepsi orang terhadap suatu barang dan dipengaruhi oleh persepsi orang lain disekitarnya. Selera menjadi hal yang sangat labil karena begitu mudah berubah ketika seseorang mendapat pengaruh dari orang lain. Barang yang dikonsumsi pun menjadi suatu simbol identitas yang menunjukkan dimana posisi seseorang berada. Pada akhirnya, konsumsi menjadi sebuah gaya hidup yang tak terelakkan bahkan selalu dibutuhkan.
Sosiolog yang pemikirannya tentang konsumsi selalu dipakai sebagai referensi adalah Thorstein Veblen dan B. F Skinner dengan teori behavioristik untuk mengkaji fenomena diskon.
Veblen (1899/1994) mengenalkan konsep “konsumsi yang boros” dan memandang selera sebagai senjata dalam berkompetisi. Kompetisi yang dimaksud disini adalah pertunjukan keperkasaan seseorang yang sangat dihargai dalam wujud keperkasaan fisik (pada masyarakat tradisional) dan keperkasaan atas simbol-simbol pemilikan kesejahteraan (pada masyarakat industi/modern).
Sementara itu, B. F. Skinner dalam teori behavioristiknya , menyebutkan bahwa semakin meningkatnya keuntungan perusahaan menjadikan suatu penguatan (reinforcement) bagi perusahaan sehingga mempengaruhi perilaku perusahaan (respon). Respon dari perusahaan tersebut adalah dengan diberikannya hadiah dan diskon kepada konsumen sehingga konsumen tetap mengkonsumsi barang-barang yang ditawarkan oleh perusahaan tersebut. Logikanya, semakin banyak diskon (misalnya dengan promosi “buy two pieces, get one, free”) dapat meningkatkan permintaan dari konsumen dan perusahaan memperoleh keuntungan.
-

Seluruh umat Islam di dunia merayakan hari raya Idul Fitri sebagai wujud kemenangan mereka atas perlawanan terhadap berbagai hawa nafsu keduniawian. Pada hari raya Idul Fitri ini, umat Islam akan merayakannya dengan meriah. Semua orang bersenang-senang. Perayaan hari raya Idul Fitri tak dapat dipisahkan dari unsur sosial, budaya dan tentunya ekonomi. Perilaku-perilaku ekonomi yang mengarah pada perilaku konsumsi yang boros tampak jelas, terutama pada hari-hari menjelang perayaan hari raya Idul Fitri.

“Dan diceritakan dari Ibnu Umar r.a. bahwa dia memakai pakaiannya yang paling indah pada dua hari raya (Sunan Al-Baihaqi: 3/281) Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: “Dan Nabi saw memakai pakaian yang paling indah pada dua hari raya, maka beliau memiliki pakaian khusus yang dipakainya pada dua hari raya dan hari Jum’at” (Zadul Ma’ad: 1/441)”
Hadist yang menganjurkan umat Islam untuk mengenakan pakaian yang terbaik pada hari raya Idul Fitri telah dipahami secara keliru oleh umat Islam itu sendiri. Pakaian yang terbaik dipahami secara polos sebagai pakaian baru yang menjadi keharusan dan menimbulkan sikap konsumtif dalam masyarakat. Terkadang, orang tua merasa gagal ketika tak mampu memberikan anak-anaknya pakaian baru di hari raya. Demi mendapatkan barang-barang yang mereka inginkan, orang berkerja keras dan rela jor-joran mengeluarkan uang yang telah mereka kumpulkan. Padahal dalam hadist lain disebutkan bahwa berlebih-lebihan adalah perbuatan yang sangat dibenci Allah SWT.

Untuk memenuhi kebutuhan primer maupun sekundernya menjelang hari raya, masyarakat umumnya akan pergi berbelanja ke pasar tradisional dan pasar modern. Namun, belakangan ini, terdapat modifikasi bentuk pasar yang menyesuaikan dengan perkembangan teknologi informasi yaitu ditandai dengan munculnya pasar-pasar maya atau pasar online. Di pasar online, calon pembeli tidak dapat melihat dan meraba barang yang akan ia beli secara langsung. Pada setiap jenis pasar akan menunjukkan perilaku-perilaku konsumsi yang sama yaitu konsumsi yang boros. Bahkan demi memilki sesuatu yang baru di hari ‘kemenangan’ ini, tak jarang mereka menahan malu untuk meminjam sejumlah uang pada kerabat maupun melakukan pembelian dengan sistem pembayaran kredit.

Konsumsi yang Boros

Jauh-jauh hari sebelum perayaan hari raya Idul Fitri berlangsung, sekitar sebulan sebelumnya, baik pasar tradisional maupun pasar modern sudah dibanjiri pengunjung. Pengunjung datang dengan motif dan tujuannya masing-masing. Di pasar tradisional, kebanyakan pengunjung yang datang membeli sembako yang jumlahnya banyak atau grosir. Sebagian besar pembeli barang dalam jumlah banyak (grosir) ini bertujuan untuk menyetok bahan makanan pokok sebelum harganya lebih tinggi lagi, ada yang berencana menjual makanan, dan adapula yang akan menjualnya lagi secara eceran.
Memanfaatkan  momentum hari raya Idul Fitri, pusat-pusat perbelanjaan atau mall mulai menggelar pesta diskon. Pusat-pusat perbelanjaan itu menawarkan potongan harga yang sangat menggiurkan, mulai dari potongan terendah 10% hingga 70%, bahkan ada pula potongan harga bertingkat misalnya 20%+20% hingga 50%+50% dari harga normal. Penawaran yang sangat menarik bagi masyarakat untuk memiliki barang yang lebih murah dari harga normal di hari biasa. Oleh sebab itu, pusat-pusat perbelanjaan yang penuh sesak oleh pengunjung pada bulan Ramadhan maupun di hari-hari menjelang hari raya sudah menjadi pemandangan yang lumrah. Mereka datang dengan berbagai motif. Ada yang memang datang untuk berbelanja karena riil demi memenuhi kebutuhan hari raya, ada yang sekadar ingin memenuhi hasrat untuk memiliki suatu barang yang diidam-idamkan sejak lama, ada pula yang sekadar ingin memuaskan imajinasi semata. Mall memfasilitasi imajinasi konsumsi manusia. Semua orang bisa datang ke mall dengan berbagai tujuan, tidak hanya untuk berbelanja. Mall menjadi sarana rekreasi pribadi hingga keluarga. Tidak harus membeli apapun, kita bisa mencoba-coba barang yang dijajakan di mall. Mall terlihat layaknya rimba, rimba produk kapital yang jika tersesat di dalamnya, maka seseorang bisa menjadi lupa diri. Lupa diri disini dalam hal membelanjakan uang sehingga menimbulkan perilaku konsumsi yang boros.
Penawaran diskon dan hadiah pada sebagian besar barang di mall menjadi daya tarik yang begitu dahsyat bagi para konsumen. Diskon dan hadiah bagi B. F. Skinner merupakan wujud respon dari perusahaan kapital kepada para konsumen setianya. Berkat kesetiaan konsumen produk mereka, perusahaan yang memproduksi barang tersebut meraup untung besar. Tentu perusahaan tak ingin kehilangan konsumen mereka, alih-alih dibuatkanlah diskon-diskon dan hadia menarik. Dengan alih-alih diskon dan hadiah ini, konsumen terus berbelanja, terus mengkonsumsi. Konsumen kadang merasa perusahaan kapital ini tampak sangat berbaik hati, padahal pada kenyataannya justru mereka semakin untung.
Harga diskon dan hadiah (buy one, get one free misalnya) memiliki keterkaitan yang membentuk perilaku konsumsi yang boros dalam masyarakat. Perusahaan kapital telah mempermainkan emosional konsumen dengan strategi dagangnya ini. Sehingga harga diskon dan hadiah menjadi salah satu faktor yang dapat memotivasi konsumen untuk melakukan belanja hedonic. Didukung pula oleh suasana mall yang menyenangkan karena diiringi musik yang membangun mood serta suara pramuniaga di microphone yang sedang memberikan informasi terkait harga barang begitu menggairahkan. Fenomena yang paling mencolok adalah dimana rata-rata penawaran diskon ditujukan bagi kaum perempuan. Kebanyakan penawaran diskon diberlakukan pada pakaian-pakaian maupun aksesoris perempuan. Kapitalis cerdas menilai bahwa pengunjung pusat perbelanjaan kebanyakan dari kaum hawa dan secara psikologis, perempuan lebih mudah terhanyut dalam penawaran. Pusat perbelanjaan dianggap sebagai area kekuasaan para kaum perempuan. Konsepsi dalam masyarakat memposisikan perempuan sebagai manajer keuangan rumah tangga dan berbelanja menjadi keahlian seorang perempuan. Bagi sebagian konsumen dengan penghasilan dan daya beli tinggi, membeli produk atau barang dengan harga mahal tanpa diskon sekalipun dapat memberikan suatu pengalaman belanja yang menyenangkan. Namun, bagi sebagian orang lagi yang berdaya beli menengah ke bawah, mendapatkan barang yang banyak dengan harga yang relatif murah menjadi suatu prestasi yang membanggakan.
Tak mau kalah dari pusat-pusat perbelanjaan modern, pedagang di pasar tradisional pun akan menawarkan kebahagiaan tersendiri bagi konsumennya. Pedagang di pasar tradisional biasanya akan membuat penawaran cuci gudang atau obral barang dengan harga murah. Tujuan utama adanya cuci gudang ini adalah  untuk menghabiskan stok-stok barang lama di gudang dengan menjual barang-barang tersebut dengan harga yang cukup murah. Mereka tidak mengambil untung terlalu banyak seperti pada hari-hari biasanya. Yang utama adalah barang mereka cepat laku dan pedagang dapat keuntungan dan dapat mengisi toko dengan barang-barang baru dengan gaya yang lebih up to date.
Kesenangan yang dirasakan oleh konsumen pada saat mencari-cari produk dengan harga obral, melalui prosesi tawar-menawar harga dengan penjual, memilih-milih barang sesuai selera dan akhirnya berhasil menemukan produk sesuai dengan keinginan serta mendapatkan harga termurah tampaknya menjadi suatu tantangan dan sumber kebahagiaan tersendiri bagi konsumen di pasar tradisional. Barang yang sebenarnya tidak perlu, menjadi perlu karena konsumen diliputi perasaan ‘lapar mata’. Tanpa berpikir panjang, konsumen mengeluarkan sejumlah uang dan segera ia memiliki barang yang menarik di mata, namun belum tentu berguna di kemudian hari.
Masyarakat sangat difasilitasi untuk berbelanja, yang berarti mengonsumsi terus menerus. Munculnya tuntutan baru dari pegawai kepada pimpinannya karena gaji bulanan dianggap hanya memenuhi kebutuhan harian, sementara ada kebutuhan lain yang lebih besar di hari raya memunculkan adanya dana Tunjangan Hari Raya (THR). THR dalam hal ini menjadi suatu tanggung jawab sosial yang harus ditunaikan oleh para pemimpin kepada para karyawannya. THR ini pulalah yang dimanfaatkan sebagian besar masyarakat yang bekerja sebagai karyawan baik negeri maupun swasta untuk berbelanja.
Selain dukungan dana THR, adanya kesempatan yang begitu luas di waktu libur membuat konsumsi terus berlanjut. Leissure class sebagaimana yang dikemukakan Veblen dalam bukunya yang tersohor, The Theory of the Leissure Class (1899/1994) dipahami sebagaimana para pemimpin bisnis yang mendiami struktur kelas tertinggi yang memiliki waktu luang dan melakukan konsumsi yang boros. Pada era ini, waktu luang tak hanya dimiliki oleh para pemimpin bisnis. Waktu luang adalah milik semua orang dari semua kalangan. Waktu liburan atau cuti menjelang hari raya (bagi pegawai negeri sipil) menunjukkan adanya waktu luang dimana seseorang sedang tidak produktif.  Waktu libur menjelang hari raya Idul Fitri  ini kebanyakan digunakan untuk mempersiapkan hari raya yaitu dengan berbelanja berbagai keperluan perayaan. Keperluan  perayaan Idul Fitri yang paling mencolok berupa  jamuan hari raya seperti aneka kue kering, sirup, dan lauk-pauk khas hari raya Idul Fitri. Selain itu yang tak kalah pentingnya adalah pakaian baru yang digunakan pada saat hari raya dan dikenakan pada saat bersilaturahmi ke tempat sanak saudara juga tetangga-tetangga sekitar.

Konsumsi meningkat, Harga melambung tinggi

Fenomena melambungnya harga barang kebutuhan pokok di bulan Ramadhan dan hari-hari menjelang perayaan hari raya Idul Fitri rutin terjadi di setiap tahun. Inflasi pun tak terelakkan lagi. Namun, masyarakat seolah tak ambil pusing dan terus berbelanja. Mereka membeli barang-barang baru, mulai dari pakaian berstel-stel, alas kaki (sandal, sepatu), telepon seluler atau gadget teranyar hingga kendaraan baru.
Kenaikan harga barang terutama sembako di pasar tradisional karena adanya permintaan yang tinggi dari konsumen. Terkadang pedagang mengkondisikan keadaan serba langka yang dibuat-buat agar konsumen panik dan menjadi ‘latah’ untuk berbelanja banyak barang menjelang hari raya. Lagi-lagi, pedagang mempermainkan emosional konsumen. Mengetahui permainan pasar yang tak sehat ini, pemerintah di beberapa daerah terutama daerah-daerah kota besar kerap mengadakan operasi pasar demi meminimalisir permainan harga pasar yang dibuat-buat.
Pemerintah terutama Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) di tiap daerah (terutama daerah yang berpenduduk muslim banyak) ‘kocar-kacir’ berusaha menenangkan masyarakat agar tidak belanja berlebihan. Bank Indonesia sampai-sampai menggandeng Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Jawa Barat, untuk mengajak masyarakatnya agar tidak berbelanja secara berlebihan selama bulan Ramadhan hingga Idul Fitri 1435 Hijriah1. Ajakan itu disampaikan untuk mengurangi tingginya laju inflasi yang biasa terjadi di bulan Ramadhan. Inflasi sudah menjadi tradisi tambahan setiap bulan Ramadhan akibat adanya persepsi masyarakat yang takut kehabisan kebutuhan pokok, terutama kebutuhan daging, minyak dan gas (migas). Hal ini memicu masyarakat untuk melakukan aksi borong dan menumpuk sumber daya (men-stock).
Ketika itu, bulan Ramadhan kurang sebulan lagi, berarti hari raya Idul Fitri masih kurang dua bulan lagi. Rentang waktu yang masih begitu lama seolah kurang diperdulikan orang. Orang-orang terus berdatangan ke pasar tradisional untuk membeli berbagai kebutuhan puasa dan hari raya nanti. Toko tirai jendela, toko toples dan barang pecah belah, toko sembako dan bahan roti, ramai sekali dikunjungi calon pembeli. Menurut mereka, datang pada hari-hari jauh sebelum puasa dan hari raya menjedi strategi tersendiri demi menghindari lonjakan harga barang, terutama daging, sembako, minyak dan gas, serta bumbu dapur. Fenomena ke‘latah’an pedagang yang menaikkan harga barang-barang sudah terjadi berulang-ulang, sehingga menjadi kebiasaan dan masyarakat sudah lumrah. Oleh sebab itu, masyarakat juga ikut-ikutan latah dengan berbelanja kebutuhan dapur jauh-jauh hari sebelum bulan Ramadhan atau hari raya.
Perdagangan di pasar tradisional yang masih menganut sistem tawar-menawar sehingga terjadilah interaksi antara pedagang dengan pengunjung atau calon pembeli. Tawar-menawar ini yang nantinya akan membangun hubungan kedekatan antara pembeli dengan penjual. Pada akhirnya, jika pembeli atau konsumen sudah merasa nyaman atau cocok dengan seorang pedagang, maka pembeli pasti akan kembali lagi kepada pedagang tersebut dan membentuk pola berlanggan. Pola berlangganan ini memiliki manfaaat yang cukup besar. Bagi pedagang, jika ia sudah memiliki pelanggan tetap, maka ia akan semakin percaya diri dengan kelangsungan usahanya. Setidaknya pedagang sudah mempunyai pengunjung tetap yang secara rutin akan membeli barang dagangannya. Pedagang pun sudah mengetahui pangsa pasar bagi dagangannya dan mengetahui dengan baik selera konsumsi konsumennya. Bagi pembeli, memiliki toko atau pedagang langganan juga memiliki manfaat, diantaranya yaitu pembeli dapat memesan barang yang ia inginkan kepada pedagang. Dalam tawar-menawar, pembeli sudah paham berapa perkiraan keuntungan yang akan diperoleh pedagang dan pembeli akan mengandalkan hubungan langganan tersebut untuk mendapatkan harga yang cocok. Manfaat lain yang dirasakan pelanggan adalah diberikannya tawaran-tawaran kredit barang dari pedagang karena pedagang sudah percaya kepada langganannya. Jika langganannya belum memiliki uang yang cukup untuk membeli barang dagangannya, maka pedagang akan menawarkan kredit atau hutang pada langganannya tersebut. Kredit yang mereka lakukan berasaskan rasa saling percaya. Dengan adanya sistem pembayaran kredit, konsumsi akan terus berlangsung.
Tradisi turut mendukung pola-pola perilaku konsumsi yang boros menjelang hari raya. Di Kota Semarang, ada sebuah tradisi tahunan yang diselenggarakan selama kurang lebih dua minggu sebelum puasa (hari terakhir bulan Sya’ban), yaitu tradisi Dugder. Tradisi Dugder ini dilaksanakan di kawasan Pasar tradisional Johar dan Yaik Semarang dan dan pusat perayaan tradisi ada di Masjid Agung Kauman Semarang. Perayaan tradisi Dugder diisi oleh pasar yang buka dari pagi hingga tengah malam. Pasar Dugder ini menjual berbagai perlengkapan menjelang Ramadhan dan hari raya serta menyajikan beragam hiburan rakyat. Barang-barang yang di jual di pasar Dugder sebenarnya sama saja dengan barang dagangan yang ada di pasar Johar. Namun, bedanya pasar Johar tutup lebih cepat yaitu pukul empat sore dan belum mulai membuka penawaran diskon atau obral barang. Pasar Dugder tidak pernah sepi pengunjung, terlebih bertepatan dengan masa liburan semester anak sekolah. Di pasar Dugder juga menghadirkan deretan warung tenda yang menjual makanan khas bulan Ramadhan dan hari raya, seperti kurma, lontong sayur, opor ayam, rendang dan warung es teler hingga warung susu instan.
Pada puncak perayaan tradisi Dugder (sehari sebelum puasa pertama di bulan Ramadhan) akan diadakan karnaval Dugder dengan arak-arakan anak-anak sekolah berpakaian adat maupun pakaian-pakaian tertentu dan menggotong ikon khas Dugder. Ikon khas Dugder disebut warak ngendog. Warak ngendog berwujud binatang yang berkepala naga, berbadan menyerupai kambing, bulunya terbuat dari bulu ayam yang arahnya terbalik. Bulu warak ngendog yang terbalik ini merupakan simbol dari titik walik atau titik balik yang bermakna melawan hawa nafsu. Secara inplisit, warak ngendog ini merupakan perwujudan harapan-harapan masyarakat pada bulan Ramadhan agar mereka bisa menahan ganasnya pengaruh hawa nafsu manusiawi.
Namun, pada praktiknya, dalam ritual Dugder yang didalamnya menawarkan berbagai arena konsumsi mulai dari entertainment (hiburan), wisata kuliner, dan tentunya pasar yang didominasi oleh pedagang pakaian. Pasar ini tentu menjadi sarana pemuasan hawa nafsu duniawi manusia melalui konsumsi. Misalnya saja, jika ingin mengkonsumsi hiburan (ada Tong Setan, Kora-kora, Bianglala, Kicir-kicir dst…) maka seseorang harus membeli (tiket atau karcis) dengan uang untuk mendapatkannya.  Sehingga harapan yang disimbolisasikan melalui Warak ngendog ini agaknya menjadi sesuatu yang berlawanan dengan keadaan riilnya di lapangan. Entah tradisi ritual ini sekarang sekadar menjadi tontonan ritual tradisi demi menarik wisatawan, namun nilai-nilai yang terkandung didalamnya tidak lagi dipraktikkan dalam kehidupan manusia itu sendiri.


Spirit Manusia Baru

Perayaan Idul Fitri menjadi symbol kemenangan umat Islam dalam memerangi hawa nafsunya sendiri melalui berpuasa selama satu bulan lamanya. Idul Fitri bukan diidentikkan dengan baju baru, perhiasan baru, kendaraan baru, fisik dan wajah yang baru, melainkan spirit dan jiwa-jiwa yang baru. Idul Fitri merupakan momentum dimana jiwa kita kembali ke fitrah, jiwa-jiwa yang suci yang menghasilkan manusia baru dengan kualitas jauh lebih baik dari sebelumnya.
Tidak ada yang salah dari aktivitas berbelanja, mengkonsumsi, dan menghadirkan suasana baru dalam menyambut hari raya Idul Fitri.  Kalau memang sanggup dan dana memadai silakan saja, namun jangan sampai hasrat ingin sesuatu yang baru justru membelit diri pada hutang-piutang yang menyulitkan dalam proses pengembaliannya.
“Baju baru… Alhamdulillah
Tuk dipakai di hari raya
Tak punya pun… tak apa-apa
Masih ada baju yang lama…
Sepatu baru… Alhamdulillah
Tuk dipakai di hari raya
Tak punya pun… tak apa-apa
Masih ada sepatu yang lama …”
Masih ingatkah dengan lagu anak-anak tahun 90’an yang dinyanyikan penyanyi cilik Dhea Ananda? Lagu ini setidaknya telah menyebarkan nilai-nilai sikap untuk selalu bersyukur dalam keadaan apapun, terutama saat hari raya. Tidak harus memaksakan diri membeli baju dan sepatu baru pada hari raya, jika baju dan sepatu yang lama masih bagus dan bisa dipakai.






DAFTAR BACAAN

Damsar. 2002. Sosiologi Ekonomi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Duncan, Hugh Dalziel. 1997. Sosiologi Uang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern Edisi Kedelapan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

*tulisan ini dikerjakan dalam waktu sekejap mata, mohon dikoreksi kalau ada yang tidak sesuai... makasiiihhh :)) *
Kisah ini merupakan catatan harian perjalananku selama mengikuti kegiatan Teknik Penelitian Lapangan bersama teman-teman Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada di Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah.
Perjalanan yang takkan terlupakan karena kesaannya yang begitu mendalam di dalam hati ini. Lapangan, masyarakat, menyajikan berbagai model kehidupan yang unik dan menarik. dengan berpartisipasi secara langsung, mengambil bagian dalam kehidupan orang lain, menyadarkanku ternyata banyak sekali pelajaran hidup yang dapat diambil hikmahnya dan bisa diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Saya dan rombongan, sekitar 110 orang (kalau tidak salah), berangkat dari FIB UGM pada hari Selasa tanggal 14 Januari 2014 pukul 22.00 WIB menuju Kec. Pulosari, Pemalang.
Kami sampai di Kec. Pulosari keesokan harinya .

"Secangkir teh pertama" menjadi awal hubungan kita, ibu, bapak, dan adik-adik baruku....
Dalam tegukan pertama mungkin kita masih malu-malu.
Dalam tegukan kedua, mungkin kita baru mulai membuka diri.
Dalam tegukan ketiga, percakapan hangat kian terbangun, sehingga menghasilkan tegukan selanjutnya dan bercangkir-cangkir teh hangat yang mengakrabkan kita.....

Minggu pertama di Gunungsari...

Rabu, 15 Januari 2014

            Sampai di kecamatan Pulosari, kabupaten Pemalang sekitar pukul 04.00 dini hari. Sepanjang perjalanan dari Jogja menuju Pemalang saya tertidur dan terbangun saat bus kami singgah di pom bensin di Banjarnegara. Karena di sepanjang perjalanan saya sudah istirahat cukup, jadi saat sampai di kantor kecamatan Pulosari, saya sudah tidak lagi mengantuk dan merasa lebih segar. Saya masih teringat akan tugas yang belum sempat saya kirimkan kepada dosen saya di Semarang. Saya menyelesaikan tugas tersebut dan rencananya mau mengirimkannya menggunakan wifi dari handphone saya, tetapi ketika wifi saya sambungkan tiba-tiba masuk sinyal wifi yang asalnya dari balai pertemuan kecamatan Pulosari yang kami tempati. Sejak saat itu saya meyadari kalau di gedung tersebut terdapat fasilitas wifi yang bisa saya manfaatkan untuk mengirim tugas. Saya menyadari kalau ternyata program internet masuk desa telah dijalankan dan sepertinya masyarakat kurang memanfaatkan fasilitas tersebut.
            Udara dingin Pulosari menembus sampai ke tulang. Saya melumuri tangan, kaki, pundak dan tengkuk kepala dengan minyak kayu putih agar terasa lebih hangat. Karena saya belum terbiasa berada di tempat yang lebih tinggi daripada tempat hidup saya biasanya, penyakit beser saya kambuh. Ketika hendak buang air kecil, saya kebingungan mencari kamar mandi. Sebuah kebetulan, disaat yang sama Kanita mengajak saya untuk mencuci muka dan sikat gigi ke masjid yang tak jauh dari kantor kecamatan. Pergilah saya, Kanita, Ratih dan Ummi menuju masjid Kecamatan Pulosari. Saat itu pukul setengah tujuh pagi, untuk pertama kalinya saya menyentuh air yang mengalir di Pulosari, rasanya dingin sekali, seperti air es. Ya, kecamatan Pulosari memang berada di ketinggian sekitar 850 hingga 1400 meter di atas permukaan laut. Saat kaki saya menyentuh lantai masjid tanpa menggunakan kaos kaki, rasanya seperti sedang berdiri di atas lantai yang dibawahnya ada es batunya. Terlebih saat saya sedang mencuci wajah, rasanya segar dan dingin. Saat sikat gigi, gigi saya terasa ngilu seperti gigi sensitive, padahal biasanya tidak begitu, bahkan saya suka sekai menggigit-gigit es batu  :D *sangar yooo

            Sepulang dari bersih-bersih diri di masjid, saya ingin sekali pergi ke pasar kecamatan Pulosari yang sangat dekat dengan kantor kecamatan. Iseng saja saya mengajak Ratih pergi ke pasar dan rupa-rupanya Ratih pun berniat mengajak saya pergi ke pasar untuk membeli sandal karena sandalnya putus. Kami pergi ke pasar. Di depan pasar telah ramai ibu-ibu yang tengah bersiap pulang. Mereka membawa keranjang-keranjang yang terbuat dari anayaman tali plastic berwarna-warni berisi penuh barang belanjaan. Tersedia pula angkutan umum yang menurut saya unik dan saya ingin sekali mencobanya. Angkutan tersebut sebenarnya mobil pick up yang di design menjadi angkutan massal untuk manusia dan juga hewan (seperti kambing dan sapi), penduduk setempat menamainya coak. Angkutan tersebut dilengkapi dengan besi-besi kokoh pada tepian angkutannya agar menjadi tempat pegangan dan penyangga berdiri penumpang.




***


Waktu itu, kalau tidak salah --berarti benar-- sekitar pertengahan bulan Oktober, saya dan sahabat saya, Ratih Tyas Arini memutuskan untuk melewati liburan penghujung bulan di Kabupaten Ponorogo. Awal dari perjalanan di Ponorogo tak lebih hanya ingin liburan dan sejak adanya kabar kalau Reyog diklaim oleh Malaysia, saya jadi bercita-cita ingin menonton pertunjukan Reyog di daerah asalnya. Selama seminggu lebih kami berdua mengumpulkan uang untuk membeli tiket kereta. Pada tanggal 28 oktober 2013, kami pergi ke stasiun Semarang Poncol untuk membeli dua tiket kereta ekonomi-ac tujuan Stasiun Madiun. Kami mendapatkan tiket dengan jadwal keberangkatan pada tanggal 1 Nopember 2013. Selama berada di Ponorogo, kami akan menginap di rumah Buliknya Ratih, di desa Mambil.

Saya dan Ratih berangkat ke Stasiun Semarang Poncol sekitar pukul sepuluh malam dari Gunungpati karena kami menumpang kereta pukul satu malam menuju Madiun. Sebelum ke Stasiun Poncol, saya dan Ratih bersama rombongan CLIC Unnes sempat menghadiri acara Pameran Fotografi oleh Prisma Undip di PKM Undip Pleburan. Sesampainya di Stasiun Poncol, Ratih menitipkan sepeda motornya pada petugas parkir stasiun yang menerima penitipan motor. Selama di stasiun, kami sempat tidur-tiduran di atas kursi dan dikerubungi nyamuk-nyamuk nakal. Badan saya bentol-bentol merah dan gatal. Hal yang paling melegakan adalah ketika pukul satu lebih beberapa menit, terdengar suara kereta datang dan ternyata itulah kereta yang akan kami tumpangi. Kami menaiki kereta dan memulai petualangan untuk mendapatkan pembelajaran yang baru dan segar dalam kehidupan kami. Saya tidak sabar untuk segera menonton pertunjukan Reyog Ponorogo di tanah kelahirannya langsung.

Selamat datang di blog saya.
meskipun blog ini agak tidak jelas juntrungannya, tetapi saya selalu ingin berbagi kisah dan hikmah melalui cerita-cerita perjalanan saya yang tentunya yang pernah saya alami dan rasakan sendiri.
Saya selalu menyertakan dokumentasi  berupa gambar. Hal ini saya sertakan agar teman-teman pembaca yang budiman dapat melihat keadaan saat itu lebih riil melalui foto. Disamping itu, saya juga senang mendokumentasikan apapun yang saya lihat. Saya memang belum tahu foto yang baik dan cerita yang baik itu seperti apa, tetapi saya akan mencoba terus menulis dan memotret untuk kepuasan saya dan mungkin bermanfaat untuk anda J

Kali ini saya akan bercerita tentang perjalanan saya yang sudah terlampau lama. Baru sekarang saya ingin menceritakannya pada anda…

Pada hari selasa tanggal 25 Desember 2012, saya sedang berada di Jogja. Saya tinggal di Jogja sekitar satu minggu. Dalam rangka melarikan diri dari Semarang, karena saat itu sedang libur natal dan pekan persiapan ujian akhir semester ganjil. Selama tiga hari, saya menginap di tempat sahabat saya tersayang, Vivi Rosalia yang kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

Hari rabu tanggal 26 Desember 2012, kak Alfian dan saya, merealisasikan rencana kami yang sudah kami planning beberapa waktu lalu. Pada malam hari sebelum keberangkatan, kami menyusun rencana untuk jalan-jalan ke Pantai Pok Tunggal di Gunung Kidul. Malam itu juga saya nge-pack beberapa barang-barang yang akan saya bawa travelling esok hari. Barang-barang yang saya bawa dalam tas ialah kamera kesayangan saya yang wajib dibawa kemanapun, minyak  kayu putih, setelan ganti, air minum dalam botol, peta Jogja, masker dan slayer, shampoo dan dompet. Tidak lupa pula saya membawa jaket  parasut ungu kesayangan saya. Setelah semuanya siap dalam tas, saya bergegas tidur agar besok pagi dapat bangun lebih awal dan kondisi badan tetap fit.

Saat hari H, saya dan kak Alfian janjian bertemu di depan Fakultas Peternakan UGM dan kami memulai perjalanan kami pada pukul delapan pagi. Kami berangkat dari UGM menuju Wonosari.
Saya sangat menikmati perjalanan, apalagi pada saat saya yang dibonceng dan tidak akan bergantian membonceng karena kak Alfian pakai motor gedenya. *ahahahay
Sebenarnya saya dan kak Alfian sama-sama tidak tahu jalan menuju pantai Pok Tunggal, jadi kami hanya modal peta, gps handphone saya dan bertanya pada warga setempat.
Di tengah perjalanan, saya melewati Candi Prambanan dan Candi Ratu Boko. Ingin sekali rasanya mampir. Namun, rencana awal kami adalah ke Pok Tunggal dan itu tidak dapat diganggu-gugat. Perjalanan dari UGM ke Wonosari sangatlah lama dan jauh. Jalan menuju ke sana pun sangat berliku, naik-turun perbukitan. Kami melewati beberapa desa dan kota-kota kecil seperti piyungan, terus daerah patuk, Gading , dan sebagainya.

Bukan Cerita yang Baik

in , , by nyakizza.blogspot.com, 11.50
aku selalu menyesal pernah membuat, mengambil dan menjalani pilihan-pilihan terburuk dalam hidupku
termasuk berada di sini dan tidak membuat suatu prestasi apapun
sementara di luar sana
teman-temanku yang kemudian aku ketahui beritanya dari jejaring sosial,
mereka bergerak dengan sangat dinamis, se-dinamis kota dimana mereka tinggal.

Pagi ini, aku masih terbangun
dengan kondisi tubuh yang sangat lemas
dan tulang-tulang punggung yang terasa remuk.
cermin yang cukup besar menunjukkan keadaan terbaru mataku,
sangat buruk
kelopak mataku tampak sangat bengkak
aku melirik ke arah jam dinding Edison berbingkai putih yang berdebu.
ahh... pukul nol sembilan tiga delapan

mataku kembali tertutup
tubuhku berusaha mencari posisi relax agar punggungku tidak lagi sakit.

aku ingat, pagi ini harusnya aku bisa mendapatkan ilmu jurnalistik dan kepenulisan di bukit sebelah
atau paling tidak, aku bisa mencuci seember pakaian dalamku yang kotor.

Sisa-sisa kesakitan belakangan ini seperti masih menghimpit
memendam perasaan yang menyedihkan,
bisul,
keuangan seret,
belum makan nasi sejak dua hari,
hingga pertengkaran yang seperti tidak ada akhirnya.
bagaimana bangkit dari kejatuhan?
aku cuma ingin pindah kamar yang mendapatkan banyak sinar matahari.
Hai, sudah cukup lama rasanya kita tidak bersua. Ya, mohon maaf, karena belakangan ini saya terlalu sibuk untuk hal-hal yang harus mendapat perhatian lebih dari saya. Saya harus memperhatikan materi perkuliahan saya, kemudian tugas yang datang seperti jerawat, hilang satu, eehhh tumbuhnya banyak yaa, sakit pula, hehehe dan saya harus melakukan observasi lapangan kesana-kemari.
Overall, saya harus harus wajib mencintai apa yang saya lakukan seperti wujud cinta dosen saya kepada mahasiswanya yang disimbolkan melalui tugas ;)
Pada kesempatan yang agak langka ini, saya ingin sekali berbagi cerita tentang pengalaman saya beberapa bulan yang lalu ketika saya harus masuk dan berbaur dalam suatu komunitas adat yang tak pernah saya ketahui sebelumnya.

Pengalaman ini benar-benar baru bagi saya dan mungkin juga sebagian teman saya lainnya.
Yap. Sebuah catatan etnografi yang saya tulis secara telaten selama berada di tempat nun jauh di pedalaman Kalimantan Barat.



Landau , merupakan yang tak pernah saya bayangkan bagaimana wujud tempatnya. Mendengar kata Landau saja baru saat saya dan teman-teman tim ekspedisi sungai Boyan duduk dalam satu ruangan pada salah satu ruang kelas jurusan antropologi budaya, UGM.
Dalam peta yang berskala 1 : 1.750.000 yang ayah belikan di Gramedia Bookstore sebagai hadiah karena saya akan mengikuti program ekspedisi tersebut, saya tidak menemukan tempat yang bernama Landau.
Namun, saya dapat menemukan nama Landau justru dari peta yang di buat oleh teman-teman antro budaya dari hasil foto satelit.
Landau merupakan sebuah nama kampung di kecamatan Melawi Makmur, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Lokasinya cukup jauh dari peradaban kota yang sibuk, berpolusi dan panas. Saya tidak tahu pasti berapa jarak antara kota kecamatan Meliau yang dilalui jalan trans Kalimantan Barat dengan pasarnya yang cukup ramai serta terletak tepat di pinggir sungai Kapuas. Jarak Landau menuju kota kecamatan Meliau kira-kira sekitar 3,5 sampai dengan 4 jam dengan menggunakan sepeda motor.

Nah, di Landau ini, saya punya serentetan cerita yang menarik bagi saya, mungkin juga bagi anda yang tertarik membaca.
Penasaran? Yuk mulai membaca. saya akan selalu menemani anda dalam setiap kalimat yang anda baca *hohoooow


PERJALAN PANJANG

Sabtu, 6 July 2013

            Saya bangun pagi pada hari sabtu tanggal enam Juli 2013 pukul empat dini hari. Saya bergegas mandi dan mempersiapkan packing terakhir hingga pukul lima pagi. Ketika saya sudah siap. Saya masih merasa mengantuk dan tertidur lagi di atas kasur empuk teman saya, Tessa. Pada pukul enam pagi, handphone saya bergetar heboh dan saya terbangun kemudian bergegas menjawab telepon.
“Assalammualaikum”, kataku
“Waalaikumsalam, izza. Za, mbak dan teman-teman on the way jemput kamu. Kamu dimana?” kata mbak niah dari seberang
“Oalah mbak, cepat ya… Izza di kos teman jalan Pringgodani 10, samping alfamart  dekat Universitas Sanatha Dharma”
“ok za, tunggu depan kos ya. Kami segera tiba.”
            Segera saya menutup telepon dan bersiap ke depan. Namun, belum ada lima menit, taxi yang menemput saya tiba. Kami menuju bandara.
            Sekitar pukul tujuh kurang dua puluh menit, kami telah sampai di bandara Adisutjipta, Yogyakarta. Sehari sebelumnya, kami dan tim dari UGM dan Jerman telah berjanji akan bertemu di depan KFC dalam bandara pada pukul tujuh. Namun, mereka datang terlambat. Saya dan Sembilan orang teman saya yang dari Unnes, yaitu ada Kak Tegar, Mbak Niah, Mas Marzuqo, Mbak Yurizka, Mas Zulfikar, Mbak Intan, Mas Imron, Mbak Dyah dan Kanita telah berkumpul sambil memakan roti yang kami bawa untuk sarapan pagi itu. Saya membeli beberapa barang, seperti buku ‘monyet’, bolpen, air mineral, dan roti-roti di minimarket bandara. Buku ‘monyet’ merupakan sebuah buku kecil atau buku note yang akan saya pergunakan untuk mencatat data-data lapangan yang saya dapat. Mas Pudjo sebenarnya menyarankan kepada saya dan kawan-kawan untuk menulis menggunakan pensil, tetapi saya memilih memakai bolpen saja agar tulisannya jelas di mata saya.
            Tidak lama kemudian, datanglah salah seorang teman kami, mahasiswa semester atas dari UGM yang bernama mas Azam. Saat itu, saya masih duduk di pinggi jalan untuk melanjutkan mengetik tugas teori antropologi saya yang belum selesai sambil makan roti. Namun, tak lama kemudian mas Azam mengajak saya dan teman-teman berpindah ke dekat pintu masuk ruang check in bandara. Tak jauh dari pintu masuk ruang check in itulah kami bertemu dengan sekelompok teman-teman dari UGM dan Jerman yang sudah ramai. Mereka membawa luggage atau carier bag yang tinggi-tinggi. Ada beberapa anak yang diantar oleh orang tuanya, ada juga yang diantar oleh kekasihnya, sementara yang lain diantar oleh teman-temannya. Sejenak sebelum check in saya menyempatkan diri untuk mengerjakan tugas teori antropologi saya yang harus segera saya selesaikan. Sekitar pukul tujuh lebih, saya dan teman-teman diajak masuk ke ruang check in. Di dalam ruang check in tersebut, saya dan teman-teman kembali berkumpul, kemudian saya melanjutkan mengetik tugas saya lagi. Untung saja saat itu pemikiran saya sedang bisa diandalkan meskipun dalam keadaan darurat. Di dalam ruang check in kami menunggu pendataan barang bagasi selama kurang lebih pukul setengah sembilan. Setelah mendapatkan airtax dan kartu nomor duduk dari bandara, kami dipersilahkan masuk ke dalam ruang tunggu keberangkatan. Saya duduk di salah satu kursi, kemudian kembali melanjutkan tugas sayayang belum selesai. Pukul setengah sebelas siang pesawat kami datang. Saya tetap menunggu di bangku ruang tunggu keberangkatan sambil mengerjakan tugas hingga datang panggilan untuk masuk ke pesawat. Pukul sebelas kurang, kami memasuki pesawat. Pesawat lepas landas pada pukul sebelas siang.
            Pesawat Express Air yang kami tumpangi terbang di langit atas Pulau Jawa, kemudian melintasi selat Jawa dan kemudian terbang di atas Pulau Kalimantan. Satu setengah jam kemudian sampailah kami di Bandara Supadio Pontianak. Begitu turun dari pesawat, saya bergegas jalan menuju bis yang mengangkut penumpang yang turun menuju terminal kedatangan bandara.
            Udara di luar pesawat sangatlah panas. Cahaya matahari yang silau di mata dan menyengat-nyengat kulit. Begitulah keadaan yang lumrah di daerah yang dilintasi oleh garis khayal khatulistiwa.
            Pukul setengah satu lebih lima menit, saya sudah berada di dalam bandara dan segera menuju tempat mengambil bagasi. Menunggu bagasi sangatlah lama. Oleh karena itu, saya memilih untuk pergi ke kamar kecil dan mencuci muka di wastafel. Toilet di bandara Supadio lumayan bersih dan terang. Ada lima pintu wc lengkap dengan wc duduknya yang bersih. Keramik toilet berwarna crème. Di ruang tersebut terdapat kaca besar yang menyatu dengan wastafel yang digunakan pengunjung untuk bercermin dan juga sangat bersih. Setelah buang air kecil, saya meninggalkan toilet menuju pengambilan bagasi dan mengantre disana. Tak lama, tas ransel saya yeng berisi pakaian sekitar lima potong, jilbab tiga lembar, celana bahan satu lembar, kopi Jawa empat bungkus, ada handuk juga, kemudian ada dalaman saya yang jumlahnya tidak banyak. Namun anehnya, tas ransel saya begitu berat sehingga saya memasukkan ransel tersebut ke bagasi.
            Setelah mendapati tas saya dan menggendongnya, saya keluar ruang kedatangan tersebut. Di luar, sudah ada satu truck berwarna biru milik TNI AU Bandara Supadio. Teman-teman saya yang laki-laki sibuk menaikkan luggage milik anggota yang lain. Saya pun meminta tolong teman saya untuk menaikkan tas r.ansel saya tadi yang sudah saya isikan laptop sehingga tas tersebut harus berada di atas agar tidak terhimpit tas lain. Setelah semua tas dinaikkan ke atas truck TNI tersebut, Mas Pudjo menawarkan kami untuk ikut naik truck dan sebagian lainnya jalan kaki menuju pelabuhan speedboat dan klotok. Saya lebih memilih ikut naik truck dari pada jalan kaki, karena kalau jalan kaki agak jauh dan capek, ditambah lagi panas yang melemahkan tubuh.
            Sepuluh menit kemudian kami yang menumpang truck sudah sampai di tepian sungai Kapuas. Di sana ada beberapa warung warga yang menjual makanan berat dan makanan ringan. Di warung yang paling pinggir (dekat sungai) menjual nasi lengkap dengan lauk-pauknya seperti gulai, semur, sayuran di oseng, di sop dan sebagainya. Turun dari truck, saya ikut membantu mas Zuqo, Mas Fikar, Ogir, Bang Ardan menurunkan barang-barang ke depan warung makan tadi. Setelah itu, saya duduk-duduk menunggu teman-teman yang lain di depan warung makan sambil menikmati sebotol air mineral. Tak lama kemudian, datanglah rombongan teman-teman saya yang berjalan kaki dari bandara tadi. Tak tampak raut lelah dari mereka, yang tampak adalah wajah-wajah ceria. Mas Pudjo sebagai pemimpin rombongan telah datang dan langsung menyuruh kami makan siang di warung atau menunggu nasi bungkus. Saya membeli sebotol air mineral lagi dan mengambil sebungkus nasi jatah makan siang saya. Saya makan di bawah terik matahari di tepi sungai Kapuas bersama partner saya, Vega, Asti, dan Gloria. Kami mengobrol dan bercanda sambil menyantap lahap suap demi suap nasi.
            Setelah makan siang, saya pergi ke masjid yang letaknya tak jauh dari tepi sungai. Masjid Desa Sungai Durian namanya. Masjid tersebut masih dalam tahap pembangunan. Dindingnya masih belum di cat, baru saja di plaster. Saat tiba disana, saya menjumpai dua orang bapak yang sedang duduk santai sambil merokok dan minum kopi di beranda masjid. Saya meminta izin untung men-charge laptop dan handphone. Kedua bapak tersebut mempersilahkan saya. Mereka sangat ramah. Saya dibantu untuk mencolokkan kabel laptop ke terminal atau stop kontak listrik disana. Di masjid itu saya kembali melanjutkan tugas teori antropologi saya yang belum selesai juga. Namun, karena kepala saya sudah pusing, saya mengerjakan tugas tidak terlalu konsentrasi dan hasilnya pekerjaan saya kurang baik. Akhirnya, saya membeli paket internet untuk handphone saya. Saya mengirimkan tugas teori antropologi dan kajian etnografi saya melalui email kepada Pak Bayu, dosen saya. Untung saja, Pak Bayu mau menerima tugas saya itu.
            Usai mengerjakan tugas, saya membawa sabun wajah ke kamar mandi di masjid. Disana saya mencuci muka dan kaki saya. Kemudian saya melakukan sholat dzuhur dan sholat ashar.
            Waktu itu pukul setengah tiga siang. Saya diajak teman saya kembali ke pinggir sungai dan bergabung dengan teman-teman. Saya pergi ke pinggir sungai bersama Mas Imron yang kebetulan saat itu baru selesai sholat.

Selamat datang di blog saya.

Meskipun blog ini agak tidak jelas juntrungannya, tetapi saya selalu ingin berbagi kisah dan hikmah melalui cerita-cerita perjalanan saya yang tentunya yang pernah saya alami dan rasakan sendiri.
Saya selalu menyertakan dokumentasi  berupa gambar. Hal ini saya sertakan agar teman-teman pembaca yang budiman dapat melihat keadaan saat itu lebih riil melalui foto. Disamping itu, saya juga senang mendokumentasikan apapun yang saya lihat. Saya memang belum tahu foto yang baik dan cerita yang baik itu seperti apa, tetapi saya akan mencoba terus menulis dan memotret untuk kepuasan saya dan mungkin bermanfaat untuk anda :)

Kali ini saya akan bercerita tentang perjalanan saya yang sudah terlampau lama. Baru sekarang saya ingin menceritakannya pada anda…

Pada hari selasa tanggal 25 Desember 2012, saya sedang berada di Jogja. Saya tinggal di Jogja sekitar satu minggu. Dalam rangka melarikan diri dari Semarang, karena saat itu sedang libur natal dan pekan persiapan ujian akhir semester ganjil. Agak aneh ya, libur minggu tenang kok malah dipakai untuk jalan-jalan bukannya belajar... *hehehe
Selama tiga hari, saya menginap di tempat sahabat saya tersayang, Vivi Rosalia yang kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Sisanya, saya menginap di rumah saudara saya di dekat UGM.

Hari rabu tanggal 26 Desember 2012, kak Alfian dan saya, merealisasikan rencana kami yang sudah kami planning beberapa waktu lalu. Pada malam hari sebelum keberangkatan, kami menyusun rencana untuk jalan-jalan ke Pantai Pok Tunggal di Gunung Kidul. Malam itu juga saya nge-pack beberapa barang-barang yang akan saya bawa travelling esok hari. Barang-barang yang saya bawa dalam tas ialah kamera kesayangan saya yang wajib dibawa kemanapun, minyak  kayu putih, setelan ganti, air minum dalam botol, peta Jogja, masker dan slayer, shampoo dan dompet. Tidak lupa pula saya membawa jaket  parasut ungu kesayangan saya. Setelah semuanya siap dalam tas, saya bergegas tidur agar besok pagi dapat bangun lebih awal dan kondisi badan tetap fit.

Saat hari H, saya dan kak Alfian janjian bertemu di depan Fakultas Peternakan UGM dan kami memulai perjalanan kami pada pukul delapan pagi. Kami berangkat dari UGM menuju Wonosari.
Saya sangat menikmati perjalanan, apalagi pada saat saya yang dibonceng dan tidak akan bergantian membonceng karena kak Alfian pakai motor gedenya. *ahahahay

Sebenarnya saya dan kak Alfian sama-sama tidak tahu jalan menuju pantai Pok Tunggal, jadi kami hanya modal peta, gps handphone saya dan bertanya pada warga setempat.

Di tengah perjalanan, saya melewati Candi Prambanan dan Candi Ratu Boko. Ingin sekali rasanya mampir. Namun, rencana awal kami adalah ke Pok Tunggal dan itu tidak dapat diganggu-gugat. Perjalanan dari UGM ke Wonosari sangatlah lama dan jauh. Jalan menuju ke sana pun sangat berliku, naik-turun perbukitan. Kami melewati beberapa desa dan kota-kota kecil seperti piyungan, terus daerah patuk, Gading , dan sebagainya.

Sesampainya di daerah kota Wonosari, kami kebingungan mencari jalan. Ternyata kami telah berjalan selama tiga jam. Kemudian kami memutuskan untuk berhenti sejenak di pinggir jalan dan mendatangi seorang bapak yang sedang berdiri di pinggir jalan di depan car wash. Saat itu saya kehilangan sinyal handphone dan saya merasa kesulitan ketika hendak membuka GPS dari smartphone saya. Membawa peta Jogja pun kurang berarti karena Pantai Pok Tunggal merupakan pantai baru yang belum terdaftar dalam peta.
Kak Alfian dan saya turun dari motor dan mendatangi bapak tersebut.

“Permisi pak… numpang Tanya ya pak…” kata kak Alfian dengan ramah.
“Oh iya mas, monggo …” sahut Bapak tersebut dengan ramah pula
“Kalau mau ke pantai Indrayanti bagaimana ya pak ?”
“oh itu, lurus terus mas, nanti gak jauh dari sini ada pos polisi setelah jembatan, masnya belok kanan setelah itu lurus terus. Nanti setelah itu ada petunjuk jalannya kok mas” jelas sang Bapak
“dari sini, lurus, ada jembatan setelah itu pos polisi belok kanan. Begitu ya pak …”
“iya mas…”
“Terimakasih banyak ya pak…”
“nggih mas, monggo, monggo …”
“matur suwun ya pak…” kata saya sambil senyum-senyum
“nggih mbak, monggo” sahut Bapak tersebut dengan ramah

Kemudian kami melanjutkan perjalanan sesuai dengan petunjuk Bapak tadi. Kami berhenti sejenak di Alfamart untuk membeli jajanan untuk kami makan di pantai agar lebih irit.
Kami memasuki daerah Gunung Kidul pada pukul 10:32.
Di perjalanan kami berpas-pasan dengan rombongan bikers yang sedang lintas alam dengan sepeda. Saat itu gerimis turun dan kami khawatir akan kehujanan di tengah perjalanan.
Namun, ternyata gerimisnya tidak lah lama. Matahari kembali bersinar sangat terik. Kami masih memacu roda dua untuk terus berputar manjat dan turun dari perbukitan karst di daerah Gunung Kidul.
Saya sibuk memotret selama perjalanan.

“enak ya dek ?”
“enak bangeeeettt kak” jawabku sumringah kesenangan.
“iya lah, kamu kan bisa menikmati pemandangan. Kakak nyetir dan konsen ke jalan. Huft” kata kak Alfian
“hehehe, capek ya kak ? nanti kakak lihat hasil-hasil fotonya aja yaa”
“ya lumayan, pegel sih tangannya”
“sabar ya kakak, heemmm”

Saat itu saya sempat berpikir, apakah benar ada laut di balik bukit-bukit karst yang tandus ini ?
kok masyarakat Gunung Kidul bisa bertahan hidup dalam kondisi daerah yang sepertinya sulit untuk diolah lahannya dan juga sepertinya sulit untuk medapatkan air.
Saya melihat batuan-batuan besar di sepanjang jalan. Batu-batu tersebut terpencar-pencar hingga memenuhi lahan yang ditanami singkong, pisang, ada ubi-ubian juga.
Saya masih terheran-heran, bagaimana cara warga mengolah lahan yang berbatu dan berkapur seperti itu.
Kemudian, darimana ya warga mendapatkan air ? Apakah di bawah tanah kapur tersebut menyimpan air yang cukup?
(ayo anak geografi jelaskan pada saya *hehehe)
Karena jalanan tampak sepi, kak Alfian memacu kendaraannya dengan agak cepat. Sehingga tidak lama setelah itu, kami menemukan pertigaan. Disinilah titik awal kesesatan-demi-kesesatan yang akan kami jalani bersama. Kesesatan-kesesatan itu pula yang mengantarkan kami lebih mengetahui jalan menuju pantai terjauh yang ada di Jogja, yaitu Pantai Sadeng yang berbatasan dengan pantai di Wonogiri.
Dari pertigaan itu,  jika kami belok kanan, maka kami akan menemukan pantai Baron, Kukup, Krakal, dan kawanannya. Sementara jika kami belok kiri, maka kami akan mendapati pantai Siung, Wedi Ombo dan Sadeng ke arah Pacitan, Jawa Timur.
Kak Alfian dan saya memilih belok kiri karena kami kira pantai Pok Tunggal ada disana.
Kemudian kami  terus menyusuri jalan yang beraspal halus. Kami menemukan persimpangan lagi. Kami memilih belok kanan karena kami tahu pantainya ada di sebelah kanan  kami.
Dari yang tadinya jalan aspal, kami memasuki jalan kecil yang hanya cukup dilalui oleh satu mobil dan satu motor berdampingan. Dari persimpangan awal tadi, kami masuk sekitar dua kilometer hingga menemukan pos penjaga yang menjual karcis masuk.

“Pak, ini pantai Pok Tunggal bukan ?”
“Loh, ya bukan toh mas. Ini Pantai Siung. Kalau ke Pok Tunggal masih enam kilometer lagi dari simpangan yang mas lewati tadi. Dari sini ke simpangan saja sudah dua kilo mas” kata Bapak penjual karcis masuk tersebut.
Bak disambar geledek, kami sangat shock mendengar penjelasan Bapak tersebut.
“Kak, ternyata kita salah. Gimana dong nih?” tanyaku gusar
“Kalau kita balik lagi sama dengan jalan sepuluh kilo lagi. Rugi juga udah sampai sini ya” kata kak Alfian dengan raut wajah aneh, lucu bin unyuuu :D
“gimana kalau kita ke pantai aja kak ?”
“Pak, ke pantai Siung berapa kilo lagi ya?” Tanya kak Alfian pada Bapak penjual karcis
“Ini lho mas, pantainya di balik bukit ini. Setengah kilo aja kok… udah masuk aja lah mas, nanggung lho kalau balik lagi” kata Bapak sambil tertawa

Akhirnya, kita lebih memilih untuk mampir di Pantai Siung daripada putar balik dan mencari pantai Pok Tunggal.

Saat masih di atas bukit, kita berdua sudah teriak-teriak seperti orang kegirangan.
“Pantaaaiiiiii….. Paaanntttaaaiiiii…. Suurgaaaa.”
“Surga di balik bukit”
“wuuhhuuuhhuuuwwuuuhhuuuwwhhuuuu… uhuhuhuhuuuuuhhaahhhauuuuu”
Kami bersahut-sahutan seperti orang utan saking senangnya melihat kilauan air laut yang diterpa sinar matahari yang sangat terik waktu itu.
“Dek, sampai pantai kakak mau langsung nyebur” kata kak Alfian bersemangat
“jangan kak, ini kan bukan tujuan kita. Kita kan maunya mandi di Pok Tunggal toh”
“oh iya ya dek … yaudah, kakak mau main air aja tapi gak mandi”
“yuuhhuuuu kakak”
Finally, kami sampailah di tempat parkir, tidak jauh dari pantai. Ternyata pantai Siung masih belum dikunjungi banyak orang. Kami menemukan sekelompok orang  yang sedang sibuk persiapan untuk pemotretan prewedding. Tampak juga beberapa keluarga yang sedang piknik dan ada anak-anak yang sedang mandi di laut memakai ban bebek dengan diawasi kedua orang tuanya.
Saya memandang sekeliling. Wajah saya terasa panas sekali. Kak Alfian sudah melepas sepatunya dan memasukkannya ke dalam tas. Ia langsung masuk ke dalam air.
Saya memilih untuk tetap berada di tepi pantai dan menyiapkan kamera untuk mengambil gambar.

Teriknya matahari siang itu membuat saya tidak dapat berkonsentrasi dengan baik dalam setiap shoot. Bidikan saya banyak yang meleset. Cakrawala tidak seimbang, warna juga kacau…Duh !
Akhirnya saya jongkok di bawah nyiur.
Ngadem.
Kepala saya terasa pusing. Kemudian saya mengambil botol minum yang saya bawa dan saya meminum beberapa teguk air. Saat itu jam sebelas lebih enam menit.

Kak Alfian mendatangi saya. Ia tampak bersemangat sekali. Kemudian, ia mengajak saya mendaki bukit kecil yang ada di bibir kiri pantai. Saya mengikutinya. Kak Alfian mensupport saya untuk kuat dan terus memanjat bukit.
Separuh perjalanan mendaki, saya sudah terkagum-kagum dengan pemandangan disana. SUBHANALLAH ! FANTASTIC !

Saya sempat mengabadikan moment-moment disana, lalu kami mendaki lagi.
Sesampainya di atas bukit kecil tersebut, jantung saya berdebar-debar karena saya takut ketinggian.
Bukit tersebut menjorok langsung ke laut yang airnya berwarna biru agak gelap.
Saya sangat hati-hati berdiri disana. Gemetaran.

“Dek, ayo foto-foto” kata kak Alfian yang sudah duduk mendekati ujung bukit tersebut.
“ya ampun kak, aku gemetaran”
“sudah tenang aja. Gakpapa asalkan kita hati-hati … Jalannya sambil jongkok aja kalau takut sambil berdiri”
“Iya kak. Aku duduk sini aja deh”
Aku duduk di atas tanah yang panas sekali dan menyiapkan kamera, mengatur shutter, iso, dan diafragma.
Setelah itu, kita berfoto-foto narsis.

Kala  itu, matahari sedang berada di atas kepala. Pukul 11:30.
Panas ! Membara ! hiiiittttttaaaaaaammmmmmmm terpanggang sinar matahari di siang bolong.
huft.

Inilah beberapa foto-foto kami dari awal perjalanan hingga sampai di Pantai Siung.
© Alfizza Murdiyono · Designed by Sahabat Hosting